Rabu, 07 September 2016

4 Tingkatan Manusia Dalam Menyikapi Takdir

Seandainya seorang hamba tahu apa yang akan ia terima dibalik setiap cobaan hidup yang ia terima di dunia, niscaya hilanglah kesedihan dan duka cita yang menyelimuti hidupnya. Akan tetapi, kesempitan cara pandang dan ilmu membuat sebagian manusia belum memiliki cara pandang yang benar bagaimana mensikapi takdir.

Jika kita telah jujur dalam keberimanan dan pertaubatan, maka seorang manusia yang dekat dengan Robbnya mampu menembus hikmah yang tersembunyi di balik setiap ketetapanNya. Tetapi, jika mansuia tidak mengenal Yang Maha Bijaksana maka respon yang diberikan tentulah berbeda.

Syeikh Utsaimin menjelaskan dalam kitabnya Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid bahwa ada empat tingkatan manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah, khususnya takdir yang buruk (yang tidak disukai), yaitu:

1. Mengeluh dan Marah
 
Tingkatan yang pertama adalah marah, tidak terima dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.


Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

Dan di antara manusia, ada yang menyembah Allah di pinggiran. Jika ia diberi nikmat berupa kebaikan, maka tenanglah hatinya. Namun jika ujian menimpanya, maka berubahlah rona wajahnya, jadilah ia merugi di dunia dan di akhirat.” (QS. Al-Hajj: 11).

Jika ia marah dengan lisannya, akan muncul kata-kata berupa umpatan, celaan, bahkan perkataan celaka dan yang semisal dengannya. Jika ia marah dengan perbuatannya, ia akan melakukan perbuatan seperti menampar pipi, merobek kerah baju, menarik narik rambut dan perbuatan yang semisal.

Sampai hari ini masih banyak yang menganggap bahwa ketaatan seseorang dalam beribadah akan membuat kehidupannya selalu lancar dan hajat baiknya selalu terpenuhi. Memang benar dan ada nash yang membenarkan. Tetapi, dalam kehidupan di dunia keadaan setiap orang tidak selalu sama. Allah Yang Maha Bijaksana lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya.

Siapakah orang yang paling dekat kepada Allah? Siapa orang yang paling berat ujian kehidupannya di dunia?

Ya, mereka para Nabi dan Rosul. Manusia yang paling dekat kepada Allah dan paling besar pula ujiannya.

2. Bersabar

Bisa jadi seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar dan keimanannya menghalanginya untuk marah ataupun mengeluh.
Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.

Sabar bukan ada bermacam-macam, sabar dalam melaksanakan perintah Allah, sabar dalam menjauhi larangan-Nya, dan sabar dalam menghadapi musibah. Seseorang akan sulit bersabar dalam menghadapi musibah jika ia tidak sabar dalam menjalankan perintah dan sabar menjauhi larangan-Nya.

Baca Juga : Bersabar dan Sholat

3. Ridha

Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.

Baca Juga : Bagaimana Menyikapi Takdir?

Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.

4. Bersyukur

Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat. Bagaimana kita bisa belajar bersyukur? Baca : Belajar Bersyukur

Baca Juga: Apa pun yang terjadi Bersyukurlah

Pada hakikatnya, musibah adalah penghapus dosa dan akan menjadi tambahan kebaikan di sisi Allah tatkala ia menjadi hamba yang bersyukur. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

Tidaklah suatu kelelahan, sakit, kesedihan, kegundahan, bahkan tusukan duri sekali pun, kecuali akan menjadi penghapus dosa baginya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Demikianlah tingkatan skiap menghadapi cobaan, kita berharap bisa digolongkan minimal sebagai orang bersabar, tatkala tertimpa musibah, dan berusaha semaksimal mungkin menjadi orang yang ridha dan bersyukur tatkala tertimpa musibah. Dan ini berkaitan erat dengan komitmen kita untuk istiqomah dalam melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Semoga Allah selalu memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, serta menghapuskan dosa kita dengan sebab musibah yang menimpa diri kita.

Wallahul Muwaffiq.

Foto: santaisaja.net

Jakarta, 5 Dzulhijjah 1437 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.