Apabila
seseorang telah silau karena melihat kelebihan yang ada pada orang lain, dia
akan ditimpa oleh satu penyakit dalam jiwanya sendiri, di antaranya penyakit
hasad, benci, mengomel, baik kepada orang yang diberi Allah kelebihan maupun
kepada Allah. Karena ia telah menghabiskan waktu untuk berangan-angan, maka ia
lalai untuk menyelidiki kelebihan yang ada di dalam dirinya sendiri, jika ia
mengasah, merawat, dan memupuknya.
Berangan-angan
menyebabkan jiwa dia lebih banyak berkhayal daripada bekerja. Lebih banyak
mengeluh melihat kelebihan orang lain sehingga dirinya sendiri jadi rendah. Padahal
jika dia sungguh-sungguh ia akan menemukan kelebihan yang telah Allah
anugrahkan kepada dirinya. Allah Ta'ala berfirman :
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap
apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian
yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nisaa': 32)
Berkata Ibnu
Abbas seketika menafsirkan ayat ini, “Janganlah
kamu berkata, wahai kiranya aku akan diberi pula harta banyak, nikmat banyak
dan istri cantik seperti si fulan itu”
Ada sebuah
riwayat yang menyatakan bahwa Ummu Salamah Radhiyaullohhu
Anha pernah berkata, "Alangkah
baiknya jika kami (kaum perempuan) menjadi laki-laki juga, sehingga kami dapat
berjihad dan memperoleh pahala besar sama seperti mereka (kaum laki-laki),
sesungguhnya Allah Ta'ala Maha Mendengar dan Maha Mengetahui."
Betapa
banyak orang yang berharap, baik yang didasari oleh perasaan iri hati maupun
tidak. Oleh sebab itu, dalam ayat ini Allah melarang hamba-hamba-Nya yang
beriman berharap untuk memiliki apa yang Allah anugrahkan kepada sebagian
diantara mereka.
Harapan
adalah salah satu bentuk keinginan yang berhubungan dengan masa depan,
kebalikannya adalah penyesalan dan duka, karena berkaitan dengan sesuatu yang
telah terjadi. Rahasia dibalik keharaman ini adalah karena pikirannya akan
terfokus ke sana terus dan melupakan kematian. Oleh karena itu, harapan yang
disertai dengan iri hati adalah terlarang.
Ada dua
macam jenis harapan ini. Pertama,
mengharap hilangnya nikmat pada seseorang dan nikmat itu beralih kepadanya. Kedua, mengharapkan hilangnya nikmat
pada seseorang walaupun ia tidak mendapatkan nikmat tersebut, dan ini adalah
bentuk iri hati yang paling buruk.
Ada juga
istilah Ghibtoh. Apakah Ghibtoh (keinginan agar seperti orang
lain) termasuk iri hati? Jawabannya, tidak sama. Mungkin terdengar asing bagi
sebagian orang istilah ini, menurut guru saya Ghibtoh adalah seseorang melihat nikmat ilmu atau harta yang
dimiliki oleh orang lain, lalui ia berkeinginan agar ia bisa seperti dia dan
berdoa kepada Allah agar diberikan nikmat ilmu seperti orang tersebut, sehingga
ia dapat menjadi orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, atau diberikan
kepadanya harta seperti orang tersebut, agar ia dapat mengeluarkan sedekah.
Inilah harapan dan keinginan yang terpuji sebagimana dijelaskan dalam hadits
Bukhari, “Iri hati tidak dibenarkan
kecuali pada dua hal: seseorang dianugrahi harta oleh Allah, lalu orang
tersebut menghabiskan harta itu dalam kebenaran, kemudian ada orang yang
berkata, “Sekiranya saya mempunyai apa yang dimiliki oleh Fulan tadi, niscaya
saya akan melakukan seperti apa yang dilakukan orang tersebut.” kedua orang
tersebut mendapat pahala yang sama.
Ada yang
mendapatkan anugrah tersebut dan ada pula yang tidak mendapatkannya, semua itu
mengandung hikmah yang besar. Diantaranya bahwa anugrah tersebut merupakan
ujian terhadap kesabaran dan rasa syukur. Allah Ta'ala berfirman, ..
"dan Janganlah kamu iri hati
terhadap apa yang dikaruniakan Allah”
Baik berupa
ilmu pengetahuan, harta, kesehatan, kehormatan, maupun kekuasaan.
“Kepada sebagian kamu lebih banyak
dari sebagian yang lain.”
Yang penting
ialah supaya semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan, berusaha dan yakin
bahwa asal dia berusaha, dia akan mendapat bagian sesuai usahanya. Kita harus
menyadari bahwa kaya atau miskin, berpangkat tinggi atau menjadi rakyat jelata
dalam barisan orang banyak, semuanya adalah karunia yang telah Allah tentukan,
dan semua pun ada akibat dan resiko. Semua ada tanggung jawabnyadan tidak
terlepas dari kesulitan.
Tulisan Terkait : Hukum Kekekalan Energi Bagi Manusia
“setiap
manusia diciptakan untuk melakukan suatu perkara yang besar” demikian sebuah
kalimat bijak, tetapi pertanyaannya, sudahkah kita tahu perkara besar yang
hendak kita kerjakan?
Ayat ini
juga menghentakkan kesadaran kita tentang nasib kita sebagai umat islam beratus
tahun lamanya. Segala kemegahan, kekuasaan, kekayaan, dan ketinggian telah
dicapai oleh bangsa Barat, sampai kita dijajahnya karena kita di pihak yang
bodoh. Sedang kita hanya berangan-angan dan iri hati, sampai-sampai ada pepatah
sebelum perang, Belanda mati karena
pangkat, Cina mati karena kekayaan, keling mati karena makanan, Melayu mati
dalam angan-angan.
Mari kita
mengevaluasi kehidupan kita secara pribadi maupun dalam bernegara. Kita baik
secara pribadi maupun sebagai sebuah negara terkadang bertambah mundur salah
satu penyebabnya karena hasad dan iri hati. Kalau ada kawan yang kelihatan
maju, yang lain membenci dan menfitnah. Tiap-tiap yang akan tumbuh, dipancung
pucuknya oleh temannya sendiri.
Ada nasehat
berharga dari pejuang bangsa ini, “Tugas kami
lebih mudah karena berjuang melawan penjajah, sedangkan tugas generasi
selanjutnya lebih berat karena harus melawan bangsanya sendiri”. Berpuluh-puluh
tahun nasehat ini terbukti adanya.
Alhamdulillah,
sekarang kita sudah mencapai kemerdekaan dari penjajahan asing. Karena dahulu
kita terjajah karena tidak ada ilmu. Lalu hidup dalam angan-angan. Sekarang hal
itu sudah habis karena kemerdekaan tanah air bersendi Walaupun harus jujur kita akui, kemerdekaan
yang kita jalani saat ini belum 100 persen. Kenapa? Karena dalam negara yang
merdeka, dengan jiwa yang merdeka setiap orang terbuka jalan untuk maju dalam
bidangnya sendiri-sendiri. Tidak ada tempat lagi buat berangan-angan dan dengki
hanyalah timbul dari jiwa yang kecil dan kerdil. Penyakit demikian tidak
mungkin timbul jika seseorang menyadari dasar aqidah hidupnya, yaitu tauhid. Dan
orang yang berjiwa merdeka dan bertauhid tahu bahwa di mana saja medan tempat
dia tegak, maka ia tetap dapat memberikan kontribusi nyata untuk masyarakat,
Lalu apa sulusinya?
Allah
mengabarkan kepada kita semua bahwa ketentuan-Nya dalam hal pahala dan azab
ditentukan oleh amal dan usaha. Barangsiapa yang ingin pahala dan balasan yang
baik, maka hendaklah ia melaksanakan kewajiban-kewajiban berupa iman dan amal
saleh, dan janganlah ia hanya berharap tanpa melakukan amal. Orang yang takut
akan azab Allah, maka hendaklah ia menghindari dan meninggalkan kesyirikan,
jangan hanya mengharap keselamatan tanpa ada usaha.
Sama halnya
dengan orang yang ingin mendapatkan harta dan kedudukan, maka hendaklah ia
berusaha dan bekerja keras menempuh jalur-jalur untuk mendapatkannya, tidak
hanya sekedar berharap, karena harapan itu menurut salah satu pendapat hanyalah
sebuah kebodohan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,
“bagi orang laki-laki ada bahagian
dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian
dari apa yang mereka usahakan”
Allah
mengembalikan semua perkara kepada sunnatullah yang telah ditentukan, yaitu
usaha manusia itu sendiri, sebagaimana firman Allah ta’ala,
“Barangsiapa yang mengerjakan
kebaikan seberat dzarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya”. Dan
barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarah pun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya pula.” (Q.S. Az-Zalzalah: 7-8)
Kemudian
Allah menjelaskan sunnatullah yang lain untuk mendapatkan apa yang diinginkan,
yaitu berdoa kepada Allah (setelah melakukan ikhtiar). Allah Ta’ala berfirman,
“Dan mohonlah kepada Allah sebagian
dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Barangsiapa
yang memohon dan mengadu kepada Robbnya, sesuai dengan hadits At-Tirmidzi dan
selainnya yang meriwayatkan bahwa Rosulullah shallaullohhu Alaihi wa Sallam
pernah bersabda,
“Mintalah karunia dari Allah, karena
sesungguhnya Dia menyukai orang yang memohon. Sebaik-baik ibadah adalah
bersabar menunggu jalan keluar (pertolongan).” Yaitu, pertolongan dari Allah Ta’ala
sehingga hatinya senantiasa mengingat Allah Ta’ala.
maka
hendakah ia yakin doanya akan diterima. Niscaya Allah akan mengabulkannya dan
memberikan kepadanya taufik (kemudahan) untuk melakukan sebab-sebab yang
mengantarkannya kepada apa yang ia inginkan, dan Allah akan menghilangkan
segala rintangan yang menghalanginya dalam mencapai tujuannya. Bahkan, jika
Allah berkehendak, Dia akan mengabulkan permintaannya langsung tanpa harus
melalui sebab-sebab (usaha), dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Berdoa dengan ikhlas merupakan salah satu
sebab (sarana) yang disyariatkan untuk mencapai suatu harapan.
Engkau
Sakti,
Kalau
berbakti!
Berbakti,
kepada Penciptamu, berbakti kepada kedua orang tuamu, berbakti kepada
masyarakatmu, berbakti kepada negaramu, dan berbakti untuk peradaban manusia
seluruh dunia.
Tulisan Terkait: Apa yang Bisa Mempersatukan kita?
Tulisan Terkait: Apa yang Bisa Mempersatukan kita?
Jakarta, 9
Dzulqaidah 1437 H
Hamba Allah yang senantiasa mengharapkan Rahmat, Ridho, dan Ampunan-Nya.
Hamba Allah yang senantiasa mengharapkan Rahmat, Ridho, dan Ampunan-Nya.
Reference :
Syaikh Abu Bakar
Jabir Al-Jazairi, 2015. Tafsir Al-Qur’an
Al-Aisar (Jilid 2). Jakarta: Darus Sunnah.
Prof. Dr.
Hamka. 2015. Tafsir Al-Azhar: Jilid 2.
Jakarta: Gema Insani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.