Senin, 16 Mei 2016

Pembaharuan Pendidikan Sebuah Kemestian



Para ulama dari waktu ke waktu sepakat bahwa pembaharuan (tajdid) harus dilakukan agar pokok-pokok ajaran  islam dapat diterima dan dilaksanakan oleh mayarakat. Tanpa tajdid, ajaran islam akan membeku kemudian ditinggalkan oleh pengikutnya. 

Hamka menjelaskan bahwa pembaharuan (modernisasi) mutlak diperlukan di segala bidang. Modernisasi untuk membangun jiwa bebas merdeka setelah sekian lama terjajah. Modernisasi dari suasana feodal kepada alam demokrasi. Modernisasi dari sebuah negeri agraris tradisional menjadi negara maju dan industrialis. Modernisasi dari suasana kebodohan kepada ilmu pengetahuan. Moderniasi Ilmu pengetahuan untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju. (Hamka, 2002: 266-267)

Semua yang diperjuangkan Nabi Muhammad Shalaullohhu ‘Alaihi Wassalam menurut Hamka, hingga terjadi kebangkitan Islam adalah modernisasi yang tulen di berbagai bidang. Di bidang politik contohnya, Rosululloh berhasil mempersatukan bangsa Arab menjadi bangsa yang sadar akan harga diri, memiliki risalah atau mission sacre hingga menjadi besar dan menjadi guru pendidik bagi dunia. Rosulullah mendidik manusia untuk menghargai dan mengangkat setinggi-tingginya martabat perempuan yang saat itu sangat dihinakan. Beliau melarang eksploitasi manusia atas manusia untuk kepentingan pribadi, membenci kezaliman, menganjurkan pentingnya menegakkan amanah dan keadilan (Hamka, 2002: 268)

Pembaharuan di bidang pendidikan mutlak diperlukan. Hal itu karena terjadinya ketimpangan serius dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pertama pendidikan barat yang menghasilkan rasa antipati kepada Islam. Dan kedua, pendidikan surau atau pondok yang membenci segala yang berbau barat. 

Pembaharuan sistem pendidikan yang dilakukan murni dijiwai oleh ajaran-ajaran islam. Dengan misi untuk menciptkan manusia yang kuat agama, ilmu dan fisiknya. Demi terwujudnya misi itu, K. H. Ahmad Dahlan mencita-citakan yang kemudian menjadi formula baku dalam sistem pendidikan Muhammadiyah, bahwa “Subject-matters” pada setiap jenis dan jenjang pendidikannya harus mencakup ilmu-ilmu keagamaan dan keduniaan (‘ulum ‘L-din wa ‘ulum ‘I ‘asyariyah). Dengan begitu, sistem pendidikan Muhammadiyah mengemban fungsi ganda yang merupakan satu kesatuan utuh. Ia menjadi agen modernisasi. Membangun manusia yang responsif terhadap tuntutan zaman. Dan agen tradisionalisasi. Membangun manusia yang tetap kokoh pada ‘tradisinya’. Misi pendidikannya, hendak mempertahankan yang lama yang baik sekaligus adaptif terhadap kebaharuan yang lebih baik (al-mukhafazhah ‘ala al qadim as-shahih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah). Dalam merealisasikan misi pendidikan itu, diadobsinya produk-produk budaya barat, baik yang berwujud disiplin ilmu maupun metode pendidikan. (Sukardi & Suyatno, 2005)

Kebijakan mengadobsi disiplin ilmu dan metode pendidikan, sesungguhnya bukan tanpa resiko. Pada zamannya, langkah itu tergolong sangat berani. Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa kaum ulama ‘tradisional’ secara keseluruhan memandang berbagai disiplin ilmu itu sebagai produk budaya kafir barat. Sebab itu, pada masa-masa awal berdirnya, sistem pendidikan Muhammadiyah dicibir dan dicaci karena telah kebarat-baratan. Akan tetapi, berkat kepiawaiannya berdakwah, langkah penuh resiko itu lambat laun diterima baik oleh umat. Perjuanganya yang begitu gigih, telah mencapai prestasi gemilang. Institusi-institusi pendidikan Muhammadiyah, tumbuh secara pesat di seluruh wilayah Hindia-Belanda. Terlebih di zaman kemerdekaan. Maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa sistem pendidikan Muhammadiyah, telah menjadi kiblat sistem pendidikan nasional. Betapa tidak? Sistem pendidikan Muhammadiyah adalah sebuah realita empirik, yang musti terakomodasi dalam perumusan setiap Undang-undang pendidikan di negeri tercinta ini. 

Lalu jika ada pertanyaan bagaimana dengan perguruan Taman Siswa? Benar, bahwa sistem pendidikan nasional mendapat inspirasi dari perguruan Taman Siswa. Tetapi, satu hal yang harus selalu diingat bahwa jiwa pendidikan Taman Siswa adalah nasionalisme. Dengan perkataan lain, ia tidak berjiwa agama. Sistem pendidikan nasional, juga bukan adaptasi terhadap sistem pendidikan misionaris, yang pelaksanaannya sangat didukung pemerintah kolonial. Tidak lain, karena mata-ajar di lembaga-lembaga pendidikan itu netral terhadap agama. Jiwa pendidikannya, sekuler. Maka dapat disimpulkan bahwa adanya dasar dan subjek agama dalam sistem pendidikan nasional, diilhami oleh perjuangan pendidikan Muhammadiyah. Sistem pendidikan Muhammadiyah, terlebih zaman sekarang, bahkan telah menjadi “presedent” bagi pembangunan sistem pendidikan Islam di negeri ini. tiada institusi pendidikan Islam modern, yang tingkat Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi, yang bukan imitasi terhadap sistem pendidikan Muhammadiyah. (Sukardi & Suyatno, 2005)

Karena umat Islam tidak mau berkompromi dengan kolonialisme dan kristenisasi, maka pihak penjajah memeras otak untuk dapat menjinakkan umat islam yang dianggap “liar” itu. Caranya dengan menyusun sistem pendidikan baru. Snouck Hourgronye pernah memberikan nasehat kepada pemerintah Hindia Belanda. Supaya semangat Islam itu lemah dan kendor, agar diberikan pendidikan yang mengemukakan kemegahan nenek moyang sebelum Islam datang, hendaknya mengobarkan semangat nasionalisme, dan membangun orientasi berpikir seperti barat. Sejak di sekolah dasar, hendaknya ditanamkan dasar netral agama. Setelah masuk jenjang perguruan tinggi, dituntun mempelajari agama Islam secara “Ilmiah” yang dipandu oleh sarjana barat (para orientalis) yang beragama Kristen dan Yahudi, yang memandang Islam dari luar. Dengan model pendidikan itu, mereka merasa sebagai kalangan terpelajar Islam. “Bikinlah mereka jadi Belanda di Timur, sebagaimana kita jadi Belanda di Barat” kata Hourgronye. Ditanamkan kepada mereka bahwa Islam itu kotor, santrinya kotor dan kudisan, kiyainya tukang kawin bininya banyak, kolam masjidnya kotor dan sebagainya. Pahlawan yang dibanggakan bukan raden Patah dan gajah Mada. Akhirnya mereka memandang Islam dengan sinis dan penuh cemoohan (Hamka, 2002: 306)

Sebagai akibat dari sistem pendidikan barat itu, maka dikalangan orang Islam yang teguh memegang Islam menjadi antipati dengan segala yang berbau Belanda (Barat). Mereka yang tinggi ghirah agamanya tidak sudi menyekolahkan anaknya ke sekolah Belanda. Mereka lebih suka mendirikan pondok, belajar pengetahuan Islam yang tinggi ke Makkah lalu pulang. Setelah pulag mereka mendidik anak-anak dalam lingkungan Islam, isolasi dan memisahkan diri. Maka di negeri ini muncul dua golongan terpelajar Islam, yang satu golongan berkiblat ke Amsterdam dan yang lain berkiblat ke Makkah. Didikan Barat memandang sinis kepada agama, dan pendidikan surau membenci segala yang berbau barat. Keduanya memandang yang lain dari segi negatifnya saja.

Pertentangan dua front yang berbeda cara berpikir itu begitu kuat sampai zaman kemerdekaan. Pertentangan itu terus berlangsung tidak tahu sampai kapan akan berakhir. Gagalnya umat dalam sidang Majelis Konstituante hasil Pemilihan Umum 1955, adalah bukti nyata betapa pada dua kubu itu terdapat jurang yang sangat dalam yang sangat sulit didamaikan. Bahkan pertentangan dua kubu itu masih kita rasakan pengaruhnya sampai saat ini dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Oleh karena itu, pembaharuan pendidikan Islam sangat diperlukan. Cara pandang yang serba negatif dan mencoba lari dari Islam harus dihentikan. Anak-anak Islam harus dididik untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bangga dengan sumber ajaran agamanya, memahami sejarah bangsanya, dan tidak tercerabut dari akar keislamannya. Begitu juga cara pandang yang sempit, mengisolasi diri, tidak mau membuka wawasan, sejatinya telah melenceng dari ajaran hakiki Islam yang menyuruh untuk belajar dan menguasai ilmu pengetahuan sehingga dapat menjadi khalifah di muka bumi.

Sikap dasar Muhammadiyah “Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Pilihan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah ini bagi Muhammadiyah sering dinilai sebagai langka purifikasi semata-mata. Sikap seperti itu pun dinilai sebagai sikap skripturalistik Muhammadiyah, yang dalam waktu sama kehilangan daya hadapnya terhadap realitas kontekstual modernitas. (Achmad dan Tanthowi: 2000: 7)

Sebenarnya dengan “Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah” Muhammadiyah tidak terjebak pada skripturalistik yang kehilangan daya hadapnya terhadap modernitas. Justru dengan langkah seperti itu, Muhammadiyah mendobrak kejumudan umat yang terjebak pada pemahaman dan pengamalan islam secara mazhab, yang kehilangan daya hadapnya terhadap realitas konkret kehidupan. Sehingga dengan sikap yang skripturalistik itu, muhammadiyah bergerak menggumuli realitas yang lahir pada awal abad ke-20 dan berhasil. (Achmad dan Tanthowi: 2000: 8)

Faktanya  Muhammadiyah melakukan karya amal usaha yang mampu mengubah wajah umat dan bangsa Indonesia melalui gerakan pendidikan, kesejahteraan umat, dan lain-lain. Contoh paling konkret dan monumnetal adalah pengamalan Surat Al-Ma’un dari Kiayi Dahlan, dengan komitemen kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, Muhammadiyah melakukan pemurnian Ajaran Islam sekaligus mengubah realitas yang berwajah buruk saat itu dan kemudian masih berlangsung sampai sekarang. 

Oleh karena itu, Hamka menjelaskan bahwa seseorang harus bergembira dan memiliki semangat dalam berislam dan itu harus tumbuh dalam lingkungan pendidikan :

“Pendidik berkewajiban membangkitkan semangat pada anak-anak yang didiknya. Anak-anak harus digembirakan dan jangan dipangkas pucuknya yang akan tumbuh. Jangan selalu dipatahkan. Apa pun pekerjaan yang dikerjakan dengan gembira, aslkan jangan melarat, jangan dilarang, tetap sambut dan tuntunlah.” (Hamka, 2014: 150)

Jakarta,  6 Syaban 1437 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.