Sumber: Google |
Ada sebuah
hasil survey yang sangat membahayakan di Amerika Serikat tentang IQ, kita semua
hari ini mungkin melihat, mendegar, dan merasakan bagaimana anak-anak lebih
cepat menguasai teknologi dibandingkan kaum tua. IQ anak-anak makin tinggi, tetapi
kecerdasan emosi mereka justru turun.
Walaupun
data ini cukup lama tapi patut kita renungkan hasil survei besar-besaran tahun
80-an terhadap para orang tua dan guru menunjukkan, “anak-anak generasi
sekarang lebih sering mengalami masalah emosi ketimbang generasi terdahulunya.
Coba Anda survei kecil-kecilan di sekitar Anda, Keluarga, Masyarakat, dan
sekolah. Apa yang Anda lihat?
Mereka
tumbuh dalam kesepian dan depresi, mudah marah dan sulit diatur, lebih gugup
dan cenderung cemas, impulsif dan agresif. Apalagi kehidupan di kota besar yang hyper competitive.
Survey itu
terus berlanjut bukan hanya untuk anak-anak tetapi penelitian juga ditujukan
terhadap ratusan ribu pekerja, dari level bawah hingga eksekutif puncak,
mencakup perusahaan besar sampai perusahaan kecil. Apa hasil penemuannya?
Setelah
diteliti ditemukan inti kemampuan pribadi dan sosial yang sama, yang terbukti
menjadi kunci utama keberhasilan, yaitu kecerdasan emosi. Tapi saya mengajak
Anda untuk berpikir sejenak lihatlah kondisi jalan raya, lakukanlah survei
kecil-kecilan. Sekarang apa yang Anda lihat? Inilah gambaran kondisi sumber
daya manusia kita.
Beberapa
waktu yang lalu saya berdiskusi dengan salah satu keluarga (Om) yang bekerja di
salah satu perusahaan besar di Indonesia. Apa yang dia temukan dalam dunia
kerja. Ternyata yang melakukan intrik dan persaingan kurang sehat bukan hanya
dilakukan oleh kalangan bawah yang secara pendidikan kurang, tetapi bisa
dilakukan oleh Top Level. Why?
Apa yang
salah dengan pendidikan kita selama ini? saya tidak heran dengan semua fakta
yang saya dengar dan baca. Karena ada yang hilang dalam pendidikan kita selama
ini. ketika pendidikan kita hanya berorientasi kepada nilai akademis tanpa
mengasah kecerdasan emosi, inilah hasilnya. Kita kehilangan rasa dalam
berkaraya. Kita kehilangan rasa untuk saling memahami. Kita kehilangan rasa
untuk saling berkorban. Kita kehilangan rasa untuk sama-sama menanggung beban.
Lalu apa yang terjadi?
Kita bisa
menduga kemandekkan di tengah kerumunan. Kita memang beraktivitas, bekerja,
belajar, tetapi kita mengalami kemandekan karir, kemandekan berpikir,
kemandekan suara hati yang tidak lagi bernyanyi. Karena telah ditutupi dengan
kepentingan-kepentingan sesaat, informasi sampah, bacaan dan tontonan yang
merusak (tidak memberdayakan).
Oleh karena itu, hendaknya kita belajar untuk
berpikir melingkar, berpikir secara menyeluruh. Tidak dari satu sisi. Inilah
yang hilang dari pendidikan kita hari ini. saya berharap jika berpikir tentang
pendidikan yang terbayang bukan hanya sekolah, tetapi pendidikan di keluarga
dan di masyarakat.
Ketika kita
dihadapkan dengan tantangan hidup, jangan mengambil keputusan dengan emosi yang
salah. Karena akan berdampak hasil keputusan yang salah. Akhirnya tindakan yang
diambil salah, dan nasibnya pun salah. Apapun kondisinya berpikirlah jernih,
berpikirlah melingkar, pertimbangkan maslahat dan mudhorotnya.
Kebiasaan
ini yang jarang dilatih dalam pendidikan kita. Memisahkan spritualitas dengan
ekonomi, pekerjaan, bisnis, politik sehingga ada kehampaan nilai. Dampaknya
kita melihat kinerja sumber daya manusia menurun, atau melejit tanpa memiliki
kemampuan bersinergi dengan orang lain. Kita memang pintar dan cerdas secara
individu, tetapi kurang cerdas ketika kerja tim. Konflik dimana-mana karena
semua mengandalkan logika, sehingga semua diukur dengan materi.
Kenapa semua
ini bisa terjadi? Karena kita terlalu sibuk. Sehingga tidak ada lagi waktu
untuk merenung, mengevaluasi diri, bermuhasabah, untuk berdialog dengan Sang
Ilahi, berdialog dengan suara hati kita sendiri.
Jika ditanya siapa yang salah? Salahkan diri kita sendiri. Begitulah nabi Adam tidak menyalahkan iblis ketika keluar dari surga, begitu juga Nabi Yunus semuanya memohon ampun kepada Allah dan mengakui kedzoliman yang mereka lakukan. kita harus mengambil kendali, bertanggung jawab untuk memilih dan memutuskan yang terbaik.
Apakah kecerdasan emosi saja cukup? Tentu tidak, kita memubuthkan kecerdasan spiritual untuk menemukan makna dibalik setiap yang kita lakukan. Tahu dengan pasti tujuan kita diciptakan dan tahu kemana kita akan kembali.
Berhubung
kita sudah masuk bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan ada dua bulan lagi kita
melakukan persiapan untuk mengikuti training terdahsyat sepanjang tahun. Di
Bulan Ramadhan juga kita memiliki waktu yang istimewa di 10 malam terakhir
untuk merenungi diri, mendesain kembali hidup kita, sehingga terlahir kembali
menjadi pribadi yang suci, bersih, berani, dan berbudi.
Mari terus
kita berbenah diri, melatih berpikir jernih, membersihkan hati, untuk masa
depan kita nanti.
Jakarta, 1
Rajab 1437 H/ 8 April 2016 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.