Seandainya
seorang hamba tahu apa yang akan ia terima dibalik setiap cobaan hidup yang ia
terima di dunia, niscaya hilanglah kesedihan dan duka cita yang menyelimuti
hidupnya. Akan tetapi, kesempitan cara pandang dan ilmu membuat sebagian
manusia belum memiliki cara pandang yang benar bagaimana mensikapi takdir.
Bisa jadi seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar dan keimanannya menghalanginya untuk marah ataupun mengeluh.
Foto: santaisaja.net
Jika kita
telah jujur dalam keberimanan dan pertaubatan, maka seorang manusia yang dekat
dengan Robbnya mampu menembus hikmah yang tersembunyi di balik setiap
ketetapanNya. Tetapi, jika mansuia tidak mengenal Yang Maha Bijaksana maka
respon yang diberikan tentulah berbeda.
Syeikh
Utsaimin menjelaskan dalam kitabnya Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid bahwa ada empat tingkatan manusia ketika menghadapi cobaan
atau dalam menerima takdir Allah, khususnya takdir yang buruk (yang tidak
disukai), yaitu:
1. Mengeluh
dan Marah
Tingkatan
yang pertama adalah marah, tidak terima dengan takdir yang Allah berikan. Boleh
jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan
lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan
terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah
kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.
Baca Juga:
Menembus Takdir Yang Tersembunyi
Allah Ta’ala
berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
“Dan di antara manusia,
ada yang menyembah Allah di pinggiran. Jika ia diberi nikmat berupa kebaikan,
maka tenanglah hatinya. Namun jika ujian menimpanya, maka berubahlah rona
wajahnya, jadilah ia merugi di dunia dan di akhirat.” (QS. Al-Hajj: 11).
Jika ia
marah dengan lisannya, akan muncul kata-kata berupa umpatan, celaan, bahkan
perkataan celaka dan yang semisal dengannya. Jika ia marah dengan perbuatannya,
ia akan melakukan perbuatan seperti menampar pipi, merobek kerah baju, menarik
narik rambut dan perbuatan yang semisal.
Sampai hari
ini masih banyak yang menganggap bahwa ketaatan seseorang dalam beribadah akan
membuat kehidupannya selalu lancar dan hajat baiknya selalu terpenuhi. Memang
benar dan ada nash yang membenarkan. Tetapi, dalam kehidupan di dunia keadaan
setiap orang tidak selalu sama. Allah Yang Maha Bijaksana lebih mengetahui apa
yang terbaik untuk hamba-Nya.
Siapakah
orang yang paling dekat kepada Allah? Siapa orang yang paling berat ujian
kehidupannya di dunia?
Ya, mereka
para Nabi dan Rosul. Manusia yang paling dekat kepada Allah dan paling besar
pula ujiannya.
2. Bersabar
Bisa jadi seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar dan keimanannya menghalanginya untuk marah ataupun mengeluh.
Dan sabar
adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika
menghadapi cobaan.
Sabar bukan
ada bermacam-macam, sabar dalam melaksanakan perintah Allah, sabar dalam
menjauhi larangan-Nya, dan sabar dalam menghadapi musibah. Seseorang akan sulit
bersabar dalam menghadapi musibah jika ia tidak sabar dalam menjalankan
perintah dan sabar menjauhi larangan-Nya.
Baca Juga :
Bersabar dan Sholat
3. Ridha
Tingkatan
ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian
dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan
ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia
adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.
Baca Juga : Bagaimana Menyikapi Takdir?
Baca Juga : Bagaimana Menyikapi Takdir?
Dimana saja
Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan
kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah,
semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena
kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya.
Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat
dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.
4. Bersyukur
Ini adalah
tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia
bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi
hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain
yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih
ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan
dibandingkan adzab di akhirat. Bagaimana kita bisa belajar bersyukur? Baca : Belajar Bersyukur
Baca Juga: Apa pun yang terjadi Bersyukurlah
Baca Juga: Apa pun yang terjadi Bersyukurlah
Pada
hakikatnya, musibah adalah penghapus dosa dan akan menjadi tambahan kebaikan di
sisi Allah tatkala ia menjadi hamba yang bersyukur. Sebagaimana sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah suatu kelelahan, sakit,
kesedihan, kegundahan, bahkan tusukan duri sekali pun, kecuali akan menjadi
penghapus dosa baginya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Demikianlah
tingkatan skiap menghadapi cobaan, kita berharap bisa digolongkan minimal
sebagai orang bersabar, tatkala tertimpa musibah, dan berusaha semaksimal
mungkin menjadi orang yang ridha dan bersyukur tatkala tertimpa musibah. Dan ini
berkaitan erat dengan komitmen kita untuk istiqomah dalam melaksanakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Semoga Allah
selalu memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, serta menghapuskan
dosa kita dengan sebab musibah yang menimpa diri kita.
Wallahul
Muwaffiq.
Foto: santaisaja.net
Jakarta, 5
Dzulhijjah 1437 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.