Di era digital, cara manusia bercerita mengalami perubahan yang sangat mendasar. Cerita tidak lagi hanya hadir dalam bentuk buku cetak, cerpen di majalah, atau puisi di antologi. Hari ini, cerita hidup dalam video pendek, unggahan media sosial, podcast, dan berbagai bentuk konten digital yang dikonsumsi lintas generasi. Dalam konteks ini, sastra sesungguhnya tidak kehilangan relevansi, ia justru menemukan ruang hidup yang baru.
Sastra selama ini kerap dipahami sebagai karya estetis yang berdiri di wilayah simbolik dan akademik. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, sastra adalah seni bertutur: tentang manusia, pengalaman, konflik, dan makna. Esensi ini sangat sejalan dengan kebutuhan dunia kreatif digital yang bertumpu pada narasi, emosi, dan kedekatan dengan audiens. Sayangnya, potensi ini belum sepenuhnya dimanfaatkan, terutama oleh mahasiswa dan lulusan bidang sastra.
Banyak mahasiswa sastra memiliki kepekaan bahasa, imajinasi, dan kemampuan analisis yang kuat. Namun, tidak sedikit yang masih memosisikan sastra sebatas objek kajian, bukan sebagai modal kreatif yang dapat dikembangkan secara produktif. Media sosial, platform video, dan ekosistem ekonomi kreatif sering dipandang sebagai ruang “di luar” sastra, padahal justru di sanalah narasi bekerja paling intens hari ini.
Padahal, jika kita cermati, dunia kreatif digital sangat membutuhkan keterampilan yang selama ini dilatih dalam sastra: membangun karakter, menciptakan konflik, merangkai alur, memilih diksi, dan menghadirkan emosi. Konten yang bertahan dan memiliki dampak bukanlah konten yang sekadar viral, tetapi yang memiliki cerita. Di titik inilah sastra dapat berperan sebagai fondasi penting bagi ekonomi kreatif.
Transformasi sastra di era digital juga membuka peluang baru dalam pembelajaran dan pengembangan karier. Storytelling tidak hanya relevan untuk penulis atau sastrawan, tetapi juga untuk kreator konten, penulis naskah digital, pengelola media, pegiat budaya, hingga pelaku industri kreatif. Sastra tidak lagi berhenti pada proses membaca dan menulis, tetapi berlanjut pada produksi makna yang hidup di ruang publik digital.
Kesadaran inilah yang mendorong pentingnya ruang-ruang diskusi yang mempertemukan sastra, media baru, dan ekonomi kreatif. Ruang dialog semacam ini tidak hanya membahas teori, tetapi juga membuka perspektif praktis tentang bagaimana sastra dapat bertransformasi, beradaptasi, dan tetap relevan di tengah perubahan zaman.
Sebagai bagian dari upaya tersebut, Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Jember bersama Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, FKIP Universitas Muhammadiyah Jember, Jurnal Semiotika, dan Jurnal Belajar Bahasa menyelenggarakan Webinar Ngontras #53 dengan tema “Sastra dalam Ekonomi Kreatif.” Kegiatan ini menghadirkan diskusi tentang sastra sebagai aset budaya yang dapat dikembangkan secara kreatif dan produktif di era digital.
Melalui forum ini, peserta diajak untuk melihat sastra bukan hanya sebagai objek kajian akademik, tetapi sebagai sumber ide, ekspresi, dan peluang. Sebuah ajakan untuk memaknai ulang posisi sastra dalam kehidupan generasi digital, lebih dekat dengan realitas, lebih terbuka terhadap media baru, dan lebih berdaya secara kreatif.
Webinar ini akan dilaksanakan pada Sabtu, 27 Desember 2025, pukul 10.00–12.00 WIB secara daring melalui Zoom. Kegiatan ini terbuka untuk mahasiswa, dosen, peneliti, dan siapa pun yang tertarik pada pengembangan sastra di era ekonomi kreatif.
Bagi saya, diskusi semacam ini penting bukan hanya untuk memperluas wawasan, tetapi juga untuk menumbuhkan keberanian melihat sastra dari sudut yang lebih kontekstual. Sastra tidak sedang ditinggalkan, ia sedang mencari cara baru untuk terus hidup.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung. Semoga langkah Anda hari ini membawa semangat baru untuk terus bertumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijak. Saya menghargai setiap dedikasi dan perjalanan Anda. Sampai kita berjumpa kembali, dalam tulisan atau kehidupan nyata.