Bismillahhirrohmanirrohim
Di
tengah-tengah perkuliahan bersama salah satu dosen yang juga pengajar di
Lemhanas tiba-tiba di akhir kuliah bersama Prof. Dr. Hj. Jenny kami berbicara mengenai bahasa sebagai
media lalu prosesnya dalam membentuk sebuah ideologi. Beliau sering memberikan
pelatihan dan mengajar untuk para pimpinan nasional negeri ini. Pertanyaan yang
sering kali beliau dapatkan adalah darimana memulai perubahan?
Tiba-tiba suasana
kelas berubah seolah-olah yang hadir adalah para pimpinan nasional. “Saya
seolah-olah bicara kepada para pimpinan nasional, anggap saja kalian calon
pimpinan nasional” tuturnya.
Saya teringat
kembali setelah membaca sebuah buku yang salah satu sub judulnya “Jalan Ketiga”
Jika kita
melihat bagaimana arah perkembangan dunia, khususnya setelah Perang Dingin
Timur Barat Berakhir. Memang saat itu buku yang populer adalah The End Of History karya Francis
Fukuyama (1992). Kesan yang diperoleh saat itu adalah komunisme sudah kalah dan
kapitalisme dan demokrasi liberalisme keluar sebagai pemenang.
Tetapi,
kita kembali mempertanyakan, apa benar kapitalisme pasar bebas merupakan
ideologi yang sempurna, dan mampu menyelesaikan permasalahan dunia? Apakah demokrasi
liberal cocok untuk semua bangsa? Sudah banyak contoh, bahwa kapitalisme
menyisakan jurang kaya-miskin yang sangat mencolok, dan demokrasi liberal apa
juga pas untuk Indonesia yang falsafah negaranya mengedepankan musyawarah untuk
mufakat?
Ketika banyak
kalangan mempertanyakan demokrasi liberal dan kapitalisme di awal tahun 1990-an
itu muncul pula pemikiran alternatif, mula-mula di inggris, tetapi kemudian
juga di Eropa kontinental dan juga di Amerika Latin. Di tengah semangat untuk
mengajukan Jalan Ketiga (The Third Way), bukan komunisme tetapi juga bukan
demokrasi liberal dan kapitalisme, Anthony Giddens mencoba meyakinkan, bahwa
satu jalan ketiga bukan saja satu kemungkinan, tetapi satu kebutuhan dalam
politik modern.
Di Inggris
pemikiran Tonny Giddens banyak merebut perhatian Perdana Menteri Inggris Tony
Blair. Boleh jadi di Inggris saat itu memang ada kebutuhan akan ideologi
alternatif, setelah kapitalisme dipraktikkan dengan banyak privatisasi
perusahaan publik.
Di Indonesia,
yang ingin dipersepsikan sebagai ideologi adalah pancasila, namun yang banyak
ditemui di dunia politik umumnya sebatas pragmatisme, sementara dalam bidang
ekonomi-saat Orde baru sempat disebut kapitalisme ersatz sebagaimana disitir
oleh Kunio Yoshihara dalam bukunya The
Rise of Ersatz Capitalism di Southeast Asia (1998).
Naiknya pemikiran
baru ini didorng oleh ketidakpuasan faham kapitalisme dan demokrasi liberal
yang di satu sisi berkembang luas, namun gagal menyejahterakan banyak warga
bangsa yang menganutnya. Ketika negara seperti Indonesia banyak dipuji sebagai
negara yang sukses dalam transformasi demokratis, masih ada sekitar 30 juga
warga miskin atau lbih dari itu jika rujukan tolak ukur kemiskinan dibuat lebih
manusiawi.
Melihat perkembangan
itu banyak para ahli bertanya-tanya mengapa setelah satu perang ideologi usai,
pemenangnya tidak bisa berbuat banyak untuk membuat dunia lebih sejahtera, atau
lebih aman.
Saya juga
bertanya kepada Prof. Jenny " apakah mungkin sebuah ideologi negara berubah?" Mungkin saja,
tetapi NKRI tetap harga mati.Tambahnya
Melihat perkembangan
global, ketika negara-negara maju mulai mencari jalan alternatif. Kenapa negara
kita dengan masyarakat muslim terbesar di dunia tidak merujuk kembali kepada
Al-Qur’an? Bahkan di negara ini ketika Al-Qur’an dilecehkan belum terlihat
sikap tegas dan cepat untuk menuntaskannya.
Dari hasil
beberapa diskusi bersama dengan tokoh pergerakan islam dua hari yang lalu, saya semakin yakin
bahwa bisa saja Jalan Ketiga yang selama ini mereka cari adalah Al-Qur'an. Ada delapan
alasan Al-Qur’an akan kembali menguasai dunia menurut Ustadz Fathuddin, MA yang
merupakan CEO di Tafaqquh Development Group dan Pembina di Majelis Tafaqquh
Fiddin (MTF).
1. Bukti
Sejarah selama 13 abad lamanya Al-Qur'an eksis di atas 2/3 bumi.
2. Umat
Islam khususnya dan umat manusia umumnya sudah lama kehilangan konsep/manhaj
hidup yang fitrah sehingga mereka hidup dalam kesulitan, kegelapan dan
kezaliman. (Seperti yang sudah kita bahas di awal tulisan ini)