Kamis, 26 Mei 2016

Jalan Hidup Yang Berbeda



Sudah hampir dua bulan saya tinggal di Jakarta. Di ibukota negara yang menjadi tumpuan hidup orang banyak untuk mengadu nasib di perantauan. Semua etnis berkumpul menyatu padu. Berharap masa depan akan cerah dengan bergantinya hari atas sebuah asa, usaha dan doa.

Banyak orang takut untuk memilih jalan yang berbeda. Jalan yang sunyi, jalan yang jarang dilewati oleh orang lain. Jalan yang begitu menggelisahkan karena tidak benar-benar tahu apa yang ada di depan sana dan apa yang akan ditemui di perjalanan.

Jalan yang sebenarnya menjadi impian tapi realita kehidupan mengalahkan seluruh impian itu. Impian itu dikalahkan oleh pikirannya sendiri karena khawatiran pada kepastian masa depan. Padahal tentang masa depan, siapa yang tahu?

Jakarta bukan hal yang aneh bagi saya, karena sejak kecil saya sering di ajak berkunjung ke sini. Bertemu dengan keluarga besar orang tua. Tetapi jakarta, sangat berbeda dengan kota-kota lain, pembangunannya super cepat, sehingga selalu ada hal berbeda dari tahun ke tahun. 

Jika biasanya saya diajak berkunjung ke tempat-tempat yang menunjukkan kemegahan kota Jakarta. Mengunjungi Central Park, Masjid Istiqlal dan Gedung-gedung pencakar langit. Sore kemaren saya memilih jalan sendiri menuju lokasi acara menikmati busway dan melihat realitas kehidupan masyarakat di Jakarta. Walaupun ada tawaran untuk berangkat bersama dengan mobil oleh salah satu sahabat yang kerja di Indosat.

Ada pemandangan yang sangat berbeda dan kontras bagi saya, saya pun pernah mengalami seperti yang mereka lakukan saat itu. Yaitu mandi di kali. Tetapi tentu kondisinya sangat berbeda. Dua puluh tahun yang lalu di tempat saya lahir (Argamakmur) airnya sangat jernih dan bukan pemandangan yang aneh jika masyarakat banyak yang memanfaatkan air yang jenih itu untuk berbagai keperluan. Tetapi pemandangan ini di Jakarta.

Belum lagi, ketika saya menyusuri lorong-lorong tempat tinggal masyarakat di Daerah Keramat Jati, Jakarta Timur. Ada sebuah perasaan yang bergejolak melihat fenomena masyarakat yang hidup bersempit-sempitan di bangunan ukuran 2 x 1 m, sangat mepet, pengap, jalan yang sempit. Sebagian mereka terlelap tidur di lantai dengan pintu depan terbuka. Sebagian lagi memancing ikan di kali yang keruh, dan sudut lain duduk berhadap-hadapan sambil bergembira menikmati hidupnya.

Bagaimana kalau kita berpikir sejenak untuk memilih jalan yang berbeda. Tentu saja berbeda dengan jalan yang sedang kita lalui hari ini. Saat begitu banyak orang berlomba ingin mendapatkan beasiswa, bagaimana kalau kita menjadi orang yang memberikan beasiswa? 

Meski mungkin kemampuan kita sedikit, bukan berarti tidak mungkin kan? Kita memberikan sebagian rezeki kita untuk menyekolahkan orang-orang yang tidak lebih beruntung dari kita? Atau harus menunggu mapan dulu, berpenghasilan banyak, baru menyekolahkan mereka? Bukankah kita bermain dengan waktu, jika itu terjadi dalam 4-8 tahun lagi, sudah berapa jenjang yang terlewatkan oleh adik-adik kita hari ini di luar sana kehilangan kesempatannya?

Saya jadi teringat hasil Seminar Internasional beberapa pekan yang lalu. Salah satu pemateri dari Malaysia membicarakan bagaimana negara memberikan beasiswa kepada masyarakatnya, dan dikemudian hari mereka juga wajib mengangkat kelas bawah atau middle untuk ikut naik ke atas. Artinya, ada kesadaran untuk sama-sama membantu orang lain yang tidak mampu untuk naik kelas.

Pemandangan yang berbeda dengan di negeri kita.  Sebuah jurang pemisah yang sangat besar antara si kaya dan si miskin. Si kaya bisa makan malam dengan harga satu juta sekali duduk. Tetapi bagi si miskin bisa berapa minggu. 

Tidak heran dalam rangka menyelesaikan permasalahan rakyatnya, para sarjana di Malaysia dituntut untuk turun ke masyarakat memecahkan permasalahan masyarakat. Kampus benar-benar memberikan sebuah solusi, kebermanfaatan, dan nilai tambah bagi mahasiswa, masyarakat, institusi (Kampus) dan negara.

Saat begitu banyak orang ingin keluar negeri? Adakah yang ingin keluar dari pikirannya tentang diri sendiri? Pergi menyusuri jalanan kota dan desa di negeri ini untuk bertemu dengan rakyat yang katanya dulu kita perjuangkan di tengah demonstrasi? 

Bertemu dengan orang-orang yang katanya menjadi alasan kita pergi jauh, nanti ilmunya akan dimanfaatkan untuk membantu masyarakat? Bukankah selepas kepulangan banyak yang duduk manis di bawah AC ruang kantor perusahaan multinasional?

Bukankah mereka (rakyat) yang berada dilorong-lorong gang itu adalah harapan negara ini juga. Anak-anak mereka generasi harapan untuk membangun peradaban manusia yang adil dan beradab. Tetapi, bagaimana kita membangun sebuah keadilan dan peradaban jika hal itu jarang dipertontonkan di negeri ini. banyak inkonsistensi yang diperlihatkan kepada masyarakat di berbagai media cetak, elektronik, dan surat kabar.

Saat begitu banyak orang sibuk mencari pekerjaan selepas lulus dari kuliah. Bagaimana kalau kita mengambil jeda untuk menikmati perjalanan? Sudah 16 tahun kita tidak henti-hentinya sekolah dari SD hingga Perguruan Tinggi, sampai hampir tidak ada waktu untuk menerapkan setiap  pelajaran yang kita dapatkan. 

Kenapa? Karena kita sibuk mengejar nilai, IPK, mengejar masuk sekolah bagus di jenjang berikutnya? 

Sampai kita tidak pernah bisa memahami untuk apa kita belajar IPA, Agama, Seni, biologi dan fisika, untuk apa kita belajar tentang semua itu karena kita kebingungan dalam menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Mari kita ambil jeda, melakukan perjalanan. Jeda itu sangat penting untuk mendapatkan pencerahan. Bahasa lainnya, muhasabah, evaluasi terhadap pilihan-pilihan hidup yang telah dan akan kita ambil. Tidak perlu memikirkan tentang mencari pekerjaan, mari kita temukan dan cari tahu apa yang sebenarnya kita mau. 

Hidup kita jangan hanya itu-itu saja; lahir-sekolah-lulus-bekerja-menikah-punya anak-dan mati. Mulai sekarang pikirkanlah visi dan misi hidup kita sendiri. Apa yang bisa saya berikan untuk kemanusiaan? Keluarga, Masyarakat, Bangsa, Agama, negara, umat manusia, dan alam semesta.

Saat begitu banyak orang berlomba ke kota, terutama ke Jakarta. Bagaimana kalau kita kembali ke kampung halaman kita masing-masing? Tidak perlu malu meletakkan gelar sarjana kita dan duduk bersama dengan para petani, memegang cangkul, ikut panas-panasan kerjabakti. 

Seringnya orientasi kita terhadap materi membuat kita malu untuk melakukan hal-hal demikian, dirasa tidak sepadan dengan gelar sarjana yang kita emban. Bagaimana kalau kita membuat pekerjaan untuk diri kita sendiri, bila setiap orang berpikir demikian, tentu tidak akan ada pengangguran. Ah lagi-lagi, permasalahanya di orientasi kita terhadap kehidupan dan materi. Kita terlalu lama hidup di kota besar, sekolah di kota besar, dan gaya hidup kita pun berubah ingin mengikuti kehidupan di kota besar.

Saya sangat berterima kasih kepada Om Rendra yang mengajarkan banyak hal tentang arti kesederhanaan. Mencintai produk dalam negeri. Kami terkadang jalan ke tempat-tempat yang dianggap middle-up oleh masyarakat Jakarta untuk belajar. Belajar apa? Belajar bahwa ada sebagian orang yang terbawa arus dan menganggap inilah dunia, hidup yang sebenarnya, dengan segala kemegahannya, tetapi bagi orang yang terlanjur mengenal surga itu hanyalah serpihan-serpihan kenikmatan dunia yang akan segera lenyap.

Semua ini bukan soal uang. Tetapi soal kesadaran. Daripada kita membuat kaya orang asing, kenapa kita tidak membuat kaya masyarkat kita. Daripada membeli barang-barang mewah, kenapa kita tidak mencari barang yang sederhana tetapi memiliki fungsi yang sama. Demikianlah pembicaraan ringan yang menggedor kesadaran saya ketika berbicara dengan salah satu anggota keluarga.

Saat begitu banyak orang takut mempertahankan idealismenya. Bagaimana kalau kita menjadi orang yang percaya bahwa hidup dengan idealisme bukanlah sebuah omong kosong. Saat orang-orang menyuruh kita agar realistis, nyatanya kehidupan ini sudah dikatakan oleh Yang Maha Kuasa bahwa semua ini semu, tidak realistis. Karena kehidupan yang hakiki adalah setelah kematian. Mengapa kita ragu untuk mempertahankan idealisme? Apakah karena takut pada kemiskinan dan masa depan?

Sekali lagi terima kasih pelajarannya, saya mengerti betul kehidupan masyarakat Jakarta yang cenderung glamor, hedonistik, matrealistik, tetapi saya bersyukur Allah berikan yang terbaik bagi saya untuk berbagi dan saling mengajarkan kebenaran. Bahwa kami (Saya dan Keluarga) memilih jalan yang berbeda. 

Memilih hidup sederhana. Memiliki sikap sederhana, tetapi tidak lupa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk sesama. Inilah jalan yang berbeda. Tidak setiap orang rela dan ikhlas membagi kebahagiannya untuk orang lain, apalagi itu hasil usaha dan kerja kerasanya. Tetapi yakinlah dengan berbagi hidup kita tidak akan pernah berkurang, malah semakin bertambah, bertambah, bertambah bahagia.

Menjadi berbeda tentu bukan hal mudah. Karena entah mengapa dunia ini terlihat begitu indah. Benar-benar melenakan. Dan masa depan terlihat begitu mencemaskan, benar-benar menakuti kita untuk membuat pilihan-pilihan yang tidak biasa.

Tetapi kami telah memutuskan untuk tidak lurut dan hanyut dengan realitas zaman. Semoga kita tidak menjadi pak turut yang mudah mengikuti arus yang belum tentu menggiring kita ke jalan keselamatan, tetapi malah menjerumuskan kita menuju lembah kehancuran.

Saran saya jangan terlalu banyak membanding-bandingkan. Kapan bahagianya hidup ini jika selalu membandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Lakukanlah yang terbaik, walaupun engkau sekrang berada dipelosok negeri sekalipun. Karena yang di langit tidak pernah tidur dan Maha Melihat perbuatan kita.

Semoga tulisan ini memberikan menjadi pengingat saya secara pribadi dan memberikan cahaya dan pencerahan kepada para dermawan untuk membantu sesama.

Gambar 1 : Diambil dari Gedung Sampoerna strategic
Gambar 2: Pinggir Pasar Induk Keramat Jati, Jakarta Timur 

Jakarta, 18 Syaban 1437 H

2 komentar:

  1. mantap kawan, memilih jalan yang sama tapi dengan latar dan pemikiran yang berbeda ... sudut pandang desa dan kota.

    BalasHapus
  2. Jalan Tengahnya, berikanlah yang terbaik dimana pun kamu berada. karena Allah Maha Melihat dan Mendengar kegiatan yang kita lakukan. Walaupun tidak diliput, tidak disorot media. asal tujuannya untuk Sang Pencipta niscaya menentramkan sekali bisa berbagi ke masyarakat.

    BalasHapus

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.