Kamis, 12 Juni 2025

Ketika Khidir Menguji Kesabaranku: Refleksi Surah Al-Kahfi Ayat 67


Pagi ini, setelah membaca ayat 66 kemarin tentang kerendahan hati Musa 'Alaihissalam, mata saya langsung tertuju pada kelanjutan kisahnya. Dan seperti biasa, Al-Qur'an tidak pernah sia-sia memberikan detail:

"Dia (Khidir) berkata, 'Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku.'"
(QS. Al-Kahfi: 67)

Sambil menyeruput air madu dan habbatussauda subuh, saya terdiam. Ini bukan jawaban yang saya harapkan jika saya jadi Musa AS. Bukannya "Baiklah, ayo ikut!", Khidir malah langsung bilang: "Kamu nggak akan kuat."

Flashback: Ketika Dosen Pembimbing Berkata "Tidak"

Saya langsung teringat momen awal program doktoral dulu. Setelah mengumpulkan keberanian untuk menemui calon pembimbing dengan proposal yang sudah saya susun berbulan-bulan, respons yang saya terima hampir mirip dengan Khidir:

"Mas, penelitian ini tidak sesederhana yang Anda bayangkan, variabel yang digunakan ini tidak lazim dalam dunia ilmiah. Jika bisa, ini akan luar biasa sekali, tapi "angel" (Sulit). Anda siap menghadapi data yang tidak sesuai ekspektasi? Siap ketika metodologi harus diubah berkali-kali?"

Proses pembimbingan kami tidak biasa seperti mahasiswa pada umumnya, jika yang lain langsung ke proposal. Kami harus mulai dari matrik penelitian. Hal yang paling menantang dari matrik penelitian adalah mencari indikator dan subindikator dari tujuan khusus yang sudah dibuat. 

Saat itu, saya dalam hati bergumam: "Kenapa tidak langsung bilang iya saja?"

Sekarang saya paham. Seperti Khidir kepada Musa, dosen pembimbing saya sedang menguji apakah saya memiliki stamina mental untuk perjalanan panjang yang tidak mudah diprediksi.

Mengapa Khidir Langsung "Skeptis"?

Khidir bukan orang yang sombong atau tidak mau mengajar. Tafsir Al-Muyassar menjelaskan bahwa Khidir tahu persis sifat ilmu yang akan ia bagikan: ilmu laduni - ilmu langsung dari Allah yang tidak selalu bisa dipahami dengan logika biasa.

Bayangkan: Anda akan melihat seseorang melubangi kapal, membunuh anak kecil, dan memperbaiki tembok tanpa dibayar. Tanpa penjelasan. Dan Anda harus diam saja.

Siapa yang kuat?

Khidir paham bahwa tantangan terbesar dalam belajar bukanlah soal IQ atau kemampuan akademis. Tapi kemampuan menahan diri ketika belum mengerti.

Pristiwa ini juga terjadi dalam kehidupan saya, beberapa kali promotor (dosen pembimbing) mengatakan, "Jika tidak kuat dengan cara saya membimbing, proses yang dilalui selama bimbingan, silakan cari pembimbing lain"

Amygdala vs Prefrontal Cortex: Perang di Dalam Otak

Sebagai akademisi yang juga belajar psikologi, saya paham kenapa Khidir khawatir dengan kesabaran Musa. Neurosains menjelaskan fenomena ini dengan sangat detail.

Ketika kita menghadapi situasi yang tidak sesuai ekspektasi atau bertentangan dengan pemahaman kita, amygdala (pusat emosi di otak) langsung merespons dengan sinyal "bahaya!" Hasilnya: stres, frustrasi, bahkan kemarahan.

Saat amygdala mengambil alih, prefrontal cortex (bagian otak yang bertanggung jawab untuk berpikir rasional dan sabar) menjadi "offline". Itulah mengapa ketika kita marah atau frustrasi, kita sering mengambil keputusan yang tidak logis.

Contoh nyata dalam hidup saya:

Ketika pertama kali menggunakan software analisis data yang rumit untuk penelitian, saya hampir menyerah di hari ketiga. Error terus muncul, tutorial YouTube tidak membantu, dan deadline mendekat. Amygdala saya berteriak: "Pakai cara lama saja!"

Untungnya, saya teringat ayat ini. Khidir bilang ke Musa: "Kamu tidak akan sabar." Dan saya bertanya pada diri sendiri: "Apakah saya akan membuktikan Khidir benar, atau akan belajar dari Musa?"

Pelajaran dari Ruang Kelas

Sebagai dosen, saya sering melihat mahasiswa yang frustrasi ketika tidak langsung mengerti konsep yang saya ajarkan. Ada yang langsung bilang: "Pak, ini terlalu sulit!" atau "Untuk apa kita belajar ini?"

Saya ingat ayat ini. Khidir tidak langsung menolak Musa, tapi memberikan warning yang jujur. Maka saya mulai mengadopsi pendekatan serupa:

"Teman-teman, materi hari ini mungkin akan membuat kalian frustrasi. Tidak apa-apa. Itu normal. Yang penting, jangan menyerah di tengah jalan. Kadang pemahaman datang setelah proses selesai."

Hasilnya? Mahasiswa lebih siap mental menghadapi kesulitan. Mereka tahu bahwa frustrasi adalah bagian dari proses, bukan tanda kegagalan.

WhatsApp Group dan Patience Tolerance

Era digital ini malah mempersulit masalah kesabaran. Semua serba instan. Google, ChatGPT, DeepSheek, Cloud AI,  YouTube, semuanya memberikan jawaban dalam hitungan detik.

Tapi ada jenis ilmu yang tidak bisa di Google. Ilmu tentang sabar menghadapi kritikan. Ilmu tentang bagaimana mempertahankan prinsip ketika orang lain tidak setuju. Ilmu tentang konsisten dalam kebaikan meskipun tidak ada yang menghargai.

Contoh konkret:

Kemarin, di grup WhatsApp, ada diskusi panas tentang kebijakan kampus. Saya hampir ikut berkomentar dengan emosi. Tapi saya ingat Khidir: "Engkau tidak akan sanggup sabar."

Saya tutup HP, ambil wudu, dan baca Al-Qur'an. Setelah tenang, baru saya buka lagi grup dan menulis respons yang lebih bijak.

Frustration Tolerance yang dibicarakan psikolog sebenarnya sudah Allah ajarkan melalui kisah Musa-Khidir ini.

Ketika Anak Bertanya: "Kenapa Harus Sabar?"

Suatu sore, anak tetangga yang biasa menanyakan hal-hal filosofis itu datang lagi:

Saya masih ingat pertanyaannya, karena di rumah, saya membuka kesempatan anak-anak untuk belajar baca Al-Qur'an dan Ilmu kehidupan. Saya namakan Rumah Mutiara Cendikia.

"Ustadz, kenapa sih Allah tidak langsung kasih tahu semua jawabannya? Kenapa kita harus sabar dulu?"

Pertanyaan yang membuat saya tersenyum. Saya ceritakan kisah Musa dan Khidir dengan bahasa yang sederhana:

"Kamu tahu main puzzle kan? Kalau semua potongannya langsung tersusun, masih seru nggak mainnya?"

"Nggak."

"Nah, hidup itu seperti puzzle. Allah kasih kita potongan-potongan kecil. Kalau kita sabar, lambat laun kita akan lihat gambar besarnya."

Anak itu mengangguk. Dan saya sadar, saya baru saja belajar dari pertanyaan polosnya tentang pentingnya proses dalam memahami hidup.

Aplikasi Praktis di Era FOMO

1. Dalam Penelitian
Ketika data tidak sesuai hipotesis, daripada langsung panik atau mengubah metodologi, saya belajar untuk "sit with discomfort" dulu. Siapa tahu ada insight yang lebih dalam jika saya sabar menggali lebih lanjut.

2. Dalam Mengajar
Saya mulai memberikan "disclaimer kesabaran" di awal semester: "Mata kuliah ini akan menguji kesabaran kalian. Tapi percayalah, kalau kalian bertahan sampai akhir, perspektif kalian akan berubah total."

3. Dalam Berdakwah
Ketika ceramah di masjid dan melihat beberapa jamaah yang terlihat bosan atau mengantuk, daripada frustrasi, saya ingat Khidir. Mungkin mereka belum siap menerima pesan ini hari ini. Tapi suatu saat, insya Allah.

4. Di Media Sosial
Ketika ada komentar yang provokatif di postingan dakwah, daripada langsung balas dengan emosi, saya tunggu dulu. Kadang yang dibutuhkan adalah jawaban yang sabar, bukan yang cepat.

Neurosains dan Spiritual Intelligence

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa meditasi dan dzikir dapat memperkuat prefrontal cortex dan mengurangi reaktivitas amygdala. Dengan kata lain, spiritual practice secara literal membuat kita lebih sabar.

Ini yang saya alami setelah rutin tadabbur Al-Qur'an setiap subuh. Kemampuan saya menghadapi situasi yang tidak sesuai ekspektasi meningkat drastis. Bukan karena saya jadi orang suci, tapi karena otak saya terlatih untuk tidak langsung reaktif.

Menjadi Musa yang Lebih Sabar

Ayat ini mengajarkan saya bahwa kesabaran bukanlah passive acceptance, tapi active resilience - kemampuan tetap bertahan dalam proses belajar meskipun belum memahami gambaran besarnya.

Khidir tidak bermaksud menakut-nakuti Musa. Ia sedang mempersiapkan mental Musa untuk perjalanan yang tidak biasa. Seperti dosen pembimbing yang jujur memberitahu tingkat kesulitan penelitian. Seperti orang tua yang mempersiapkan anaknya menghadapi realitas hidup.

Pertanyaan untuk kita:
Ketika hidup berkata "engkau tidak akan sanggup sabar," apakah kita akan mundur, atau malah membuktikan bahwa kita bisa belajar menjadi lebih sabar?

Musa 'Alaihissalam akhirnya membuktikan bahwa meskipun ia memang tidak sanggup sabar sampai akhir, ia tetap mendapatkan pelajaran berharga dari setiap momen bersama Khidir.

Begitu juga kita. Tidak sempurna itu manusiawi. Yang penting, kita terus belajar.

Malang, 13 Dzulhijjah 1446 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung. Semoga langkah Anda hari ini membawa semangat baru untuk terus bertumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijak. Saya menghargai setiap dedikasi dan perjalanan Anda. Sampai kita berjumpa kembali, dalam tulisan atau kehidupan nyata.