Minggu, 14 Desember 2025

Ketika Manusia Terlupa, Alam Berbicara

Air Terjun Lembah Anai

Sering kali kita lupa bahwa alam bukan sekadar latar kehidupan. Ia bukan benda mati yang boleh diperlakukan sesuka hati. Alam adalah amanah, titipan sunyi yang Allah letakkan di tangan manusia, dengan harapan dijaga, bukan dilukai.

Allah telah mengingatkan dengan lembut namun tegas:

“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya…”
(QS. Al-A’raf: 56)

Ayat itu terasa seperti cermin. Kita melihat diri sendiri di dalamnya. Ketika keserakahan menjadi kebiasaan, ketika keseimbangan tak lagi dipedulikan, alam menanggung akibatnya, tanpa suara, tanpa keluhan, hanya luka yang perlahan menganga.

Islam mengajarkan kita untuk bersikap penuh adab kepada seluruh ciptaan. Rasulullah ο·Ί pernah menegur seorang sahabat yang mengambil anak burung dari sarangnya. Sang induk gelisah, terbang tak tentu arah. Rasulullah ο·Ί meminta anak burung itu dikembalikan. Sebuah kisah sederhana, namun mengetuk hati: bahwa kegelisahan makhluk lain pun adalah tanggung jawab kita.

Begitu pula dengan pepohonan. Rasulullah ο·Ί melarang penebangan tanpa kebutuhan yang benar. Bahkan, menanam satu pohon disebut sebagai sedekah yang pahalanya terus mengalir. Dari sana kita belajar, bumi ini bukan milik kita sepenuhnya. Ia adalah ladang amal, tempat jejak kebaikan atau kerusakan kita tertinggal.

Alam telah lama menjadi sahabat yang setia. Ia memberi tanpa banyak menuntut: udara yang kita hirup tanpa kita sadari, air yang mengalir untuk kehidupan, tanah yang setia menyangga langkah. Namun betapa sering kita memperlakukannya dengan abai, bahkan dengan rakus. Seolah semua ini akan selalu ada, meski kita tak pernah menjaga.

Padahal Allah telah berfirman:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia…”
(QS. Ar-Rum: 41)

Ketika banjir datang, ketika longsor merenggut rumah dan harapan, ketika udara terasa sesak di dada, mungkin itu bukan sekadar bencana. Barangkali itu cara Allah mengingatkan kita, agar kembali. Kembali pada fitrah sebagai penjaga, bukan perusak.

Mungkin sudah saatnya kita belajar bersujud dengan cara yang lebih luas. Tidak hanya di atas sajadah, tetapi juga dalam sikap kita pada bumi. Menanam pohon adalah doa yang tumbuh perlahan. Mengurangi sampah adalah amal yang sering tak terlihat. Menghemat air adalah syukur yang nyata. Menjaga alam adalah ibadah yang sunyi, tetapi dicatat.

Sebab pada akhirnya, apa yang kita lakukan pada alam akan kembali pada diri kita sendiri. Dan siapa yang menjaga ciptaan Allah dengan cinta dan kesadaran, niscaya Allah menjaga hidupnya dengan rahmat yang tak disangka-sangka.

Wallāhu a‘lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung. Semoga langkah Anda hari ini membawa semangat baru untuk terus bertumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijak. Saya menghargai setiap dedikasi dan perjalanan Anda. Sampai kita berjumpa kembali, dalam tulisan atau kehidupan nyata.