
Bayangkan seorang anak berusia lima tahun sedang bermain boneka. Ia berkata pelan, “Boneka ini capek hidup, lalu tidur selamanya.”
Bagi orang dewasa, kalimat itu mungkin terdengar seperti imajinasi biasa. Namun bagi peneliti dan klinisi, ungkapan sederhana seperti ini bisa menjadi jendela awal untuk memahami dunia batin anak—termasuk risiko psikologis yang serius.
Artikel ilmiah yang baru terbit di Psychiatry Research mengajak kita melihat pikiran bunuh diri pada anak usia dini (4–7 tahun) dari sudut pandang yang jarang diperhatikan: bahasa anak itu sendiri . Tulisan ini merangkum gagasan utama artikel tersebut dengan bahasa yang lebih mudah dipahami, agar relevan bagi pendidik, orang tua, praktisi kesehatan, dan pembaca umum.
Mengapa Bahasa Anak Itu Penting?
Anak kecil belum bisa menjelaskan perasaan mereka seperti orang dewasa. Mereka tidak berkata, “Saya mengalami distress emosional dan ideasi bunuh diri.”
Sebaliknya, mereka bercerita, bermain peran, menggambar, atau menggunakan metafora.
Bahasa anak ibarat lampu indikator di dashboard mobil. Lampu itu tidak menjelaskan kerusakan secara detail, tetapi memberi tanda bahwa ada sesuatu yang perlu diperiksa. Mengabaikannya bisa berisiko.
Penelitian menunjukkan bahwa sejak usia 4 tahun, anak sudah mampu:
Memahami konsep kematian (tidak kembali, bersifat universal),
Mengekspresikan emosi melalui cerita dan simbol,
Mengaitkan pengalaman emosional dengan narasi sederhana .
Artinya, ketika anak berbicara tentang kematian, itu tidak selalu sekadar meniru orang dewasa, tetapi bisa mencerminkan pemahaman dan pengalaman internal mereka.
Bukan Semua Cerita Kematian Itu Berbahaya
Penting untuk menegaskan satu hal:
tidak semua pembicaraan anak tentang kematian berarti ada risiko bunuh diri.
Anak yang sehat secara psikologis juga sering:
Bermain “mati-matian” dalam permainan,
Membuat cerita tokoh yang meninggal,
Bertanya tentang hidup dan mati.
Ini adalah bagian normal dari perkembangan kognitif dan simbolik.
Masalah muncul ketika pola bahasanya berulang, datar secara emosi, dan tidak terselesaikan—seperti cerita yang selalu berakhir dengan kematian tanpa harapan atau pemulihan.
Empat Tanda Linguistik yang Perlu Diperhatikan
Artikel ini mengusulkan kerangka awal untuk membaca risiko bunuh diri melalui bahasa anak. Bayangkan kita sedang membaca sebuah buku cerita. Bukan hanya apa ceritanya, tetapi bagaimana ceritanya disampaikan.
1. Tema Cerita
Apakah anak sering kembali pada topik:
Kematian,
Menghilang selamanya,
Kekerasan atau melukai diri?
Contoh:
“Kalau aku pergi, semua orang bakal diam.”
2. Nada Emosi
Bukan hanya kata-katanya, tetapi cara mengucapkannya:
Apakah suaranya datar?
Apakah emosi tiba-tiba menghilang saat cerita tentang kematian?
Seperti musik tanpa dinamika—monoton dan dingin.
3. Bentuk Bahasa
Anak kadang memakai:
Waktu lampau untuk dirinya sendiri (“Aku sudah mati”),
Metafora gelap (“Awan hitam bawa aku pergi”).
Metafora ini ibarat bahasa rahasia yang menyembunyikan perasaan sulit diungkapkan secara langsung.
4. Struktur Cerita
Perhatikan alurnya:
Cerita terpotong,
Berulang tanpa solusi,
Selalu berakhir dengan kehilangan.
Seperti buku yang tak pernah sampai ke halaman terakhir.
Melengkapi, Bukan Menggantikan, Alat Klinis
Pendekatan berbasis bahasa ini bukan pengganti alat asesmen klinis yang sudah ada. Ia berfungsi seperti mikroskop tambahan.
Jika alat standar adalah termometer, maka analisis bahasa adalah stetoskop—mendengarkan detak halus yang tak terlihat.
Pendekatan ini dapat:
Melengkapi wawancara klinis,
Membantu anak yang sulit mengekspresikan diri secara langsung,
Memberi sinyal lebih awal sebelum muncul perilaku ekstrem .
Etika Mendengarkan Anak
Pesan terpenting dari artikel ini bukan hanya metodologis, tetapi etis.
Anak bukan sekadar objek observasi. Mereka adalah subjek yang berbicara, meski dengan bahasa yang berbeda dari orang dewasa.
Mendengarkan cerita anak berarti:
Menghargai suara mereka,
Tidak meremehkan metafora dan permainan,
Menyadari bahwa makna sering tersembunyi di balik cerita sederhana.
Penutup: Dari Cerita ke Kepedulian
Seorang anak mungkin tidak pernah berkata, “Saya butuh bantuan.”
Namun lewat cerita, metafora, dan permainan, mereka sering sudah berteriak—dengan cara mereka sendiri.
Pendekatan linguistik-kognitif ini mengingatkan kita bahwa pencegahan risiko bunuh diri pada anak dimulai dari mendengarkan. Bukan hanya dengan telinga, tetapi dengan empati, kepekaan bahasa, dan kesadaran perkembangan.
Karena kadang, cerita kecil adalah pesan besar yang sedang menunggu untuk dipahami.
Selengkapnya bisa baca disini untuk akses free yang diberikan elsevier : Toward a Linguistic-Cognitive Perspective on Suicidal Thoughts in Young Children jika akses sudah ditutup bisa baca disini
Malang, 3 Rajab 1447 H/ 23 Desember 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung. Semoga langkah Anda hari ini membawa semangat baru untuk terus bertumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijak. Saya menghargai setiap dedikasi dan perjalanan Anda. Sampai kita berjumpa kembali, dalam tulisan atau kehidupan nyata.