Minggu, 08 Juni 2025

Ketika Al-Qur'an Mengajarkanku Arti Belajar: Refleksi Surah Al-Kahfi Ayat 66












Pagi ini, seperti biasa setelah shalat subuh, saya duduk dengan mushaf yang sudah menemani perjalanan spiritual saya bertahun-tahun. Ada ritual kecil yang selalu saya lakukan: membaca Al-Qur'an setelah maghrib dan subuh sambil merenungkannya, kemudian di waktu subuh saya menulis apa yang Allah sampaikan kepada hati ini.

Hari ini, mata saya terhenti pada ayat yang sudah saya baca berkali-kali, tapi entah mengapa kali ini terasa berbeda:

"Musa berkata kepadanya (Khidir), 'Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?'"
(QS. Al-Kahfi: 66)

Ketika Ego Bertemu dengan Ayat

Jujur, sebagai seorang dosen yang hampir menyelesaikan program doktoral, kadang ada momen ketika ego akademis itu muncul. Apalagi ketika berbicara di mimbar sebagai dai atau ketika menjadi motivator di berbagai forum. Ada saat-saat di mana kita merasa sudah "cukup tahu" tentang sesuatu.

Tapi ayat ini seperti menampar lembut hati saya pagi ini.

Bayangkan: Musa alaihissalam. Nabi yang berani berhadapan dengan Firaun. Pemimpin yang membelah laut. Orang yang berbicara langsung dengan Allah di Bukit Thursina. Tapi di hadapan seseorang yang memiliki ilmu yang tidak ia miliki, ia berkata dengan sangat rendah hati: "Bolehkah aku mengikutimu?"

Bukan "Aku mau kamu ajarkan aku."
Tapi "Bolehkah aku mengikutimu?"

Ada permintaan izin di sana. Ada pengakuan bahwa ia adalah murid, bukan guru.

Pelajaran dari Ruang Kelas Kehidupan

Dalam perjalanan akademis S3 saya, ada banyak momen yang membuat saya teringat ayat ini. Ketika dosen pembimbing memberikan kritik yang tajam terhadap penelitian yang sudah saya kerjakan berbulan-bulan. Awalnya, ego berteriak: "Tapi saya sudah mengerjakan ini dengan baik!"

Tapi kemudian saya ingat Musa AS. Jika seorang nabi saja bisa berkata "bolehkah aku mengikutimu" kepada Khidir, mengapa saya tidak bisa berkata hal yang sama kepada pembimbing saya?

Growth Mindset vs Fixed Mindset

Para psikolog menyebutnya "growth mindset" - pola pikir yang percaya bahwa kemampuan kita bisa berkembang melalui usaha dan pembelajaran. Tapi Al-Qur'an sudah mengajarkan konsep ini 1400 tahun yang lalu melalui kisah Musa dan Khidir.

Setiap kali saya mengajar mahasiswa, saya selalu ingat ayat ini. Kadang mahasiswa bertanya sesuatu yang tidak saya ketahui jawabannya. Dulu, ego akan membuat saya mencari-cari jawaban yang terdengar pintar. Sekarang, saya lebih sering berkata: "Pertanyaan yang bagus. Saya akan cari tahu dulu dan kita diskusikan minggu depan."

WhatsApp dan Wisdom

Zaman sekarang, kita hidup di era Google dan ChatGPT. Informasi ada di ujung jari. Tapi ayat ini mengingatkan saya bahwa informasi tidak sama dengan wisdom (hikmah).

Kemarin, ada teman yang mengirim pesan di WhatsApp grup alumni, merasa bangga karena bisa menjawab pertanyaan kompleks hanya dengan copy-paste dari internet. Saya teringat ayat ini. Musa AS tidak hanya ingin informasi dari Khidir. Ia meminta "ilmu yang benar" (rusydan) - ilmu yang membawa pada jalan yang benar.

Perbedaannya? Informasi bisa kita Google dalam 5 detik. Tapi wisdom membutuhkan proses, refleksi, dan yang terpenting: kerendahan hati untuk belajar dari orang lain.

Dari Mimbar ke Hati

Sebagai dai, saya sering berbicara di berbagai mimbar. Ada godaan untuk selalu terlihat tahu segalanya di hadapan jamaah. Tapi ayat ini mengajarkan sesuatu yang berbeda.

Suatu kali, setelah ceramah, seorang bapak tua mendekati saya dan bercerita tentang pengalamannya menghadapi ujian hidup. Cara ia memaknai ayat Al-Qur'an tentang sabar sangat berbeda dari yang pernah saya pelajari di buku-buku tafsir. Lebih dalam, lebih hidup.

Saat itu saya sadar: saya bisa jadi Musa yang belajar dari Khidir-nya sendiri. Pengalaman hidup bapak itu adalah guru bagi saya.

Ulama-ulama terdahulu juga mengajarkan hal yang sama, bahkan ada seseorang yang jauh-jauh datang menemuinya untuk bertanya sesuatu harus kecewa, karena ulama itu mengatakan aku tidak tahu. Mengatakan tidak tahu bukanlah tanda kebodohan, tapi sebuah kebijaksanaan.

Zoom Meeting dan Zona Nyaman

Era pandemi kemarin mengajarkan banyak hal. Sebagai dosen, saya harus belajar teknologi baru untuk mengajar online. Awalnya canggung, tapi kemudian saya ingat Musa AS. Bahkan di usia yang tidak lagi muda, ia masih mau belajar hal baru dari Khidir.

Saya mulai bertanya pada mahasiswa: "Kalian lebih paham soal teknologi ini. Bisakah kalian ajarkan saya cara yang lebih efektif?"

Hasilnya? Kelas jadi lebih interaktif. Mahasiswa merasa dihargai. Dan saya belajar banyak hal baru.

Neurosains juga mengkonfirmasi ini: ketika kita rendah hati dan terbuka pada pembelajaran baru, otak kita mengaktifkan neuroplastisitas - kemampuan membentuk koneksi neural baru. Ego dan kesombongan justru memblokir proses ini.

Refleksi Pribadi: Belajar dari Anak

Pengalaman paling mengena terjadi ketika anak tetangga, umur 7 tahun, bertanya pada saya setelah saya selesai ceramah di masjid:

"Ustadz, kenapa Allah buat nyamuk kalau cuma bikin kita gatel?"

Pertanyaan polos yang membuat saya terdiam. Bukan karena tidak tahu jawabannya, tapi karena menyadari betapa jernihnya cara berpikir anak-anak dalam memahami ciptaan Allah.

Saya jadi ingat Musa AS. Ia tidak malu belajar dari Khidir meskipun secara status, ia adalah seorang nabi. Mengapa saya harus malu belajar dari pertanyaan polos seorang anak?

Penerapan di Era Digital

1. Di Media Sosial
Alih-alih langsung berkomentar seolah paling tahu, saya mulai lebih banyak bertanya: "Bisa dijelaskan lebih detail?" atau "Menarik, saya belum pernah melihat dari sudut pandang ini."

2. Di Ruang Diskusi Online
Saat webinar atau diskusi online, daripada langsung menyanggah pendapat orang lain, saya coba memahami dulu sudut pandang mereka.

3. Dalam Penelitian
Ketika membaca paper yang bertentangan dengan hipotesis saya, daripada langsung mencari kelemahan penelitian tersebut, saya coba pahami dulu apa yang sebenarnya ingin disampaikan penulisnya.

Jadilah Musa, Cari Khidir-mu

Setelah merenungkan ayat ini pagi tadi, saya sampai pada kesimpulan sederhana: setiap hari, kita bertemu dengan "Khidir" kita masing-masing. Bisa jadi dosen pembimbing, mahasiswa, teman kerja, atau bahkan anak tetangga.

Pertanyaannya: apakah kita akan berperan sebagai Musa yang rendah hati dan siap belajar? Atau malah terjebak dalam ego yang menghalangi kita dari ilmu yang bermanfaat?

Al-Qur'an mengajarkan bahwa belajar itu bukan tentang menumpuk informasi, tapi tentang mendapatkan rusydan - ilmu yang membawa pada kebenaran dan kemaslahatan.

Dan itu semua dimulai dari dua kata sederhana yang diucapkan Musa AS:

"Bolehkah aku...?"

Kerendahan hati itu adalah kunci. Al-Qur'an sudah mengajarkannya. Sains modern mengkonfirmasinya. Tinggal kita yang harus mempraktikkannya.

Ditulis setelah tadabbur subuh, dengan secangkir air putih dan hati yang dipenuhi rasa syukur atas pelajaran yang tak pernah habis dari Al-Qur'an.

Baca Kelanjutannya disini

Malang, 12 Dzulhijjah 1446 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung. Semoga langkah Anda hari ini membawa semangat baru untuk terus bertumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijak. Saya menghargai setiap dedikasi dan perjalanan Anda. Sampai kita berjumpa kembali, dalam tulisan atau kehidupan nyata.