Senin, 29 Agustus 2016

Impotensi Kecendekiaan

Apa yang membuat sebagian guru atau dosen kita sulit untuk produktif? Selain faktor internal seperti malas, sibuk, dan sebagainya. Mungkin ada faktor administrasi yang menumpuk dirasakan oleh tenaga pengajar di Indonesia.

Di satu sisi kita harus unggul dalam keilmuan, penelitian, dan melakukan pengabdian di masyarakat. Tapi, di sisi lain terkadang kita disibukkan dengan administrasi yang bagai sebagian guru atau dosen sangat menyita waktunya. Belum lagi, mereka harus membagi waktu untuk keluarga.

Apa dampaknya? 
Sebagian tumbuh semakin tangguh, tetapi sebagian yang lain tenggelam dalam arus. Kebanyakan mengalami impotensi kecendekiaan sehingga tidak mampu menghasilkan karya dan produktif dalam dunia keilmuan. Membaca buku jarang, mengikuti seminar tidak sempat karena jadwal mengajar dan peraturan sekolah yang ketat. Akhirnya pengembangan diri terhenti, padahal dunia terus berubah.

Akhirnya ini berdampak juga kepada para siswa dan mahasiswa yang lumpuh dalam berkarya. Bagaimana kita mengajarkan pembelajar untuk rajin membaca jika kita tidak rajin membaca. Kita berbicara pentingnya menulis tetapi kita tidak pernah menulis. Kita harus memiliki adab dan akhlak, tapi kita sendiri tidak pernah dipertontonkan bagaimana adab yang baik itu?

Mengapa semua ini bisa terjadi? Pertama bisa jadi karena sumber daya manusianya, sistem pendidikan kita menyumbang peran terhadap banyaknya orang yang mengalami impotensi kecendekiaan.

Salah satu sahabat saya di Program Magister mengajar di Sekolah Internasional, beliau menuturkan perangkat pembelajarannya sangat ramping, efektif, dan tidak ribet jika dibandingkan dengan yang dimiliki oleh guru pada umumnya.

Ada hal menarik yang saya tangkap dalam budaya keilmuan di Indonesia. Masih ada sebagian orang yang menganggap tingkat kecerdasan seseorang itu diukur dari kompleksitas, gaya bahasa yang tinggi, walaupun terkadang sulit dipahami. Sedangkan orang yang menggunakan bahasa yang sederhana, mudah ditanggkap, renyah, dianggap kurang intelek.

Faktanya, berdasarkan pengamatan saya, salah satu ciri-ciri orang-orang yang cerdas itu adalah mampu menyederhanakan sesuatu yang sulit. Mereka bisa menerangkan sesuatu yang sulit dipahami orang kebanyakan dengan bahasa yang mudah ditangkap oleh akal, menggunakan kosa kata yang ramah dengan telinga, akal, dan hati. Bukan malah menjadikan sulit dan kompelks sesuatu yang awalnya sederhana.

Bagaimana Solusi mengatasi Impotensi Kecendikiaan?
Salah satu point pentingnya adalah membangun kesadaran keilmuan. Dengan memiliki kesadaran keilmuaan, maka pelajar, mahasiswa guru atau dosen bahkan mayarakat secara umum gemar dan senang untuk belajar. Inilah salah satu misi dan tujuan Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Sekolah Pascasarjana UHAMKA.

Pengalaman selama kuliah, saya mengalami bagaimana sistem pendidikan di Sekolah Pascasarjana membangun hubungan antara spiritual dan ilmu, mahasiswa dan dosen. Kami merasa tidak berhadapan dengan dosen, melainkan seperti sedang berhadapan dengan orang tua.

Para Profesornya tidak pelit untuk meminjamkan buku-buku penunjang dan memberikan kisi-kisi materi ujian. Mereka sangat rendah hati, apalagi ketua prodinya, Prof. Dr. Hj. Sabarti Akhadiah, M.K. sangat mengayomi, memudahkan, tutur katanya halus dan lembut, humornya renyah, tapi tidak menghilangkan nilai-nilai keilmuan yang kaya akan referensi. Ketika umurnya 65 tahun, beliau masih belajar bahasa spanyol, selain bahasa yang telah dikuasai seperti bahasa inggris, jerman, arab, belanda, indonesia, minang, sunda, jawa.

Saya masih memiliki keyakinan, bahwa karakter itu tidak bisa diajarkan, tetapi hanya bisa ditularkan. Jika kita ingin siswa atau mahasiswa giat belajar, ya guru atau dosennya pun harus keranjingan belajar. Itu yang saya tangkap dari Dosen-Dosen di Pascasarjana UHAMKA.

Mereka (Para Dosen) tidak hanya memiliki keunggulan dalam keilmuan karena latar pendidikannya di dalam dan luar negeri, tetapi adabnya yang tinggilah yang membuat kami samakin terpikat dengan kepribadiannya.

Sebut saja, Prof. Dr. Dendy Sugono, P.U. yang selalu memulai perkuliahan dengan doa, di sela-sela memberikan perkuliahan terkadang menggungah kesadaran beragama untuk dekat kepada Sang Pencipta dan peduli terhadap kehidupan sekitar.

Mudah-mudahan dengan semangat belajar yang tinggi dan adab yang kita miliki, semakin berkuranglah orang-orang yang mengalami impotensi kecendikiaan.

Selain itu, kepada pengambil kebijakan bisa menyederhankan sistem administrasi yang harus dipersiapkan oleh guru atau dosen tanpa menghilangkan esensinya.

Foto : Success 

Jakarta,  25 Dzulqaidah 1437 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.