Jumat, 06 Juni 2025

Bicara Itu Vital: Bagaimana Bahasa Mempengaruhi Diagnosis Stroke dan Kenapa Kita Perlu Peduli










Bayangkan seseorang terkena stroke berat. Ia dibawa ke rumah sakit dalam kondisi darurat, wajahnya lumpuh sebelah, sulit bicara, dan matanya sayu. Tapi ada satu masalah besar: pasien ini tidak bisa bahasa Inggris, sementara rumah sakit hanya menyediakan evaluasi neurologis dalam bahasa tersebut.

Apakah ia sedang mengalami kerusakan otak parah, atau hanya tidak bisa menjelaskan kondisinya dengan kata-kata yang dimengerti dokter?

Inilah pertanyaan kritis yang diajukan dalam artikel ilmiah terbaru karya saya dan tim kolaborator lintas universitas di Indonesia. Artikel yang bertajuk “Language and Neurological Assessment in Stroke: Rethinking the Role of Linguistic Proficiency in Clinical Outcomes” mengangkat isu yang selama ini luput dari perhatian banyak dokter: bahwa keterbatasan bahasa bisa menyebabkan salah diagnosis stroke dan memperparah ketimpangan dalam pelayanan kesehatan.

Temuan Kunci: Bahasa Bisa Mempengaruhi Hasil Diagnosa Stroke

Penelitian yang dikaji dalam artikel ini menunjukkan bahwa pasien stroke yang tidak fasih berbahasa Inggris cenderung:

  • Tercatat memiliki gejala stroke yang lebih parah berdasarkan skor NIH Stroke Scale (NIHSS),

  • Memiliki hasil pemulihan yang lebih buruk saat keluar dari rumah sakit,

  • Padahal, mereka mendapat perawatan medis yang sama dengan pasien berbahasa Inggris.

Dengan kata lain, kesalahan komunikasi karena hambatan bahasa bisa membuat pasien terlihat “lebih parah” dibanding kondisi sebenarnya.

Mengapa Ini Bisa Terjadi?

Menurut kami, penyebabnya tidak sekadar teknis, tetapi juga kognitif dan linguistik. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cermin cara otak kita mengungkapkan rasa sakit, ketakutan, dan gejala fisik. Jika pasien tidak bisa menyampaikan apa yang dirasakannya dengan bahasa yang dipahami dokter, maka nilai diagnosis menjadi bias.

Contohnya:

  • Tes NIHSS melibatkan perintah verbal seperti “sebutkan benda ini” atau “buat kalimat sederhana”.

  • Jika pasien tak paham instruksi atau tidak bisa menjawab karena kendala bahasa (bukan karena kerusakan otak), maka ia bisa mendapat skor tinggi yang menandakan stroke berat, padahal belum tentu demikian.

Solusi Inklusif yang Ditawarkan

Tim penulis tidak hanya mengkritisi, tetapi juga menawarkan solusi konkret yang layak diterapkan di berbagai rumah sakit dunia:

  1. Validasi Bahasa dalam Tes Medis
    NIHSS dan alat diagnosis lainnya perlu disesuaikan secara linguistik ke dalam berbagai bahasa ibu pasien, agar hasil evaluasi lebih akurat.

  2. Gunakan Narasi Pasien dalam Bahasa Asli
    Alih-alih hanya mengandalkan soal dan tes verbal, dokter bisa mengajak pasien bercerita menggunakan bahasanya sendiri. Ini bisa membuka jendela pemahaman yang lebih dalam terhadap kondisi mereka.

  3. Teknologi NLP (Natural Language Processing)
    Penelitian terbaru di bidang kecerdasan buatan (AI) sudah memungkinkan analisis suara untuk membedakan antara gejala stroke asli dan hambatan bahasa. Teknologi ini potensial diterapkan untuk menyaring bias bahasa saat pemeriksaan.

Dampaknya Lebih Luas: Bukan Hanya Stroke

Meskipun penelitian ini fokus pada pasien stroke, pesan yang disampaikan jauh lebih luas. Dalam dunia medis modern, bahasa adalah pintu masuk ke pengobatan yang adil dan efektif. Hambatan bahasa bisa mempengaruhi diagnosis di bidang lain seperti:

  • Psikiatri (gangguan mental sering disalahpahami karena perbedaan ekspresi budaya),

  • Onkologi (pasien kanker yang tak memahami istilah medis bisa menolak terapi),

  • Kardiologi (keluhan jantung sering diungkapkan dalam bahasa emosional yang sulit dipahami jika diterjemahkan kaku).

Siapa yang Perlu Membaca dan Mencitasi Artikel Ini?

Artikel ini sangat penting bagi:

  • Dokter neurologi dan spesialis stroke,

  • Peneliti psikolinguistik dan neurolinguistik,

  • Tenaga medis yang menangani pasien multibahasa,

  • Pembuat kebijakan kesehatan terkait akses layanan,

  • Pengembang AI dan NLP untuk bidang medis.

Bagi akademisi, artikel ini bisa menjadi referensi utama saat membahas intersection antara linguistik, diagnosis klinis, dan keadilan dalam pelayanan kesehatan. Sudah saatnya kita memperluas cakrawala: bukan hanya data medis yang penting, tetapi juga cara pasien mengungkapkannya.

Kesimpulan: Di Balik Diamnya Pasien, Ada Suara yang Tak Terdengar

Artikel Scopus Q1 ini mengingatkan kita bahwa dalam dunia medis, tidak semua keheningan berarti gejala, terkadang itu adalah jeritan dalam bahasa yang tidak kita pahami.

Dengan membaca artikel lengkapnya di Journal of Clinical Neuroscience, kita diajak untuk merenungkan kembali makna “komunikasi pasien” dan menata ulang alat diagnosis kita agar lebih adil bagi semua.

Artikel asli bisa diakses via ScienceDirect : Language and Neurological Assessment in Stroke: Rethinking the Role of Linguistic Proficiency in Clinical Outcomes

Jika Anda tertarik untuk mengangkat topik ini di kelas, seminar, atau penelitian lanjutan, jangan ragu mengutip artikel ini. Karena kesehatan yang adil, dimulai dari mendengarkan dalam bahasa yang dimengerti pasien.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung. Semoga langkah Anda hari ini membawa semangat baru untuk terus bertumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijak. Saya menghargai setiap dedikasi dan perjalanan Anda. Sampai kita berjumpa kembali, dalam tulisan atau kehidupan nyata.