Setiap tahun
tepatnya tanggal 2 Mei Bangsa Indonesia memperingati tanggal 2 Mei sebagai hari
pendidikan nasional. Tanggal ini dikaitkan dengan lahirnya Ki Hajar Dewantara
(2 Mei 1889) dan wafat 28 April 1959 oleh karena itu Beliau dijuluki Bapak
Pendidikan Nasional.
Salah satu
prinsip pendidikannya yang masyhur yaitu tut
wuri handayani dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan
dan arahan, ing madya mangun karsa di
tengah atau diantara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide, dan ing ngarsa sung tulada di depan seorang
pendidik harus mampu memberi teladan atau contoh. Sebuah kalimat yang memiliki
semangat moralitas untuk memajukan pendidikan. Demikianlah sebuah pesan dari
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat (Nama Asli Ki Hajar Dewantara).
Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang termaktub
dalam pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Menjadi bangsa
yang ingin maju dan unggul dalam persaingan global. Karena pendidikan merupakan
kunci utama, maju mundurnya sebuah bangsa. Pendidikan adalah tugas negara yang
paling penting dan sangat strategis. Sumber daya manusia yang berkualitas
merupakan prasyarat dasar bagi terbentuknya peradaban yang baik. Sebaliknya sumberdaya
manusia yang buruk, akan melahirkan masyarakat, bangsa yang buruk pula.
Hasil
Penelitian yang dilakukan oleh Zabel dan Nigro dalam Jamaris (2010: 269)
menunjukkan bahwa anak yang mengalami kesulitan belajar adalah anak yang
beresiko tinggi untuk melakukan kenakalan remaja. Laporan statistik selanjutnya
menunjukkan bahwa 37,1 % tindakan kenakalan remaja dilakukan oleh anak
berkesulitan belajar.
Jack
Canfield, Pakar masalah kepercayaan diri, melaporkan hasil penelitian di mana
seratus anak ditunjuk untuk seorang periset selama satu hari. Tugas periset
adalah mencacat berapa banyak komentar positif dan negatif yang diterima
seorang anak dalam sehari. Penemuan Canfield adalah bahwa setiap anak rata-rata
menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif atau
yang bersifat mendukung. Jadi, komentar negatif enam kali lebih banyak
dibandingkan komentar positif. (Deporter &Hernacki, 1999: 24)
Bagaimana dengan
pendidikan kita di Indonesia? Di sekolah? Di keluarga? Di Masyarakat? Sudahkah kita
lebih banyak memberikan tauladan yang baik?
Fakta-fakta
yang menunjukkan kenakalan remaja dan masalah kepercayaan diri ternyata
dibentuk dari lingkungan pendidikan yang kurang manusiawi bagi pembelajar.
Padahal pendidikan yang dialami anak di masa usia dini menjadi fondasi bagi
anak untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat. Oleh sebab itu, pendidikan perlu
diwarnai dengan nilai-nilai kemanusiaan, keagamaan, antusiasme, empati,
kesediaan untuk menerima, kesediaan untuk menolong dan menjadikan dunia menjadi
tempat yang aman dan lebih baik. (Jamaris, 2010: 4)
Dalam bidang
pendidikan saat ini, ada tiga masalah utama bangsa ini yang harus segera
diperbaiki.
Pertama,
paradigma pendidikan nasional yang sangat sekuler dan matrealistik sehingga
tidak menghasilkan manusia yang berkualitas secara lahiriyah dan batiniyah.
Kedua,
semakin mahalnya biaya pendidikan dari tahun ke tahun sehinga sulit dijangkau
oleh rakyat pada umumnya.
Ketiga,
rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dihasilkan oleh proses
pendidikan nasional.
Jika kita
menelisik proses Pendidikan yang berjalan selama ini cenderung berbau fisik,
mekanis, matrealisme, hedonisme. hasilnya banyak yang berambisi agar nilainya
tinggi, menjadi juara kelas, lulus UN dengan Nilai baik tanpa mengindahkan
etika dan kejujuran dalam prosesnya. Hasilnya Kecenderungan output pendidikan kita berambisi pada
harta, jabatan, ketenaran, terkenal. Sebagian berhasil mencapainya, yang lain
gagal kemudian pesimis, frustasi, putus asa, akibatnya lari ke narkoba, miras,
terjadilah kenakalan remaja.
Mengapa?
Semuanya
hasil dari matrealisme dan hedonisme. Semua ini juga merupakan hasil
sekularisme. Pemisahan antara agama dan ilmu.
Sistem pendidikan
nasional yang sekuler-matrealistik tersebut, sesungguhnya merupakan cerminan
sebuah sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang juga sekuler dan
materialistik. Memang, dalam sistem sekuler matrealistik itu, yang namanya
aturan per Undang-undangan dan nilai-nilai Islam tidak pernah dengan sengaja
digunakan untuk menata berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Karena
itu, di tengah-tengah sistem yang sekuler lahirlah berbagai bentuk tatanan
nilai-nilai yang jauh dari aqidah islam, sehingga generasi kita lebih mudah
cemas, agresif, susah diatur.
Beberapa
Waktu yang lalu saya pernah membuat tulisan yang berjudul “Berpikir Melingkar”,
berikut saya kutip,
Ada sebuah
hasil survey yang sangat membahayakan di Amerika Serikat tentang IQ, kita semua
hari ini mungkin melihat, mendegar, dan merasakan bagaimana anak-anak lebih
cepat menguasai teknologi dibandingkan kaum tua. IQ anak-anak makin tinggi,
tetapi kecerdasan emosi mereka justru turun.
Walaupun data
ini cukup lama tapi patut kita renungkan hasil survei besar-besaran tahun 80-an
terhadap para orang tua dan guru menunjukkan, “anak-anak generasi sekarang
lebih sering mengalami masalah emosi ketimbang generasi terdahulunya. Coba Anda
survei kecil-kecilan di sekitar Anda, Keluarga, Masyarakat, dan sekolah. Apa
yang Anda lihat?
Mereka tumbuh
dalam kesepian dan depresi, mudah marah dan sulit diatur, lebih gugup dan
cenderung cemas, impulsif dan agresif. Apalagi kehidupan di kota besar yang
hyper competitive.
Survey itu
terus berlanjut bukan hanya untuk anak-anak tetapi penelitian juga ditujukan
terhadap ratusan ribu pekerja, dari level bawah hingga eksekutif puncak,
mencakup perusahaan besar sampai perusahaan kecil. Apa hasil penemuannya?
Setelah
diteliti ditemukan inti kemampuan pribadi dan sosial yang sama, yang terbukti
menjadi kunci utama keberhasilan, yaitu kecerdasan emosi. Tapi saya mengajak
Anda untuk berpikir sejenak lihatlah kondisi jalan raya, lakukanlah survei
kecil-kecilan. Sekarang apa yang Anda lihat? Inilah gambaran kondisi sumber
daya manusia kita.....
Selengkapnya
baca disini (Berpikir Melingkar)
Melihat fenomena
ini maka idealnya pemerintah kita mencanangkan untuk melakukan Revolusi
Pendidikan.
Aneh tapi nyata, bangsa yang mayoritas masyarakatnya beragama islam, agama islam tidak menjadi pedoman bagi pola hidup dan kehidupan mereka. Islam hanya dijadikan ritual belaka, acara isra mi’raj, turunnya Al-Qur’an, kita menyimak dengan khusyuk tetapi kita mendustakannya dengan lisan dan perbuatan kita.
Mari kita
berpikir dengan jernih, melihat berbagai
pristiwa yang melanda generasi muda, anak-anak kita, keluarga, masyarakat yang
mulai kehilangan jati dirinya. Jika kita ingin jujur mengevaluasi pendidikan
kita, maka kita akan miris dengan fakta-fakta dan produk pendidikan nasional
Indonesia hari ini. benarkah pendidikan nasional kita telah kehilangan maknanya
yang sesungguhnya di tengah badai informasi? Alangkah lucunya kita tersesat di
tengah derasnya arus informasi
Marilah kita
kembali ke jati diri kita sebagai manusia yang seutuhnya. Kita menjadi manusia
yang utuh dan memanusiakan manusia lainnya. Bahwa setiap orang berhak
mendapatkan kehidupan yang layak dan terhormat di negerinya, setiap orang
berhak mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas, setiap orang berhak mendapatkan
pelayanan kesehatan, di sinilah negara harus hadir memberikan rasa aman,
nyaman, dan mensejahterakan rakyatnya.
Apa solusi
fundamental dari potret buram pendidikan nasional kita hari ini?
Kita harus
berani melakukan revolusi pendidikan dengan memperbaharui komitmen kita sebagai
bangsa bahwa sistem pendidikan harus diarahkan pada perubahan paradigma, yaitu
pondasi dari aqidah islam yang tidak mengenal dikotomi pendidikan umum dan
agama. Dengan demikian, kita berharap akan lahir jutaan intelektual muslim yang
memahami agama sekaligus siap menjawap tantangan di zamannya.
Masa depan bangsa
harus mengandalkan pada SDM dan tidak saja pada SDA. SDM harus berkualitas dan memiliki daya saing dan
produktivitas yang tinggi. Penguasaan iptek melalui pendidikan yang diimbangi
dengan kualitas imtak yang tinggi melalui pembudayaan penting untuk
meningkatkan Daya Saing SDM Indonesia. (
Habibi, 2012: 140)
Di akhir
tulisan ini harapan terbesar kita bagi generasi-generasi pembelajar yang
mencintai belajar. Bukan hanya soal angka, tetapi menjadikan mereka pembelajar
sejati. Sampai mati. Hanya guru yang gemar belajar dapat menumbuhkan sifat
gemar belajar pada murid. Guru yang malas belajar, guru yang pengetahuannya
tidak tumbuh, tidak akan dapat menimbulkan kegemaran belajar pada murid.
Bagaimana
Islam memandang Persoalan Pendidikan? Apa saja Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam?
Foto: Kompasania
Jakarta, 24
Rajab 1437 H/ 2 Mei 2016 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.