Sabtu, 13 Agustus 2016

Iri Hati, Kemerdekaan Jiwa Dan Solusi Untuk Mengatasinya (Tadabbur Q.S. An-Nisaa’: 32)

Apabila seseorang telah silau karena melihat kelebihan yang ada pada orang lain, dia akan ditimpa oleh satu penyakit dalam jiwanya sendiri, di antaranya penyakit hasad, benci, mengomel, baik kepada orang yang diberi Allah kelebihan maupun kepada Allah. Karena ia telah menghabiskan waktu untuk berangan-angan, maka ia lalai untuk menyelidiki kelebihan yang ada di dalam dirinya sendiri, jika ia mengasah, merawat, dan memupuknya.

Berangan-angan menyebabkan jiwa dia lebih banyak berkhayal daripada bekerja. Lebih banyak mengeluh melihat kelebihan orang lain sehingga dirinya sendiri jadi rendah. Padahal jika dia sungguh-sungguh ia akan menemukan kelebihan yang telah Allah anugrahkan kepada dirinya. Allah Ta'ala berfirman :

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nisaa': 32)

Berkata Ibnu Abbas seketika menafsirkan ayat ini, “Janganlah kamu berkata, wahai kiranya aku akan diberi pula harta banyak, nikmat banyak dan istri cantik seperti si fulan itu”

Ada sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Ummu Salamah Radhiyaullohhu Anha pernah berkata, "Alangkah baiknya jika kami (kaum perempuan) menjadi laki-laki juga, sehingga kami dapat berjihad dan memperoleh pahala besar sama seperti mereka (kaum laki-laki), sesungguhnya Allah Ta'ala Maha Mendengar dan Maha Mengetahui."

Betapa banyak orang yang berharap, baik yang didasari oleh perasaan iri hati maupun tidak. Oleh sebab itu, dalam ayat ini Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman berharap untuk memiliki apa yang Allah anugrahkan kepada sebagian diantara mereka.

Harapan adalah salah satu bentuk keinginan yang berhubungan dengan masa depan, kebalikannya adalah penyesalan dan duka, karena berkaitan dengan sesuatu yang telah terjadi. Rahasia dibalik keharaman ini adalah karena pikirannya akan terfokus ke sana terus dan melupakan kematian. Oleh karena itu, harapan yang disertai dengan iri hati adalah terlarang.

Ada dua macam jenis harapan ini. Pertama, mengharap hilangnya nikmat pada seseorang dan nikmat itu beralih kepadanya. Kedua, mengharapkan hilangnya nikmat pada seseorang walaupun ia tidak mendapatkan nikmat tersebut, dan ini adalah bentuk iri hati yang paling buruk.

Ada juga istilah Ghibtoh. Apakah Ghibtoh (keinginan agar seperti orang lain) termasuk iri hati? Jawabannya, tidak sama. Mungkin terdengar asing bagi sebagian orang istilah ini, menurut guru saya Ghibtoh adalah seseorang melihat nikmat ilmu atau harta yang dimiliki oleh orang lain, lalui ia berkeinginan agar ia bisa seperti dia dan berdoa kepada Allah agar diberikan nikmat ilmu seperti orang tersebut, sehingga ia dapat menjadi orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, atau diberikan kepadanya harta seperti orang tersebut, agar ia dapat mengeluarkan sedekah. Inilah harapan dan keinginan yang terpuji sebagimana dijelaskan dalam hadits Bukhari, “Iri hati tidak dibenarkan kecuali pada dua hal: seseorang dianugrahi harta oleh Allah, lalu orang tersebut menghabiskan harta itu dalam kebenaran, kemudian ada orang yang berkata, “Sekiranya saya mempunyai apa yang dimiliki oleh Fulan tadi, niscaya saya akan melakukan seperti apa yang dilakukan orang tersebut.” kedua orang tersebut mendapat pahala yang sama.

Ada yang mendapatkan anugrah tersebut dan ada pula yang tidak mendapatkannya, semua itu mengandung hikmah yang besar. Diantaranya bahwa anugrah tersebut merupakan ujian terhadap kesabaran dan rasa syukur. Allah Ta'ala berfirman, ..

"dan Janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah”

Baik berupa ilmu pengetahuan, harta, kesehatan, kehormatan, maupun kekuasaan.

“Kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain.”

Yang penting ialah supaya semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan, berusaha dan yakin bahwa asal dia berusaha, dia akan mendapat bagian sesuai usahanya. Kita harus menyadari bahwa kaya atau miskin, berpangkat tinggi atau menjadi rakyat jelata dalam barisan orang banyak, semuanya adalah karunia yang telah Allah tentukan, dan semua pun ada akibat dan resiko. Semua ada tanggung jawabnyadan tidak terlepas dari kesulitan.


“setiap manusia diciptakan untuk melakukan suatu perkara yang besar” demikian sebuah kalimat bijak, tetapi pertanyaannya, sudahkah kita tahu perkara besar yang hendak kita kerjakan?

Ayat ini juga menghentakkan kesadaran kita tentang nasib kita sebagai umat islam beratus tahun lamanya. Segala kemegahan, kekuasaan, kekayaan, dan ketinggian telah dicapai oleh bangsa Barat, sampai kita dijajahnya karena kita di pihak yang bodoh. Sedang kita hanya berangan-angan dan iri hati, sampai-sampai ada pepatah sebelum perang, Belanda mati karena pangkat, Cina mati karena kekayaan, keling mati karena makanan, Melayu mati dalam angan-angan.

Mari kita mengevaluasi kehidupan kita secara pribadi maupun dalam bernegara. Kita baik secara pribadi maupun sebagai sebuah negara terkadang bertambah mundur salah satu penyebabnya karena hasad dan iri hati. Kalau ada kawan yang kelihatan maju, yang lain membenci dan menfitnah. Tiap-tiap yang akan tumbuh, dipancung pucuknya oleh temannya sendiri.

Ada nasehat berharga dari pejuang bangsa ini, “Tugas kami lebih mudah karena berjuang melawan penjajah, sedangkan tugas generasi selanjutnya lebih berat karena harus melawan bangsanya sendiri”. Berpuluh-puluh tahun nasehat ini terbukti adanya.

Alhamdulillah, sekarang kita sudah mencapai kemerdekaan dari penjajahan asing. Karena dahulu kita terjajah karena tidak ada ilmu. Lalu hidup dalam angan-angan. Sekarang hal itu sudah habis karena kemerdekaan tanah air bersendi  Walaupun harus jujur kita akui, kemerdekaan yang kita jalani saat ini belum 100 persen. Kenapa? Karena dalam negara yang merdeka, dengan jiwa yang merdeka setiap orang terbuka jalan untuk maju dalam bidangnya sendiri-sendiri. Tidak ada tempat lagi buat berangan-angan dan dengki hanyalah timbul dari jiwa yang kecil dan kerdil. Penyakit demikian tidak mungkin timbul jika seseorang menyadari dasar aqidah hidupnya, yaitu tauhid. Dan orang yang berjiwa merdeka dan bertauhid tahu bahwa di mana saja medan tempat dia tegak, maka ia tetap dapat memberikan kontribusi nyata untuk masyarakat,

Lalu apa sulusinya?
Allah mengabarkan kepada kita semua bahwa ketentuan-Nya dalam hal pahala dan azab ditentukan oleh amal dan usaha. Barangsiapa yang ingin pahala dan balasan yang baik, maka hendaklah ia melaksanakan kewajiban-kewajiban berupa iman dan amal saleh, dan janganlah ia hanya berharap tanpa melakukan amal. Orang yang takut akan azab Allah, maka hendaklah ia menghindari dan meninggalkan kesyirikan, jangan hanya mengharap keselamatan tanpa ada usaha.

Sama halnya dengan orang yang ingin mendapatkan harta dan kedudukan, maka hendaklah ia berusaha dan bekerja keras menempuh jalur-jalur untuk mendapatkannya, tidak hanya sekedar berharap, karena harapan itu menurut salah satu pendapat hanyalah sebuah kebodohan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,

“bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan”

Allah mengembalikan semua perkara kepada sunnatullah yang telah ditentukan, yaitu usaha manusia itu sendiri, sebagaimana firman Allah ta’ala,

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya”. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Q.S. Az-Zalzalah: 7-8)

Kemudian Allah menjelaskan sunnatullah yang lain untuk mendapatkan apa yang diinginkan, yaitu berdoa kepada Allah (setelah melakukan ikhtiar). Allah Ta’ala berfirman,

“Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Barangsiapa yang memohon dan mengadu kepada Robbnya, sesuai dengan hadits At-Tirmidzi dan selainnya yang meriwayatkan bahwa Rosulullah shallaullohhu Alaihi wa Sallam pernah bersabda,

“Mintalah karunia dari Allah, karena sesungguhnya Dia menyukai orang yang memohon. Sebaik-baik ibadah adalah bersabar menunggu jalan keluar (pertolongan).” Yaitu, pertolongan dari Allah Ta’ala sehingga hatinya senantiasa mengingat Allah Ta’ala.

maka hendakah ia yakin doanya akan diterima. Niscaya Allah akan mengabulkannya dan memberikan kepadanya taufik (kemudahan) untuk melakukan sebab-sebab yang mengantarkannya kepada apa yang ia inginkan, dan Allah akan menghilangkan segala rintangan yang menghalanginya dalam mencapai tujuannya. Bahkan, jika Allah berkehendak, Dia akan mengabulkan permintaannya langsung tanpa harus melalui sebab-sebab (usaha), dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Berdoa dengan ikhlas merupakan salah satu sebab (sarana) yang disyariatkan untuk mencapai suatu harapan.

Engkau Sakti,
Kalau berbakti!

Berbakti, kepada Penciptamu, berbakti kepada kedua orang tuamu, berbakti kepada masyarakatmu, berbakti kepada negaramu, dan berbakti untuk peradaban manusia seluruh dunia.

Tulisan Terkait: Apa yang Bisa Mempersatukan kita?

Foto: Shutterstock

Jakarta, 9 Dzulqaidah 1437 H
Hamba Allah yang senantiasa mengharapkan Rahmat, Ridho, dan Ampunan-Nya.

Reference :
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, 2015. Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar (Jilid 2). Jakarta: Darus Sunnah.
Prof. Dr. Hamka. 2015. Tafsir Al-Azhar: Jilid 2. Jakarta: Gema Insani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.