Salah satu
tokoh Muhammadiyah, Hamka menolak pembaharuan atau modernisasi sebagai upaya
sekularisasi, yaitu upaya “mempreteli” Islam itu sendiri, atau meninggalkan
pokok-pokok ajaran agama. Pada zaman penjajahan, pendidikan memiliki jiwa
netral terhadap agama.
Hasil
didikan penjajahan itu, anak-anak orang Islam yang masuk ke sana, betapapun
taat orang tuanya, dan betapapun kuat suasana iklim agama dalam lingkup kampung
halamannya, kalau sudah meminum air pendidikan barat, terasalah nikmatnya dan
mereka tidak mau melepaskan lagi, sampai mereka keluar dari pendidikan itu.
Pertama
mereka netral kepada agama, kemudian menjadi tidak peduli kepada agama. Ghirah
(Kecemburuan) beragama tidak ada lagi, mereka lantas menganggap agama tidak
perlu, benci kepada segala yang berhubungan dengan agama. Orang yang teguh
menjalankan agamanya dianggap fanatik.
Orang yang
teguh beragama adalah orang yang tidak terpelajar. Para kiyai dengan
pondok-pondoknya menjadi bahan cemoohan. Santri dengan kesederhanannya. Bahkan
pakaian haji, sorban haji, kain sarung, langgar, pondok, masjid, semuanyaadalah
sasaran empuk untuk dimaki.
Atas nama
pembaharuan pula, lantas timbul gagasan agar agama jangan dicampur-campur
dengan politik. Orang Islam mesti turut mengadakan modernisasi, yaitu modernisasi
yang memisahkan agama dengan negara. Modernisasi oleh karenanya adalah
sekularisasi. Agama hanya diisolasi di masjid. Islam masih dibiarkan hidup tapi
hanya membaca-baca tahlil, membaca doa-doa pada hari besar resmi. Para ulama
dan kiyai hanya didukung untuk membuat fatwa-fatwa yang menyokong kepentingan
politik penguasa. (Hamka, 2002: 24-25)
Tentu saja,
modernisasi yang seperti itulah yang diinginkan oleh para musuh Islam.
Modernisasi semacam itu pula yang hendak diterapkan di beberapa negara yang meyoritas
umat Islam ada di dalamnya. Buya hamka menyimpulkan uji coba modernisasi dan
sekularisasi semacam itu sebagai kegagalan besar. Kemal Attaturk di Turki yang
mempreteli Islam, sampai ke tingkat merubah azan dan sholat ke dalam bahasa
Turki. Habib Burguiba Presiden Tunia menyingkirkan Islam sampai pada anjuran
tidak berpuasa di bulan ramadhan karena dianggap menurunkan produktifitas. Dan
Presiden Soekarno dengan Nasakomnya, dan suka mencemooh orang yang taat
beragama sebagai kolot dan fanatik (Hamka, 2002: 26-27). Upaya modernisasi
semacam itu terbukti gagal. Karena bukan itu yang dimaksudkan dengan
pembaharuan dalam Islam.
Sekularisasi
tumbuh subur di Barat setelah malalui masa renaissance, kaum yang menghambakan
duniawi, dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap Tuhannya, berjuang
membebaskan diri dari kungkungan gereja yang dianggap menghalangi kemajuan
berpikir. Sekularisme timbul karena ketika agama dibawa dalam pemerintahan,
kerusuhan dan huru-hara atas nama agama tidak pernah berhenti hingga
peperanagan atas nama agama katolik dan Protestan di abad 16-17. Akhirnya,
sekularisme mencapai puncaknya yang radikal dengan tumbuhnya paham komunisme;
persetan dengan tuhan, persetan dengan agama. Tuhan dan agama nonsence semua.
(Hamka, 2002: 271)
Modernisasi
bukan westernisasi. Sehingga segala yang diambil dari barat itu pembaharuan,
itulah modern. Ajaran Islam itu universal dan memandang manusia dari segi
universalnya pula. Cahaya Allah itu menyinari seluruh langit dan bumi, sebagai
pelita yang membawa sinar ke seluruh alam. Sinarnya tidak pernah padam.
Minyaknya tidak pernah kering. Sinarnya tidak condong ke timur atau ke barat,
tteapi merata ke segenap penjuru. (Q.S. An-Nur : 35)
Modernisasi
tidak berarti menghilangkan kepribadian sebagai bangsa merdeka, kepribadian
sebagai umat Islam yang dinamis, lantas kita meniru-niru barat atau timur.
Segala yang dari barat ditiru, termasuk hal-hal yang bertentangan dengan agama.
Gambar : leviyamani
Jakarta, 16 Syaban 1437 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.