Para
ulama dari waktu ke waktu sepakat bahwa pembaharuan (tajdid) harus dilakukan agar pokok-pokok ajaran islam dapat diterima dan dilaksanakan oleh
mayarakat. Tanpa tajdid, ajaran islam
akan membeku kemudian ditinggalkan oleh pengikutnya.
Hamka
menjelaskan bahwa pembaharuan (modernisasi) mutlak diperlukan di segala bidang.
Modernisasi untuk membangun jiwa bebas merdeka setelah sekian lama terjajah.
Modernisasi dari suasana feodal kepada alam demokrasi. Modernisasi dari sebuah
negeri agraris tradisional menjadi negara maju dan industrialis. Modernisasi
dari suasana kebodohan kepada ilmu pengetahuan. Moderniasi Ilmu pengetahuan
untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju. (Hamka, 2002: 266-267)
Semua
yang diperjuangkan Nabi Muhammad Shalaullohhu
‘Alaihi Wassalam menurut Hamka, hingga terjadi kebangkitan Islam adalah
modernisasi yang tulen di berbagai bidang. Di bidang politik contohnya, Rosululloh
berhasil mempersatukan bangsa Arab menjadi bangsa yang sadar akan harga diri,
memiliki risalah atau mission sacre
hingga menjadi besar dan menjadi guru pendidik bagi dunia. Rosulullah mendidik
manusia untuk menghargai dan mengangkat setinggi-tingginya martabat perempuan
yang saat itu sangat dihinakan. Beliau melarang eksploitasi manusia atas
manusia untuk kepentingan pribadi, membenci kezaliman, menganjurkan pentingnya
menegakkan amanah dan keadilan (Hamka, 2002: 268)
Pembaharuan
di bidang pendidikan mutlak diperlukan. Hal itu karena terjadinya ketimpangan
serius dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pertama pendidikan barat yang
menghasilkan rasa antipati kepada Islam. Dan kedua, pendidikan surau atau
pondok yang membenci segala yang berbau barat.
Pembaharuan
sistem pendidikan yang dilakukan murni dijiwai oleh ajaran-ajaran islam. Dengan
misi untuk menciptkan manusia yang kuat agama, ilmu dan fisiknya. Demi
terwujudnya misi itu, K. H. Ahmad Dahlan mencita-citakan yang kemudian menjadi
formula baku dalam sistem pendidikan Muhammadiyah, bahwa “Subject-matters” pada setiap jenis dan jenjang pendidikannya harus
mencakup ilmu-ilmu keagamaan dan keduniaan (‘ulum ‘L-din wa ‘ulum ‘I ‘asyariyah). Dengan begitu, sistem
pendidikan Muhammadiyah mengemban fungsi ganda yang merupakan satu kesatuan
utuh. Ia menjadi agen modernisasi. Membangun manusia yang responsif terhadap
tuntutan zaman. Dan agen tradisionalisasi. Membangun manusia yang tetap kokoh
pada ‘tradisinya’. Misi pendidikannya, hendak mempertahankan yang lama yang
baik sekaligus adaptif terhadap kebaharuan yang lebih baik (al-mukhafazhah ‘ala al qadim as-shahih wa
al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah). Dalam merealisasikan misi pendidikan itu,
diadobsinya produk-produk budaya barat, baik yang berwujud disiplin ilmu maupun
metode pendidikan. (Sukardi & Suyatno, 2005)
Kebijakan
mengadobsi disiplin ilmu dan metode pendidikan, sesungguhnya bukan tanpa
resiko. Pada zamannya, langkah itu tergolong sangat berani. Sudah menjadi
pengetahuan umum, bahwa kaum ulama ‘tradisional’ secara keseluruhan memandang
berbagai disiplin ilmu itu sebagai produk budaya kafir barat. Sebab itu, pada
masa-masa awal berdirnya, sistem pendidikan Muhammadiyah dicibir dan dicaci
karena telah kebarat-baratan. Akan tetapi, berkat kepiawaiannya berdakwah,
langkah penuh resiko itu lambat laun diterima baik oleh umat. Perjuanganya yang
begitu gigih, telah mencapai prestasi gemilang. Institusi-institusi pendidikan
Muhammadiyah, tumbuh secara pesat di seluruh wilayah Hindia-Belanda. Terlebih
di zaman kemerdekaan. Maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa sistem
pendidikan Muhammadiyah, telah menjadi kiblat sistem pendidikan nasional.
Betapa tidak? Sistem pendidikan Muhammadiyah adalah sebuah realita empirik,
yang musti terakomodasi dalam perumusan setiap Undang-undang pendidikan di
negeri tercinta ini.
Lalu
jika ada pertanyaan bagaimana dengan perguruan Taman Siswa? Benar, bahwa sistem
pendidikan nasional mendapat inspirasi dari perguruan Taman Siswa. Tetapi, satu
hal yang harus selalu diingat bahwa jiwa pendidikan Taman Siswa adalah
nasionalisme. Dengan perkataan lain, ia tidak berjiwa agama. Sistem pendidikan
nasional, juga bukan adaptasi terhadap sistem pendidikan misionaris, yang
pelaksanaannya sangat didukung pemerintah kolonial. Tidak lain, karena
mata-ajar di lembaga-lembaga pendidikan itu netral terhadap agama. Jiwa
pendidikannya, sekuler. Maka dapat disimpulkan bahwa adanya dasar dan subjek
agama dalam sistem pendidikan nasional, diilhami oleh perjuangan pendidikan
Muhammadiyah. Sistem pendidikan Muhammadiyah, terlebih zaman sekarang, bahkan
telah menjadi “presedent” bagi pembangunan sistem pendidikan Islam di negeri
ini. tiada institusi pendidikan Islam modern, yang tingkat Taman Kanak-kanak
hingga Perguruan Tinggi, yang bukan imitasi terhadap sistem pendidikan
Muhammadiyah. (Sukardi & Suyatno, 2005)
Karena
umat Islam tidak mau berkompromi dengan kolonialisme dan kristenisasi, maka
pihak penjajah memeras otak untuk dapat menjinakkan umat islam yang dianggap
“liar” itu. Caranya dengan menyusun sistem pendidikan baru. Snouck Hourgronye
pernah memberikan nasehat kepada pemerintah Hindia Belanda. Supaya semangat
Islam itu lemah dan kendor, agar diberikan pendidikan yang mengemukakan
kemegahan nenek moyang sebelum Islam datang, hendaknya mengobarkan semangat
nasionalisme, dan membangun orientasi berpikir seperti barat. Sejak di sekolah
dasar, hendaknya ditanamkan dasar netral agama. Setelah masuk jenjang perguruan
tinggi, dituntun mempelajari agama Islam secara “Ilmiah” yang dipandu oleh
sarjana barat (para orientalis) yang beragama Kristen dan Yahudi, yang
memandang Islam dari luar. Dengan model pendidikan itu, mereka merasa sebagai
kalangan terpelajar Islam. “Bikinlah mereka jadi Belanda di Timur, sebagaimana
kita jadi Belanda di Barat” kata Hourgronye. Ditanamkan kepada mereka bahwa
Islam itu kotor, santrinya kotor dan kudisan, kiyainya tukang kawin bininya
banyak, kolam masjidnya kotor dan sebagainya. Pahlawan yang dibanggakan bukan
raden Patah dan gajah Mada. Akhirnya mereka memandang Islam dengan sinis dan
penuh cemoohan (Hamka, 2002: 306)
Sebagai
akibat dari sistem pendidikan barat itu, maka dikalangan orang Islam yang teguh
memegang Islam menjadi antipati dengan segala yang berbau Belanda (Barat).
Mereka yang tinggi ghirah agamanya
tidak sudi menyekolahkan anaknya ke sekolah Belanda. Mereka lebih suka
mendirikan pondok, belajar pengetahuan Islam yang tinggi ke Makkah lalu pulang.
Setelah pulag mereka mendidik anak-anak dalam lingkungan Islam, isolasi dan
memisahkan diri. Maka di negeri ini muncul dua golongan terpelajar Islam, yang
satu golongan berkiblat ke Amsterdam dan yang lain berkiblat ke Makkah. Didikan
Barat memandang sinis kepada agama, dan pendidikan surau membenci segala yang
berbau barat. Keduanya memandang yang lain dari segi negatifnya saja.
Pertentangan
dua front yang berbeda cara berpikir itu begitu kuat sampai zaman kemerdekaan.
Pertentangan itu terus berlangsung tidak tahu sampai kapan akan berakhir.
Gagalnya umat dalam sidang Majelis Konstituante hasil Pemilihan Umum 1955,
adalah bukti nyata betapa pada dua kubu itu terdapat jurang yang sangat dalam
yang sangat sulit didamaikan. Bahkan pertentangan dua kubu itu masih kita
rasakan pengaruhnya sampai saat ini dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Oleh
karena itu, pembaharuan pendidikan Islam sangat diperlukan. Cara pandang yang
serba negatif dan mencoba lari dari Islam harus dihentikan. Anak-anak Islam
harus dididik untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bangga dengan
sumber ajaran agamanya, memahami sejarah bangsanya, dan tidak tercerabut dari
akar keislamannya. Begitu juga cara pandang yang sempit, mengisolasi diri,
tidak mau membuka wawasan, sejatinya telah melenceng dari ajaran hakiki Islam
yang menyuruh untuk belajar dan menguasai ilmu pengetahuan sehingga dapat menjadi
khalifah di muka bumi.
Sikap
dasar Muhammadiyah “Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Pilihan kembali kepada
Al-Qur’an dan Sunnah ini bagi Muhammadiyah sering dinilai sebagai langka
purifikasi semata-mata. Sikap seperti itu pun dinilai sebagai sikap skripturalistik
Muhammadiyah, yang dalam waktu sama kehilangan daya hadapnya terhadap realitas
kontekstual modernitas. (Achmad dan Tanthowi: 2000: 7)
Sebenarnya
dengan “Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah” Muhammadiyah tidak terjebak pada
skripturalistik yang kehilangan daya hadapnya terhadap modernitas. Justru
dengan langkah seperti itu, Muhammadiyah mendobrak kejumudan umat yang terjebak
pada pemahaman dan pengamalan islam secara mazhab, yang kehilangan daya
hadapnya terhadap realitas konkret kehidupan. Sehingga dengan sikap yang
skripturalistik itu, muhammadiyah bergerak menggumuli realitas yang lahir pada
awal abad ke-20 dan berhasil. (Achmad dan Tanthowi: 2000: 8)
Faktanya Muhammadiyah melakukan karya amal usaha yang
mampu mengubah wajah umat dan bangsa Indonesia melalui gerakan pendidikan,
kesejahteraan umat, dan lain-lain. Contoh paling konkret dan monumnetal adalah
pengamalan Surat Al-Ma’un dari Kiayi
Dahlan, dengan komitemen kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, Muhammadiyah
melakukan pemurnian Ajaran Islam sekaligus mengubah realitas yang berwajah
buruk saat itu dan kemudian masih berlangsung sampai sekarang.
Oleh
karena itu, Hamka menjelaskan bahwa seseorang harus bergembira dan memiliki
semangat dalam berislam dan itu harus tumbuh dalam lingkungan pendidikan :
“Pendidik
berkewajiban membangkitkan semangat pada anak-anak yang didiknya. Anak-anak
harus digembirakan dan jangan dipangkas pucuknya yang akan tumbuh. Jangan
selalu dipatahkan. Apa pun pekerjaan yang dikerjakan dengan gembira, aslkan
jangan melarat, jangan dilarang, tetap sambut dan tuntunlah.” (Hamka, 2014:
150)
Gambar: Pemikiranislam.com
Jakarta, 6 Syaban 1437 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.