Terkadang kita memperhatikan bagaimana anak-anak dijejali
dengan nasehat yang overdosis. Memberikan nasehat ibarat memberikan obat kepada
orang yang sedang sakit. Perlu diagnosa yang tepat terhadap penyakit dan
pemberiaan obat dengan dosis yang tepat. Apa jadinya jika seseorang salah
mendiagnosis dan salah memberikan obat? Tentu Anda tahu ujungnya.
Rosululloh Sholaullohhu
‘Alaihi Wassalam selalu memperhatikan kondisi murid-murid (sahabat) beliau
ketika menasehatinya. Beliau selalu memberi nasehat sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan orang yang dinasehati.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Rodhiallohhu ‘anhu, dia berkata :
“Kekasihku mewasiatkan kepadaku tiga hal agar aku tidak
meninggalkannya hingga aku meninggal dunia: (1) puasa (bidh) selama tiga hari pada setiap bulannya, (2) sholat Dhuha, dan (3)
tidur setelah melakukan sholat witir.
Imam Ibnu Abi Jamrah menjelaskan hadist ini sebagai berikut;
“Mengapa Nabi Sholaullohhu
‘alihi wassalam mewasiatkan hal itu hanya kepada Abu Hurairah Rodhiallohhu
‘anhu, dan tidak kepada yang lainnya? Ya, Nabi Sholaullohhu ‘alihi wassalam selalu memberikan nasihat sesuai
dengan tuntutan keadaan dan kebutuhan orang yang dinasehati.
Oleh karena itu, Nabi juga pernah memberikan nasihat secara
khusus kepada Sahabat lain-selain Abu Hurairah Rodhiallohhu ‘anhu agar berbakti kepada kedua orang tuanya.
Nabi juga pernah menasihati Sahabat yang lain lagi dengan
‘sholatlah engkau seperti shalatnya orang yang akan meninggal dan janganlah berharap mendapatkan apa yang
dimiliki oleh orang lain.’
Nabi juga pernah menasehati Abdullah bin Umar Rodhiallohhu ‘anhu: Abdullah adalah laki-laki yang paling baik
seandainya dia mau bangun malam, dan masih banyak contoh lainnya.
Demikian pula di sini, Nabi mewasiatkan tiga hal tersebut
kepada Abu Hurairah karena hal-hal itulah yang sesuai dengan kondisinya, sebab
Abu Hurairah rodhiallhhu ‘anhu adalah
orang yang selalu mengisi waktunya untuk beribadah.
Segala yang diwasiatkan oleh Nabi Sholaullohhu ‘alihi wassalam pada dasarnya merupakan syi’ar (ciri)
bagi para penggiat ibadah. Dan pada hadist ini, beliau hanya mewasiatkan
beberapa bentuk ibadah yang minimal bisa dikerjakan oleh Abu Hurairah.
Rosulullah tidak ingin jika Abu Hurairah rodhiallohhu
‘anhu mengerjakan secara rutin semua jenis ibadah yang beliau perintahkan,
sebab hal itu bisa memberatkan dirinya. meskipun, seandainya beliau mewasiatkan
lebih banyak lagi, niscaya Abu Hurairah akan tetap melaksanakannya secara
rutin, sebagaimana yang dia lakukan terhadap wasiat ini.
Melalui wasiat ini, Nabi menjelaskan kepada Abu Hurairah
tentang tiga jenis amal ibadah yang lebih pas untuk dirinya, dan beliau
membiarkannya untuk melakukan ibadah-ibadah yang lain sesuai dengan
kemampuannya. Karena, pada hadist ini, Nabi Sholaullohhu ‘alihi wassalam membatasi ibadah minimal yang harus
dijaganya, sementara beliau tidak menyebutkan ibadah lainnya yang jauh lebih
banyak daripada yang dibatas itu.
Hal ini menunjukkan bahwa skala prioritas amal kebaikan
tidaklah sama antara satu orang dengan orang yang lainnya. Ada orang yang jika waktunya hanya diisi untuk
beribadah akan lebih baik baginya. Ada orang yang jika waktunya dipakai untuk
duduk bersama para ulama, belajar, membaca, dan berpikir akan lebih baik
baginya. Ada pula orang yang jika waktunya dimanfaatkan untuk berjihad akan
lebih baik baginya.
Dengan demikian, keutamaan suatu amal perbuatan tidak
dilihat dari amal itu sendiri, tetapi dari kondisi pelakunya. Karena Nabi Sholaullohhu ‘alihi wassalam tidak
membatasi dengan suatu jenis amal kebaikan saja, lalu mewasiatkannya kepada
umat Islam dari dulu hingga hari Kiamat kelak. Justru sebaliknya, beliau
mewasiatkan bagi setiap orang jenis amal kebaikan yang pantas untuk
dilakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.