Dalam
pertandingan tamiya yang diikuti beberapa anak berusia 10 tahunan, tampak
seorang anak berkomat-kamit dengan kedua tangannya menengadah ke langit seperti
berdoa. Seorang bapak yang betindak sebagai panitia menghampirinya dan
bertanya,"Berdoa untuk menang ya nak?" Jawab anak,"Bukan pak,
saya berdoa agar siapapun yang kalah, untuk siap menerimanya dengan lapang
dada."
Selengkapnya
Baca : Sikap Sang Juara
Ada pula,
kisah petenis Roddick yang merupakan pelajaran menarik untuk kita renungkan.
Ketika wasit memutuskan bahwa bola lawannya keluar dan Roddick diputuskan oleh
wasit memenangkan pertandingan, namun, Roddick melihat bahwa bola lawannya
masuk dan memprotes keputusan wasit.
Wasit
menerima protesnya. Akhirnya Roddick kalah. Namun semua orang berdiri memberi
tepuk tangan kepada Roddick atas
integritasnya.
Kedua kisah
di atas merupakan inspirasi yang patut kita renungkan dan menjadi pembelajaran
bahwa kehidupan ini bukan kalah-menang, kuat-lemah, dan keras-lunak semata.
Namun bagaimana dengan pilkada di Indonesia sekarang?
Ada
beberapa pengaduan terhadap penyelenggaraan pilkada serentak yang dilakukan
pada tahun 2015, menunjukkan masih ada pihak-pihak kontestan pilkada yang tak
menerima kekalahan.
Pihak yang
kalah menyatakan bahwa kekalahannya karena ada kecurangan yang dilakukan pihak
lawan atau ketidakadilan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Bahkan untuk
memaksakan kehendaknya, pihak yang kalah terkadang melakukan provokasi kepada
pendukungnya hingga terjadi tindakan anarkis. Mengapa hal ini terjadi?
Paradigma
Menang/menang
Kebanyakan
orang cenderung memiliki cara pandang (paradigma) bahwa kehidupan ini sebagai
arena persaingan (kompetitif). Hal ini mungkin akibat pendidikan yang telah
tertanam lama sejak dini. Pendidikan kita mengajarkan untuk bersaing satu sama
lain agar memperoleh nilai yang sangat tinggi.
Maka hal
yang wajar, orang tua selalu menanyakan ranking berapa anaknya di sekolah
kepada wali kelas anaknya. Dengan ranking tersebut kita membandingkan anak kita
dengan anak-anak lainnya.
Karena
pendidikan tersebut berlangsung lama, sehingga menjadi budaya dan sebuah
kebiasaan cara kita memandang kehidupan bahwa hidup adalah persaingan. Dengan
demikian, kita sering mendikotomikan kuat dan lemah, keras dan lunak, menang
dan kalah. Cara berpikir ini pada dasarnya cacat.
Cara
pandang ini didasarkan pada pemikiran Lord Acton yang berpusat pada prinsip
kekuasaan dan posisi. Sehingga kita cenderung menghalalkan segala cara untuk
meraih kekuasaan tanpa memiliki tenggang rasa kepada calon yang lain.
Cara pandang
Menang/Kalah merupakan gaya kepemimpinan yang otoriter. Saya mendapatkan apa
yang saya inginkan, dengan mengalahkan calon lainnya dengan berkata, mereka
tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Cara
pandang Menang/Kalah akan berdampak perselisihan yang tak pernah padam karena
calon lain merasa dikalahkan dan disakiti sehingga tak akan mendukung kekuasaan
yang dipimpin oleh pemenang.
Cara
pandang Menang/Kalah sudah mengkristal dalam pola pikir (mindset) masyarakat
umum karena pendidikan kita mengajarkan arena persaingan. Sehingga dalam budaya
Menang/Kalah, pihak yang menang akan
mendahulukan kelompoknya
dengan
menyisihkan kelompok yang dikalahkan. Perselisihan ini bagaikan lingkaran setan
yang tak berujung.
Untuk
kepentingan rakyat semuanya, sebaiknya cara pandang Menang/Kalah diganti dengan
cara pandang Menang/Menang. Cara pandang Menang/menang adalah kerangka pikiran
dan hati yang terus menerus mencari keuntungan bersama dalam hubungan sesama.
Kepentingan rakyat di atas kepentingan kelompok/pribadi.
Berpikir
Menang/Menang berarti bahwa kesepakatan atau solusi memberikan keuntungan dan
kepuasan yang timbal balik. Dengan solusi Menang/Menang semua pihak merasa
senang karena prinsip Menang/Menang didasarkan pada paradigma bahwa ada banyak
untuk semua orang. Cara pandang Menang/Menang merupakan keberhasilan satu orang
tidak dicapai dengan mengorbankan atau
menyingkirkan keberhasilan orang lain.
Sehingga
pihak yang ‘kalah’ akan menerima dengan lapang dada karena pilkada bukan sebuah
arena persaingan namun arena kolaborasi, kerja sama dan saling mendukung.
Bahkan pihak “kalah’ akan mendukung pemerintahan pihak yang menang karena
semuanya dlandaskan pada kepentingan rakyat secara keseluruhan. Ia tidak
melihat lagi kelompoknya, namun tujuan Nasional yakni tercapainya masyarakat
adil, makmur dan sejahtera.
Menerima
dengan lapang dada ‘kekalahan’ bukan sebuah aib atau cela, bahka kematangan
dalam berperilaku yakni memiliki keseimbangan antara keberanian dan tenggang
rasa untuk kemajuan Negara Indonesia yang kita cintai. Dengan paradigma
menang/Menang, setiap peserta pilkada akan siap ‘kalah’ karena inilah jalan
yang lebih baik untuk rakyat.
Sumber:
Mohammad Irkham, Buletin Bawaslu, Edisi Januari-Februari 2016 (Grup Diskusi WA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.