![]() |
| Ketika batu lebih lembut dari hati |
Batu bisa retak karena takut kepada Allah.
Tapi mengapa hati manusia kadang tak tersentuh meski mendengar ayat-Nya?
Kisah Bani Israil mengajarkan: ketika logika lebih diutamakan daripada iman, hati pun mengeras.
Pertanyaan ini mungkin terdengar berlebihan, tapi begitulah Allah menggambarkan Bani Israil dalam Al-Qur’an.
Mereka telah menyaksikan laut terbelah, memakan manna dan salwa, namun tetap saja menunda-nunda perintah Allah. Mengapa? Karena mereka lebih percaya pada logika daripada wahyu. Mereka ingin semua perintah Allah masuk akal dulu sebelum ditaati.
Padahal, iman itu bukan soal mengerti, tapi soal tunduk.
Allah ο·» berfirman:
“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.
Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai darinya, dan ada pula yang terbelah lalu keluar air darinya;
dan ada pula yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah.”
(Q.S. Al-Baqarah: 74)
Kisah Bani Israil: Ketika Logika Mengalahkan Iman
Ayat ini menutup kisah panjang tentang Bani Israil yang diperintahkan Allah untuk menyembelih seekor sapi.
Perintahnya sederhana, tapi mereka menunda, bertanya, dan berdebat.
“Bagaimana sapinya?”
“Warna apa?”
“Berapa umurnya?”
Pertanyaan demi pertanyaan, hingga akhirnya mereka menyembelihnya juga — itu pun dengan enggan.
Mereka ingin alasan logis terlebih dahulu, padahal ujian mereka justru ada pada ketaatan sebelum mengerti.
Ketika Akal Ditinggikan Melebihi Wahyu
Ustadz Dr. Ahmad Djalaluddin, Lc., MA dalam ceramahnya menjelaskan:
“Iman sejati adalah taat tanpa harus memahami sebabnya.”
Bukan berarti Islam menolak akal. Tapi, akal harus tunduk kepada wahyu.
Sebab, jika logika manusia dijadikan hakim atas semua perintah Allah, maka tak ada lagi ruang untuk iman.
Kerasnya hati dimulai dari satu kebiasaan: menunda ketaatan dengan alasan berpikir dulu.
Bani Israil bukan tidak tahu, mereka tahu — tapi tidak mau tunduk.
Dan itulah yang membuat hati menjadi lebih keras dari batu.
Tanda-Tanda Hati yang Membatu
Hati yang keras bukan hanya milik orang kafir.
Ia bisa tumbuh dalam diri siapa pun, termasuk yang rajin beribadah tapi kehilangan rasa.
Hati yang keras itu…
-
Tidak tersentuh oleh ayat-ayat Allah.
-
Tidak bergetar saat mendengar zikir.
-
Tidak menangis saat berdoa.
-
Tidak peduli pada dosa yang dilakukan.
Ketika zikir terasa hampa, ibadah seperti rutinitas, dan ayat-ayat tak lagi mengetuk dada, itulah tanda bahwa hati sedang membatu.
Langkah-Langkah Melembutkan Hati
Agar hati tak sekeras batu, Rasulullah ο·Ί dan para ulama memberi jalan-jalan penyembuhan:
-
Tadabbur Al-Qur’an
Bukan sekadar membaca huruf, tapi menyelami maknanya.
Al-Qur’an bukan hanya untuk dilisankan, tapi untuk ditumbuhkan dalam jiwa. -
Segera Taat
Jangan menunda.
Setiap kali berkata “nanti dulu”, hati kehilangan sedikit cahaya. -
Kurangi Debat yang Tidak Perlu
Banyak bertanya tanpa tujuan ketaatan justru menumpulkan rasa iman. -
Bergaul dengan Orang Saleh
Hati menular.
Duduk bersama orang yang lembut hatinya akan menular pada diri. -
Menangislah Karena Allah
Bahkan setetes air mata karena takut kepada-Nya bisa memadamkan api neraka.
Penutup: Saat Batu Menangis, Tapi Hati Diam
Bayangkan: batu saja bisa pecah dan memancarkan air karena takut kepada Allah.
Tapi berapa banyak manusia yang mendengar ayat Allah, melihat tanda-tanda kebesaran-Nya, namun tak terguncang sedikit pun?
Hati yang keras seperti Bani Israil bisa terjadi pada siapa pun. Agar hati tidak lebih keras dari batu, seorang muslim perlu menjaga zikir dan ketaatan pada wahyu.
Maka jangan biarkan hati menjadi lebih keras dari batu.
Lembutkan dengan zikir, tundukkan akal di bawah wahyu, dan biarkan iman mengalir seperti air dari celah batu, jernih, tenang, dan menghidupkan.
Semoga Allah menjadikan hati kita lembut dan mudah tersentuh oleh ayat-ayat-Nya.
Karena sesungguhnya, hati yang lembut adalah tanda kehidupan, dan hati yang keras adalah tanda kematian sebelum mati.
Malang, 14 Jumadil Awal 1447 H/ 6 November 2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung. Semoga langkah Anda hari ini membawa semangat baru untuk terus bertumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijak. Saya menghargai setiap dedikasi dan perjalanan Anda. Sampai kita berjumpa kembali, dalam tulisan atau kehidupan nyata.