Ada beberapa
pelajaran penting yang saya dapatkan ketika mengikuti kuliah umum “Education in Perspective of Learning and Memory
Neurosciences” yang diselenggarakan
oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud dengan menghadirkan
pakar neuroscience Indonesia yang sudah berkiprah di dunia internasional, yaitu
Taruna Ikrar, M. Pharm., MD., Ph.D. Acara
ini dihadiri oleh pejabat eselon 1 dan 2 di lingkungan Kemendikbud, serta para
guru, dosen, mahasiswa, dan praktisi pendidikan pada umumnya. Jumat
(3/6/2016).
Ada
pertanyaan yang sangat menarik yang beliau ajukan kenapa orang bisa mengingat? Bagaimana
seseorang bisa menggunakan memorinya? Mengapa tidak semua yang kita pelajari
mampu kita ingat?
Baginya belajar
itu sama dengan pengulangan. Belajar dan mengingat mempunyai hubungan yang
sangat erat. Tetapi, bukan hanya mengingat yang penting, tetapi otak manusia
bisa menyimpulkan sesuatu berdasarkan pengetahuannya dan mampu mengembangkan
pengetahuannya.
Berdasarkan
pernyataan di atas menurut Pakar neuroscience Taruna mengatakan, pendidik harus
memahami ilmu neuroscience penting dalam perumusan kebijakan di dunia pendidikan. Mengapa?
Karena Neuroscience adalah ilmu yang mempelajari tentang berbagai fungsi otak
dan manifestasinya dalam kehidupan. Taruna Ikrar lebih lanjut menjelaskan,
neuroscience bisa digunakan untuk membantu merumuskan metodologi, silabus
kurikulum, hingga mengedukasi masyarakat secara luas.
Selama ini
masyarakat menerima informasi yang keliru dari segelintir orang yang
mengatakan, awas jangan terlalu rajin belajar nanti bisa gila. Atau paling
tidak stress. Benarkah? Saya juga bertanya-tanya di dalam diri, ketika ada
tetangga yang terkenal pintar tiba-tiba stress.
Setelah dewasa
saya semakin paham, faktanya berbicara lain bahwa manusia menurut Taruna otak
manusia terdiri dari 100 miliar sel saraf, setiap 1 sel saraf terdiri dari
10.000 sinaps. Apa yang Penting untuk kita lakukan untuk menghubungkan sinaps
tersebut? semakin banyak yang kita pelajari, semakin banyak sinaps yang
terhubung.
“Tidak ada
otak yang rusak karena belajar banyak” Ungkap Taruna yang merupakan
Academic Senior Specialist & Adjunct Professor University Of California,
Irvine, USA
Menyimak pemaparan Taruna, sesuai dengan ilmu yang saya dapatkan dari Prof. Sabarti tentang
salah satu teori proses belajar itu
adalah proses stimulasi. Dari sinilah pentingnya pengulangan. Karena pada hakekatnya
kelebihan teori ini adalah belajar merupakan buah dari latihan/ pengulangan. Walaupun
ada juga sisi kelemahannya, teori ini hanya menilai sesuatu yang tampak melalui
pengamatan.
Realitas yang
terjadi masyarakat karena keabaian orang tua, anak-anak sekarang cenderung
mendapatkan stimulasi negatif dari televisi, teman-teman yang kurang baik
akhlaknya, pembantu yang tidak ramah dan mengerti cara mendidik anak. Akibatnya
anak-anak kita saat ini menjadi lebih agresif, susah diatur, dan manja.
Taruna juga
menyarankan kepada para ibu untuk menyusui anaknya sampai dua tahun. Lalu para
orang tua untuk aktif memberikan stimulus atau rangsangan kepada anaknya yang
masih berusia dini untuk membantu perkembangan otak anak.
Salah satu
yang bisa diterapkan pada anak-anak adalah pendidikan multi bahasa. Ia mencontohkan
memiliki anak, Istrinya menggunakan bahasa jepang, Taruna sendiri menggunakan
bahasa indonesia di rumah, sedangkan dengan teman-teman di sekolah, anaknya
menggunakan bahasa inggris. Ia mengatakan, pendidikan multibahasa bagi anak
sangat bagus karena memberikan suatu konteks rangsangan di mana otak anak akan
semakin berkembang.
Ada juga
yang bertanya apakah boleh mengajarkan bahasa kepada anak sejak dini?
Menurut Prof.
Ikrar multi bahasa adalah konsep yang bagus. Latih saja anak sebanyak mungkin
bahasa yang dia bisa. Tapi jangan lakukan tekanan atau intimidasi, karena
justru tekanan itu yang dapat merusak perkembangan otak anak,” tuturnya.
Lalu apa
yang harus dilakukan?
Ia
mengajurkan orang tua agar memberikan stimulus dengan merangsang rasa ingin
tahu dan penasaran seorang anak, karena anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang
tinggi. jika saya kolaborasikan dengan ilmu yang saya dapatkan dari Prof. Barti
sejak kecil biasakan ajak anak berdialog, sehingga itu secara tidak sadar mampu
menstimulus otak anak untuk berkembang.
Lebih lanjut
taruna menjelaskan umur 1-2 dan 2-7 adalah golden age. Karena itu pada umur itu
anak-anak harus lebih banyak diberikan rangsangan, bangun kepercayaan diri anak
sejak kecil.
Dari sini
kita bisa mengambil kesimpulan, peran orang tua (ayah dan ibu), nenek dan
kakek, guru, dan orang-orang di sekitar anak sangat menentukan perkembangan
otak sang anak. Ilmu ini bagi saya sangat nyambung dengan apa yang sering
dibahas oleh Prof. Barti di Kampus.
Ada yang
bertanya Bagaimana mengoptimalkan learning?
Taruna menjelaskan kita harus memberikan stimulus, rangsangan. Jangan hanya menggunakan satu metode, tapi perbanyak rangsangan semakin baik.
Taruna menjelaskan kita harus memberikan stimulus, rangsangan. Jangan hanya menggunakan satu metode, tapi perbanyak rangsangan semakin baik.
“Siapa yang bisa menyangka bahwa orang bisa
belajar, mengetahui sesuatu, bisa cerdas, adalah karena peran otak manusia?
Oleh karena itu saya kemukakan, bahwa di seluruh dunia, orang sudah sangat
sadar dengan apa yang disebut dengan neuroscience, dan penerapannya sudah
dilakukan di mana-mana, termasuk dimulai dari sekolah dasar,”
Bagaimana
dengan Neurospritual?
Prof. Taruna
yakin spritualisme bisa mengontrol emosi seseorang. Kita melihat juga hari ini
bnyak anak yang hafal qur’an. Wakil Presiden I4 atau Ikatan Ilmuan Indonesia
Internasional (International Indonesian Scholars Association) ini meyakini
diperlukan pegangan hidup (agama) untuk mengantarkan kebahagian hidup di dunia
dan akhirat.
Jakarta, 27
Dzulqa’dah 1437 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.