Selasa, 27 September 2016

Berpikir Menang-Menang

Dalam pertandingan tamiya yang diikuti beberapa anak berusia 10 tahunan, tampak seorang anak berkomat-kamit dengan kedua tangannya menengadah ke langit seperti berdoa. Seorang bapak yang betindak sebagai panitia menghampirinya dan bertanya,"Berdoa untuk menang ya nak?" Jawab anak,"Bukan pak, saya berdoa agar siapapun yang kalah, untuk siap menerimanya dengan lapang dada."

Selengkapnya Baca : Sikap Sang Juara

Ada pula, kisah petenis Roddick yang merupakan pelajaran menarik untuk kita renungkan. Ketika wasit memutuskan bahwa bola lawannya keluar dan Roddick diputuskan oleh wasit memenangkan pertandingan, namun, Roddick melihat bahwa bola lawannya masuk dan memprotes keputusan wasit.

Wasit menerima protesnya. Akhirnya Roddick kalah. Namun semua orang berdiri memberi tepuk tangan kepada Roddick atas  integritasnya.

Kedua kisah di atas merupakan inspirasi yang patut kita renungkan dan menjadi pembelajaran bahwa kehidupan ini bukan kalah-menang, kuat-lemah, dan keras-lunak semata. Namun bagaimana dengan pilkada di Indonesia sekarang?

Ada beberapa pengaduan terhadap penyelenggaraan pilkada serentak yang dilakukan pada tahun 2015, menunjukkan masih ada pihak-pihak kontestan pilkada yang tak menerima kekalahan.

Pihak yang kalah menyatakan bahwa kekalahannya karena ada kecurangan yang dilakukan pihak lawan atau ketidakadilan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Bahkan untuk memaksakan kehendaknya, pihak yang kalah terkadang melakukan provokasi kepada pendukungnya hingga terjadi tindakan anarkis. Mengapa hal ini terjadi?

Paradigma Menang/menang

Kebanyakan orang cenderung memiliki cara pandang (paradigma) bahwa kehidupan ini sebagai arena persaingan (kompetitif). Hal ini mungkin akibat pendidikan yang telah tertanam lama sejak dini. Pendidikan kita mengajarkan untuk bersaing satu sama lain agar memperoleh nilai yang sangat tinggi.

Maka hal yang wajar, orang tua selalu menanyakan ranking berapa anaknya di sekolah kepada wali kelas anaknya. Dengan ranking tersebut kita membandingkan anak kita dengan anak-anak lainnya.       

Karena pendidikan tersebut berlangsung lama, sehingga menjadi budaya dan sebuah kebiasaan cara kita memandang kehidupan bahwa hidup adalah persaingan. Dengan demikian, kita sering mendikotomikan kuat dan lemah, keras dan lunak, menang dan kalah. Cara berpikir ini pada dasarnya cacat.

Cara pandang ini didasarkan pada pemikiran Lord Acton yang berpusat pada prinsip kekuasaan dan posisi. Sehingga kita cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan tanpa memiliki tenggang rasa kepada calon yang lain.

Cara pandang Menang/Kalah merupakan gaya kepemimpinan yang otoriter. Saya mendapatkan apa yang saya inginkan, dengan mengalahkan calon lainnya dengan berkata, mereka tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Cara pandang Menang/Kalah akan berdampak perselisihan yang tak pernah padam karena calon lain merasa dikalahkan dan disakiti sehingga tak akan mendukung kekuasaan yang dipimpin oleh pemenang.

Cara pandang Menang/Kalah sudah mengkristal dalam pola pikir (mindset) masyarakat umum karena pendidikan kita mengajarkan arena persaingan. Sehingga dalam budaya Menang/Kalah, pihak yang  menang akan mendahulukan kelompoknya

dengan menyisihkan kelompok yang dikalahkan. Perselisihan ini bagaikan lingkaran setan yang tak berujung.

Untuk kepentingan rakyat semuanya, sebaiknya cara pandang Menang/Kalah diganti dengan cara pandang Menang/Menang. Cara pandang Menang/menang adalah kerangka pikiran dan hati yang terus menerus mencari keuntungan bersama dalam hubungan sesama. Kepentingan rakyat di atas kepentingan kelompok/pribadi.

Berpikir Menang/Menang berarti bahwa kesepakatan atau solusi memberikan keuntungan dan kepuasan yang timbal balik. Dengan solusi Menang/Menang semua pihak merasa senang karena prinsip Menang/Menang didasarkan pada paradigma bahwa ada banyak untuk semua orang. Cara pandang Menang/Menang merupakan keberhasilan satu orang tidak dicapai  dengan mengorbankan atau menyingkirkan keberhasilan orang lain.

Sehingga pihak yang ‘kalah’ akan menerima dengan lapang dada karena pilkada bukan sebuah arena persaingan namun arena kolaborasi, kerja sama dan saling mendukung. Bahkan pihak “kalah’ akan mendukung pemerintahan pihak yang menang karena semuanya dlandaskan pada kepentingan rakyat secara keseluruhan. Ia tidak melihat lagi kelompoknya, namun tujuan Nasional yakni tercapainya masyarakat adil, makmur dan sejahtera.

Menerima dengan lapang dada ‘kekalahan’ bukan sebuah aib atau cela, bahka kematangan dalam berperilaku yakni memiliki keseimbangan antara keberanian dan tenggang rasa untuk kemajuan Negara Indonesia yang kita cintai. Dengan paradigma menang/Menang, setiap peserta pilkada akan siap ‘kalah’ karena inilah jalan yang lebih baik untuk rakyat.

Gambar: Ramdanid

Sumber: Mohammad Irkham, Buletin Bawaslu, Edisi Januari-Februari 2016 (Grup Diskusi WA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.