Sudah hampir dua bulan saya tinggal di Jakarta. Di ibukota negara yang menjadi tumpuan hidup orang banyak untuk mengadu nasib di perantauan. Semua etnis berkumpul menyatu padu. Berharap masa depan akan cerah dengan bergantinya hari atas sebuah asa, usaha dan doa.
Banyak orang
takut untuk memilih jalan yang berbeda. Jalan yang sunyi, jalan yang jarang
dilewati oleh orang lain. Jalan yang begitu menggelisahkan karena tidak
benar-benar tahu apa yang ada di depan sana dan apa yang akan ditemui di
perjalanan.
Jalan yang sebenarnya menjadi impian tapi
realita kehidupan mengalahkan seluruh impian itu. Impian itu dikalahkan oleh
pikirannya sendiri karena khawatiran pada kepastian masa depan. Padahal tentang
masa depan, siapa yang tahu?
Jakarta
bukan hal yang aneh bagi saya, karena sejak kecil saya sering di ajak
berkunjung ke sini. Bertemu dengan keluarga besar orang tua. Tetapi jakarta,
sangat berbeda dengan kota-kota lain, pembangunannya super cepat, sehingga
selalu ada hal berbeda dari tahun ke tahun.
Jika biasanya
saya diajak berkunjung ke tempat-tempat yang menunjukkan kemegahan kota
Jakarta. Mengunjungi Central Park, Masjid Istiqlal dan Gedung-gedung pencakar
langit. Sore kemaren saya memilih jalan sendiri menuju lokasi acara menikmati busway dan melihat
realitas kehidupan masyarakat di Jakarta. Walaupun ada tawaran untuk berangkat bersama dengan mobil oleh salah satu sahabat yang kerja di Indosat.
Ada pemandangan
yang sangat berbeda dan kontras bagi saya, saya pun pernah mengalami seperti
yang mereka lakukan saat itu. Yaitu mandi di kali. Tetapi tentu kondisinya
sangat berbeda. Dua puluh tahun yang lalu di tempat saya lahir (Argamakmur)
airnya sangat jernih dan bukan pemandangan yang aneh jika masyarakat banyak
yang memanfaatkan air yang jenih itu untuk berbagai keperluan. Tetapi pemandangan
ini di Jakarta.
Belum lagi,
ketika saya menyusuri lorong-lorong tempat tinggal masyarakat di Daerah Keramat
Jati, Jakarta Timur. Ada sebuah perasaan yang bergejolak melihat fenomena
masyarakat yang hidup bersempit-sempitan di bangunan ukuran 2 x 1 m, sangat
mepet, pengap, jalan yang sempit. Sebagian mereka terlelap tidur di lantai
dengan pintu depan terbuka. Sebagian lagi memancing ikan di kali yang keruh,
dan sudut lain duduk berhadap-hadapan sambil bergembira menikmati hidupnya.
Bagaimana
kalau kita berpikir sejenak untuk memilih jalan yang berbeda. Tentu saja
berbeda dengan jalan yang sedang kita lalui hari ini. Saat begitu banyak orang
berlomba ingin mendapatkan beasiswa, bagaimana kalau kita menjadi orang yang
memberikan beasiswa?
Meski
mungkin kemampuan kita sedikit, bukan berarti tidak mungkin kan? Kita
memberikan sebagian rezeki kita untuk menyekolahkan orang-orang yang tidak
lebih beruntung dari kita? Atau harus menunggu mapan dulu, berpenghasilan
banyak, baru menyekolahkan mereka? Bukankah kita bermain dengan waktu, jika itu
terjadi dalam 4-8 tahun lagi, sudah berapa jenjang yang terlewatkan oleh
adik-adik kita hari ini di luar sana kehilangan kesempatannya?
Saya jadi
teringat hasil Seminar Internasional beberapa pekan yang lalu. Salah satu
pemateri dari Malaysia membicarakan bagaimana negara memberikan beasiswa kepada
masyarakatnya, dan dikemudian hari mereka juga wajib mengangkat kelas bawah
atau middle untuk ikut naik ke atas. Artinya, ada kesadaran untuk sama-sama
membantu orang lain yang tidak mampu untuk naik kelas.
Pemandangan yang
berbeda dengan di negeri kita. Sebuah jurang
pemisah yang sangat besar antara si kaya dan si miskin. Si kaya bisa makan
malam dengan harga satu juta sekali duduk. Tetapi bagi si miskin bisa berapa
minggu.
Tidak heran
dalam rangka menyelesaikan permasalahan rakyatnya, para sarjana di Malaysia
dituntut untuk turun ke masyarakat memecahkan permasalahan masyarakat. Kampus benar-benar
memberikan sebuah solusi, kebermanfaatan, dan nilai tambah bagi mahasiswa,
masyarakat, institusi (Kampus) dan negara.
Saat begitu banyak orang ingin keluar negeri? Adakah yang ingin keluar dari pikirannya tentang diri sendiri? Pergi menyusuri jalanan kota dan desa di negeri ini untuk bertemu dengan rakyat yang katanya dulu kita perjuangkan di tengah demonstrasi?
Bertemu
dengan orang-orang yang katanya menjadi alasan kita pergi jauh, nanti ilmunya
akan dimanfaatkan untuk membantu masyarakat? Bukankah selepas kepulangan banyak
yang duduk manis di bawah AC ruang kantor perusahaan multinasional?
Bukankah mereka
(rakyat) yang berada dilorong-lorong gang itu adalah harapan negara ini juga. Anak-anak
mereka generasi harapan untuk membangun peradaban manusia yang adil dan
beradab. Tetapi, bagaimana kita membangun sebuah keadilan dan peradaban jika
hal itu jarang dipertontonkan di negeri ini. banyak inkonsistensi yang
diperlihatkan kepada masyarakat di berbagai media cetak, elektronik, dan surat
kabar.
Saat begitu
banyak orang sibuk mencari pekerjaan selepas lulus dari kuliah. Bagaimana kalau
kita mengambil jeda untuk menikmati perjalanan? Sudah 16 tahun kita tidak
henti-hentinya sekolah dari SD hingga Perguruan Tinggi, sampai hampir tidak ada
waktu untuk menerapkan setiap pelajaran
yang kita dapatkan.
Kenapa? Karena kita sibuk mengejar nilai, IPK, mengejar masuk sekolah bagus di jenjang berikutnya?
Sampai kita tidak pernah bisa memahami untuk apa kita belajar IPA,
Agama, Seni, biologi dan fisika, untuk apa kita belajar tentang semua itu
karena kita kebingungan dalam menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Mari kita
ambil jeda, melakukan perjalanan. Jeda itu sangat penting untuk mendapatkan
pencerahan. Bahasa lainnya, muhasabah, evaluasi terhadap pilihan-pilihan hidup
yang telah dan akan kita ambil. Tidak perlu memikirkan tentang mencari
pekerjaan, mari kita temukan dan cari tahu apa yang sebenarnya kita mau.
Hidup
kita jangan hanya itu-itu saja; lahir-sekolah-lulus-bekerja-menikah-punya
anak-dan mati. Mulai sekarang pikirkanlah visi dan misi hidup kita sendiri. Apa
yang bisa saya berikan untuk kemanusiaan? Keluarga, Masyarakat, Bangsa, Agama,
negara, umat manusia, dan alam semesta.
Saat begitu
banyak orang berlomba ke kota, terutama ke Jakarta. Bagaimana kalau kita
kembali ke kampung halaman kita masing-masing? Tidak perlu malu meletakkan
gelar sarjana kita dan duduk bersama dengan para petani, memegang cangkul, ikut
panas-panasan kerjabakti.
Seringnya
orientasi kita terhadap materi membuat kita malu untuk melakukan hal-hal
demikian, dirasa tidak sepadan dengan gelar sarjana yang kita emban. Bagaimana
kalau kita membuat pekerjaan untuk diri kita sendiri, bila setiap orang
berpikir demikian, tentu tidak akan ada pengangguran. Ah lagi-lagi,
permasalahanya di orientasi kita terhadap kehidupan dan materi. Kita terlalu
lama hidup di kota besar, sekolah di kota besar, dan gaya hidup kita pun
berubah ingin mengikuti kehidupan di kota besar.
Saya sangat
berterima kasih kepada Om Rendra yang mengajarkan banyak hal tentang arti
kesederhanaan. Mencintai produk dalam negeri. Kami terkadang jalan ke
tempat-tempat yang dianggap middle-up oleh masyarakat Jakarta untuk belajar. Belajar
apa? Belajar bahwa ada sebagian orang yang terbawa arus dan menganggap inilah
dunia, hidup yang sebenarnya, dengan segala kemegahannya, tetapi bagi orang
yang terlanjur mengenal surga itu hanyalah serpihan-serpihan kenikmatan dunia
yang akan segera lenyap.
Semua ini
bukan soal uang. Tetapi soal kesadaran. Daripada kita membuat kaya orang asing,
kenapa kita tidak membuat kaya masyarkat kita. Daripada membeli barang-barang
mewah, kenapa kita tidak mencari barang yang sederhana tetapi memiliki fungsi
yang sama. Demikianlah pembicaraan ringan yang menggedor kesadaran saya ketika
berbicara dengan salah satu anggota keluarga.
Saat begitu
banyak orang takut mempertahankan idealismenya. Bagaimana kalau kita menjadi
orang yang percaya bahwa hidup dengan idealisme bukanlah sebuah omong kosong.
Saat orang-orang menyuruh kita agar realistis, nyatanya kehidupan ini sudah
dikatakan oleh Yang Maha Kuasa bahwa semua ini semu, tidak realistis. Karena
kehidupan yang hakiki adalah setelah kematian. Mengapa kita ragu untuk
mempertahankan idealisme? Apakah karena takut pada kemiskinan dan masa depan?
Sekali lagi
terima kasih pelajarannya, saya mengerti betul kehidupan masyarakat Jakarta yang
cenderung glamor, hedonistik, matrealistik, tetapi saya bersyukur Allah berikan
yang terbaik bagi saya untuk berbagi dan saling mengajarkan kebenaran. Bahwa kami
(Saya dan Keluarga) memilih jalan yang berbeda.
Memilih hidup
sederhana. Memiliki sikap sederhana, tetapi tidak lupa memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya untuk sesama. Inilah jalan yang berbeda. Tidak setiap orang
rela dan ikhlas membagi kebahagiannya untuk orang lain, apalagi itu hasil usaha
dan kerja kerasanya. Tetapi yakinlah dengan berbagi hidup kita tidak akan
pernah berkurang, malah semakin bertambah, bertambah, bertambah bahagia.
Menjadi
berbeda tentu bukan hal mudah. Karena entah mengapa dunia ini terlihat begitu
indah. Benar-benar melenakan. Dan masa depan terlihat begitu mencemaskan,
benar-benar menakuti kita untuk membuat pilihan-pilihan yang tidak biasa.
Tetapi kami
telah memutuskan untuk tidak lurut dan hanyut dengan realitas zaman. Semoga kita
tidak menjadi pak turut yang mudah mengikuti arus yang belum tentu menggiring
kita ke jalan keselamatan, tetapi malah menjerumuskan kita menuju lembah
kehancuran.
Saran saya jangan terlalu banyak membanding-bandingkan. Kapan bahagianya hidup ini jika selalu membandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Lakukanlah yang terbaik, walaupun engkau sekrang berada dipelosok negeri sekalipun. Karena yang di langit tidak pernah tidur dan Maha Melihat perbuatan kita.
Saran saya jangan terlalu banyak membanding-bandingkan. Kapan bahagianya hidup ini jika selalu membandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Lakukanlah yang terbaik, walaupun engkau sekrang berada dipelosok negeri sekalipun. Karena yang di langit tidak pernah tidur dan Maha Melihat perbuatan kita.
Semoga tulisan
ini memberikan menjadi pengingat saya secara pribadi dan memberikan cahaya dan
pencerahan kepada para dermawan untuk membantu sesama.
Gambar 1 : Diambil dari Gedung Sampoerna strategic
Gambar 1 : Diambil dari Gedung Sampoerna strategic
Gambar 2: Pinggir Pasar Induk Keramat Jati, Jakarta Timur
Jakarta, 18
Syaban 1437 H
mantap kawan, memilih jalan yang sama tapi dengan latar dan pemikiran yang berbeda ... sudut pandang desa dan kota.
BalasHapusJalan Tengahnya, berikanlah yang terbaik dimana pun kamu berada. karena Allah Maha Melihat dan Mendengar kegiatan yang kita lakukan. Walaupun tidak diliput, tidak disorot media. asal tujuannya untuk Sang Pencipta niscaya menentramkan sekali bisa berbagi ke masyarakat.
BalasHapus