Mari saya mulai dari sini.
Ketika “Mahasiswa Ideal” Ternyata Lelah
Beberapa waktu lalu, ada seorang mahasiswa datang ke saya.
IPK-nya 3,9. Sertifikat lombanya segudang. Proyeknya nggak pernah berhenti.
Kalau hanya melihat LinkedIn-nya, mungkin kita semua sepakat: wah, ini sih calon bintang masa depan.
Tapi begitu pintu ruangan tertutup dan obrolan dimulai, dia berkata:
“Pak… saya capek. Rasanya hidup saya kayak robot. Saya nggak tahu lagi apa yang saya mau.”
Jujur, meski saya sering mendengar cerita seperti ini, setiap kali tetap saja terasa. Karena kalimat itu biasanya keluar dari seseorang yang sudah terlalu lama menahan beban sendiri.
Dan, tentu saja, dia bukan satu-satunya.
Sisi Jujur Mahasiswa
Untuk mengetahui bagaimana perasaan mereka minggu itu, saya mengajak peserta menjawab pertanyaan ringan di Menti:
“Dalam satu kata, apa yang menggambarkan hidupmu minggu ini?”
Hasilnya? Campur aduk.
Ada yang menulis capek, gelisah, biasa, tapi ada juga yang mantap, seru, kuat.
Saya suka bagian ini karena Menti membuat kejujuran jadi lebih mudah.
Tidak perlu cerita panjang, cukup satu kata, dan kita langsung bisa melihat gambaran besar tentang kondisi mental satu ruangan.
Treadmill Life: Kelihatan Cepat, Tapi Nggak ke Mana-Mana
Kembali ke mahasiswa tadi.
Saya tanya apa saja kegiatannya sehari-hari.
“Bangun, kuliah, tugas, coding, freelance sedikit. Capek, pak…
tapi kalau berhenti, saya takut tertinggal.”
Saya bilang ke dia:
“Kamu seperti lari di atas treadmill. Kelihatannya cepat, tapi sebenarnya nggak ke mana-mana.”
Dia tertawa kecil, tawa yang menandakan “iya, saya ngerti maksudnya, pak”, tapi matanya sedikit basah.
Dan jujur saja, banyak mahasiswa hidup dalam pola yang sama.
Fenomena "Robot Akademik:
Fenomena ini saya sebut robot akademik.
Fungsinya jalan, tugas beres, nilai oke.
Tapi tidak pernah berhenti bertanya:
-
Aku ini siapa?
-
Sebenarnya aku mau apa?
-
Kenapa aku hidup dengan ritme seperti ini?
Ada tiga alasan kenapa banyak mahasiswa terjebak di mode “robot”:
-
Takut tertinggal.
-
Takut mengecewakan orang lain.
-
Tidak pernah belajar membaca diri sendiri.
Mereka pintar membaca data, tapi belum terbiasa membaca emosi dan batasan diri.
Kenapa Mereka Kuliah? Jawabannya Menarik!
Saat saya menanyakan:
“Apa alasan terbesar kamu kuliah?”
Hasilnya lumayan bervariasi:
-
Mencari pekerjaan bagus
-
Membanggakan orang tua
-
Tekanan lingkungan
-
Mencari jati diri
-
Belum tahu
Yang terakhir itu, belum tahu, justru yang paling jujur.
Dan menurut saya, sangat manusiawi.
Saya minta peserta memberi nilai keseimbangan hidup mereka dari 0–10.
Hasilnya menyebar, ada yang 3, ada yang 5, ada yang 8.
Saya bilang:
“Tidak semua orang sekuat kelihatannya.
Ini bukan tentang sempurna, ini tentang sadar.”
Kadang angka 5 itu jauh lebih jujur daripada angka 9.
Momen Menyentuh: Jika Tidak Ada Tekanan, Apa yang Sebenarnya Ingin Mereka Pelajari?
Salah satu pertanyaan favorit saya adalah:
“Kalau tidak ada tekanan dari siapa pun, apa yang ingin kamu pelajari?”
Jawabannya membuat saya tersenyum lebar, dan agak terharu:
-
sastra
-
psikologi
-
videografi
-
seni
-
deep learning
-
perfilman
-
main musik
-
jadi aktor atau model
-
bahkan ada yang menuliskan: “makan”
Melihat jawaban itu, saya tiba-tiba ingat sesuatu:
Saat tekanan sosial dihilangkan, manusia kembali menjadi makhluk yang penasaran, kreatif, dan autentik.
Mereka bukan malas.
Mereka hanya ingin belajar hal yang membuat mereka hidup, bukan sekadar hidup untuk belajar.
Apa yang Ingin Mereka Ubah Agar Hidup Lebih Seimbang?
Pertanyaan berikutnya:
“Apa satu hal yang akan kamu ubah minggu ini agar hidupmu lebih seimbang?”
Jawabannya jujur dan menggemaskan:
-
manajemen waktu
-
mindset
-
pola pikir
-
olahraga
-
jam tidur
-
produktif
-
kurangi mobile legends
-
(dan yang paling jujur): otak saya
Saya ketawa kecil membaca itu, tapi saya paham maksudnya.
Mahasiswa hari ini bukan tidak ingin berubah, mereka hanya butuh mulai dari satu langkah kecil.
Motivasi Itu Berlapis-Lapis
Saya menjelaskan pada mereka bahwa motivasi itu punya tiga lapisan:
-
Eksternal: nilai, tuntutan, ekspektasi.
Cepat habis. -
Internal: rasa ingin tahu.
Lebih stabil. -
Esensial / Purpose: arah hidup yang sebenarnya.
Ini yang membuat kita tetap berdiri saat hidup berat.
Mahasiswa dalam cerita saya akhirnya menemukan purpose-nya:
ia ingin membuat data yang lebih manusiawi.
Sederhana, tapi asli dari hatinya sendiri.
Penutup yang Membahagiakan: Perasaan Setelah Webinar
Di akhir sesi, saya tanya:
“Satu kata yang menggambarkan perasaanmu setelah webinar ini?”
Hasilnya bikin saya senyum sendiri:
termotivasi, senang, terarah, fun, interaktif, mantap, wow, jos, aman, bergetar.
Kata “bergetar” adalah favorit saya, entah maksudnya apa, tapi saya bisa merasakan emosinya.
Akhirnya: Kamu Tidak Harus Sempurna untuk Layak Bahagia
Beberapa bulan setelah pertemuan kami yang pertama, mahasiswa tadi datang lagi.
Dia berkata:
“Saya masih sibuk, pak…
tapi sekarang saya tahu apa yang saya kejar.
Rasanya hidup saya punya warna lagi.”
Dan saya ingin menyampaikan hal yang sama kepada semua mahasiswa yang membaca tulisan ini:
“Hidup bukan cuma tentang cepat lulus atau cepat dapat kerja.
Hidup adalah tentang menemukan versi terbaik dari diri kalian.”
Kalian bukan robot.
Kalian bukan mesin.
Kalian manusia, dengan mimpi, rasa lelah, dan tujuan yang sedang berkembang.
Dan itu sudah lebih dari cukup.
Malang, 19 Jumadil Akhir 1446 H/ 10 Desember 2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung. Semoga langkah Anda hari ini membawa semangat baru untuk terus bertumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijak. Saya menghargai setiap dedikasi dan perjalanan Anda. Sampai kita berjumpa kembali, dalam tulisan atau kehidupan nyata.