Kemaren tepatnya tanggal 20 Rajab 1437/ 28 April 2016
M kita baru kehilangan seorang ulama yang dikenal berani dan tegas dalam
berdakwah. Ulama yang bersuara lantang dalam menyampaikan kebenaran. Ia adalah
Prof. Dr. KH. Ali Mustofa Yaqub, MA. alumni pascasarjana King Saud Riyadh Saudi
Arabia. Beliau termasuk salah seorang murid ulama terkenal yang juga pakar di
bidang hadits asal Saudi Abia, yaitu professor M. M. Azami. Semoga Allah menerima semua alam ibadah
beliau.
Terakhir
kali saya menyimak beliau tampil di salah satu Tv swasta tanggal 7 Jumadil Awwal 1437 16 Februari 2016 Pukul
22.48 WIB. Membahas tentang LGBT. Menurut pandangan beliau ada empat hal yang
diimpor ke indonesia untuk merusak bangsa yaitu, Narkoba, Terorisme, Konflik,
dan LGBT.
Dalam
protokol zionisme No.7 kaum zionis akan berupaya untuk menciptakan konflik dan
kekacauan di seluruh dunia dengan mengorbankan permusuhan dan pertentangan. Oleh
karena itu, mari kita belajar dari sejarah jangan sampai kita bermusuhan antar
sesama. Demikian nasehat Alm. Prof. Dr. KH. Ali Mustofa Yaqub, MA
Hari ini
kita melihat bagaimana kita diadu dengan sesama pribumi. Sama halnya belanda
dahulu yang memiliki perpanjangan tangan di Indonesia untuk mengurusi
kepentinganya di tanah air kita. Contohnya, Anda bisa lihat sendiri
perkembangannya di Media masa.
Di tengah
berbagai fitnah yang mendera umat islam. Ingatlah: Islam tidak akan rusak jika
difitnah, dihina dan dilecehkan. Tapi Islam akan rusak dengan perilaku umatnya
sendiri yang tidak menerapkan kehidupan Islami. Terkhusus karena rusaknya
ulama.
Mari
memeriksa dari dalam, merenungi salah satu wasiat Imam Ghazali: rusaknya
masyarakat atau peradaban karena rusaknya ulama. Kita rindu ulama yang lurus,
bersih, berani, besar cintanya kepada umat ini. bukankah saat detik-detik
meninggalnya Rosululloh Sholaullohhu ‘Alaihiwassalam meninggal yang
diingatnya,”Ummati, Ummati, Ummati..” bukan "famili, famili, famili.".
Apalagi bila
ulama masih cinta materi, takut mati. Penyakit wahn melanda bangsa ini. semua
berlomba-lomba membangun kekayaan pribadi. Menulari ulama-ulama kita. Tidak
lagi malu memberi tarif ceramah dari jutaan sampai puluhan juta. Asyik bersolek
di media. Tapi sulit ditemui masyarakat kecil yang butuh bantuannya. Kita rindu
ulama yang mengayomi, duduk membumi, tapi berani melakukan amar makruf nahi
munkar.
Ada tulisan
menarik Alm. Prof. Dr. KH. Ali Mustofa Yaqub, MA. Saya kutip beberapa tulisan
beliau mengenai fenomena haji dan umroh “Haji Pengabdi Setan”:
.........Kendati ibadah haji telah ada sejak masa Nabi
Ibrahim, bagi umat Islam, ia baru diwajibkan pada tahun 6 H. Walau begitu, Nabi
SAW dan para sahabat belum dapat menjalankan ibadah haji karena saat itu Mekkah
masih dikuasai kaum musyrik. Setelah Nabi SAW menguasai Mekkah (Fath Makkah)
pada 12 Ramadan 8 H, sejak itu beliau berkesempatan beribadah haji.
Namun Nabi SAW tidak beribadah haji pada 8 H itu. Juga
tidak pada 9 H. Pada 10 H, Nabi SAW baru menjalankan ibadah haji. Tiga bulan
kemudian, Nabi SAW wafat. Karenanya, ibadah haji beliau disebut haji wida'
(haji perpisahan).
Itu artinya, Nabi SAW berkesempatan beribadah haji
tiga kali, namun beliau menjalaninya hanya sekali. Nabi SAW juga berkesempatan
umrah ribuan kali, namun beliau hanya melakukan umrah sunah tiga kali dan umrah
wajib bersama haji sekali. Mengapa?
Sekiranya haji dan atau umrah berkali-kali itu baik,
tentu Nabi SAW lebih dahulu mengerjakannya, karena salah satu peran Nabi SAW
adalah memberi uswah (teladan) bagi umatnya. Selama tiga kali Ramadan, Nabi SAW
juga tidak pernah mondar-mandir menggiring jamaah umrah dari Madinah ke Mekkah.
Dalam Islam, ada dua kategori ibadah: ibadah qashirah
(ibadah individual) yang manfaatnya hanya dirasakan pelakunya dan ibadah
muta'addiyah (ibadah sosial) yang manfaatnya dirasakan pelakunya dan orang
lain. Ibadah haji dan umrah termasuk ibadah qashirah. Karenanya, ketika pada
saat bersamaan terdapat ibadah qashirah dan muta'addiyah, Nabi SAW tidak
mengerjakan ibadah qashirah, melainkan memilih ibadah muta'addiyah.
Menyantuni anak yatim, yang termasuk ibadah
muta'addiyah, misalnya, oleh Nabi SAW, penyantunnya dijanjikan surga, malah
kelak hidup berdampingan dengan beliau. Sementara untuk haji mabrur, Nabi SAW
hanya menjanjikan surga, tanpa janji berdampingan bersama beliau. Ini bukti,
ibadah sosial lebih utama ketimbang ibadah individual.
Di Madinah, banyak ''mahasiswa'' belajar pada Nabi
SAW. Mereka tinggal di shuffah Masjid Nabawi. Jumlahnya ratusan. Mereka yang
disebut ahl al-shuffah itu adalah mahasiswa Nabi SAW yang tidak memiliki
apa-apa kecuali dirinya sendiri, seperti Abu Hurairah. Bersama para sahabat,
Nabi SAW menanggung makan mereka. Ibadah muta'addiyah seperti ini yang
diteladankan beliau, bukan pergi haji berkali-kali atau menggiring jamaah umrah
tiap bulan. Karenanya, para ulama dari kalangan Tabiin seperti Muhammad bin
Sirin, Ibrahim al-Nakha'i, dan Malik bin Anas berpendapat, beribadah umrah
setahun dua kali hukumnya makruh (tidak disukai), karena Nabi SAW dan ulama salaf
tidak pernah melakukannya.
Dalam hadis qudsi riwayat Imam Muslim ditegaskan,
Allah dapat ditemui di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan, dan
orang menderita. Nabi SAW tidak menyatakan bahwa Allah dapat ditemui di sisi
Ka'bah. Jadi, Allah berada di sisi orang lemah dan menderita. Allah dapat
ditemui melalui ibadah sosial, bukan hanya ibadah individual. Kaidah fikih
menyebutkan, al-muta'addiyah afdhol min al-qashirah (ibadah sosial lebih utama
daripada ibadah individual).
Jumlah jamaah haji Indonesia yang tiap tahun di atas
200.000 sekilas menggembirakan. Namun, bila ditelaah lebih jauh, kenyataan itu
justru memprihatinkan, karena sebagian dari jumlah itu sudah beribadah haji
berkali-kali. Boleh jadi, kepergian mereka yang berkali-kali itu bukan lagi
sunah, melainkan makruh, bahkan haram.
Ketika banyak anak yatim telantar, puluhan ribu orang
menjadi tunawisma akibat bencana alam, banyak balita busung lapar, banyak rumah
Allah roboh, banyak orang terkena pemutusan hubungan kerja, banyak orang makan
nasi aking, dan banyak rumah yatim dan bangunan pesantren terbengkalai, lalu
kita pergi haji kedua atau ketiga kalinya, maka kita patut bertanya pada diri
sendiri, apakah haji kita itu karena melaksanakan perintah Allah?
Ayat mana yang menyuruh kita melaksanakan haji
berkali-kali, sementara kewajiban agama masih segudang di depan kita? Apakah
haji kita itu mengikuti Nabi SAW? Kapan Nabi SAW memberi teladan atau perintah
seperti itu? Atau sejatinya kita mengikuti bisikan setan melalui hawa nafsu,
agar di mata orang awam kita disebut orang luhur? Apabila motivasi ini yang
mendorong kita, maka berarti kita beribadah haji bukan karena Allah, melainkan
karena setan......”
Sekarang bertebaran biro haji dan umroh
dengan iming-iming harta akan diganti, hajat atau cita-citanya bisa terpenuhi,
dan segudang persoalan yang menyangkut secara pribadi. Memang kita tidak bisa
menafikkan ada keutamaan dalam berangkat haji dan umroh, akan tetapi, bukankah
ada hal lain yang juga penting untuk kita perhatikan dan amalkan. Disinilah kita
membutuhkan ilmu dan guru yang benar, untuk menuntun kita kepada pemahaman yang
menyeluruh agar bisa beramal dengan ikhlas dan benar.
Umat butuh
pemimpin yang kuat, berpengaruh dan menyatukan seluruh elemen. Bukan yang mudah
menjatuhkan pihak lain atau klaim kebenaran pihak sendiri. Ingatlah,
perpecahan itu hanya mendatangkan kesengsaraan dan menyenangkan setan. Sedangkan
persatuan adalah kekuatan dan mendatangkan kecintaan Allah Subhanahu Wata’ala. Oleh
karena itu, Kita butuh pemimpin Islam yang memiliki akhlak mulia dan tidak terlalu
mencintai dunia.
Semoga
keresahan ulama saat ini tetap seperti dulu, yakni resah terhadap masa depan
kualitas umat. Fokus membangun generasi untuk melanjutkan estafet perjuangan
islam. memelihara, merawat, memakmurkan bumi untuk manusia dan mampu menjaga agama. Selalu menebar rahmat untuk semesta alam. Bukan keresahan terhadap kekayaan, anak istri, popularitas, atau masa
depan pondok pesantren dan majelisnya.
Dari Abi Darda, ia berkata, Aku pernah mendengar Rosululloh bersabda, "Meninggalnya ulama adalah musibah yang tidak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tidak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama"(HR. At-Thabrani dan Al Baihaqi)
Foto: muslimmedianews
Dari Abi Darda, ia berkata, Aku pernah mendengar Rosululloh bersabda, "Meninggalnya ulama adalah musibah yang tidak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tidak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama"(HR. At-Thabrani dan Al Baihaqi)
Foto: muslimmedianews
Jakarta, 21
Rajab 1437 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.