Begitu sulitkah
merajut persatuan? Kalau dulu semangatnya gotong royong & musyawarah,
sekarang trennya koalisi & tandingan.
Dalam
perjalanan hidup Manusia itu terus bertumbuh. Ada yang dari gelap menuju
terang, atau sebaliknya. Semakin hari semakin gelap. Kita semakin menuju zaman
kegelapan pikiran dan jiwa. Bebal dengan nasehat dan petunjuk.
Bukankah
kita diciptakan oleh Pencipta yang sama? Tahukah Anda apa keberhasilan yang
paling indah dalam hidup ini ? Adakah keberhasilan yang lebih indah
dibandingkan jika Allah sampai jatuh cinta kepada kita.
Dunia hari
ini terus bergejolak, negeri ini pun tidak bisa lari dari perubahan. Mereka
yang tidak tahan terhadap tantangan dan tekanan, tidak akan mencapai apa-apa.
Tapi bukan berarti kita saling tendang untuk menjadi yang terdepan.
Salah satu
faktor yang membuat kita sering meradang karena kita banyak tahu hal-hal diluar
diri kita dan sedikit tahu tentang siapa Pencipta Kita.
Andai kita
selalu ingat bahwa Tuhan tidak menciptakan sesuatu dengan main-main dan tanpa
fungsi dan tujuan, kita tidak akan mengalami keterbelahan kepribadian,
kekacauan identitas, kebingungan eksistensial.
Kalaupun
kita terbelah, kacau, dan bingung, itu adalah karena kita luput melihat
hakikat, fungsi, dan kedudukan hal-hal yang ada. Andai kita selalu ingat bahwa
asal semua hal adalah satu, seharusnya persatuan itu mungkin jika kita mampu
melihat hal-hal dengan perspektif kebersatuan. Diciptakan dari Satu Pencipta,
dan akan kembali kepada-Nya mempertanggungjawabkan seluruh nafas yang
diberikan-Nya.
Terus terang yang paling saya takutkan dari
kesuksesan adalah ketika dunia sudah dibentangkan dihadapan kita..kita mulai
lupa dengan hakikat siapa kita sebenarnya?
Berbicara
tentang pemerintahan, baru-baru saja kita menyaksikan terjadinya resuffle
kabinet. Anehnya, menteri yang cukup vokal dalam keberpihakan kepada rakyat
kecil, menolak proyek yang dianggap belum perlu malah diresuffle.
kita sering
mendengar persoalan ego sektoral itulah yang banyak terjadi di birokrasi
kita. Ego sektoral membuat kinerja
birokrasi kita lamban dan cenderung tumpang tindih. Saling lempar tanggung
jawab. Atau dalam dunia organisasi kita mengenalnya dengan ego kelompok.
Ashobiyah yang berlebihan sehingga mengikis persatuan antar elemen.
Dalam bidang
ilmu, ada pula egoisme keilmuan. Tak sedikit saya menemukan orang yang haus
sekali penghargaan dan pujian. iTapi, itulah faktanya, semakin tinggi ilmu
semakin tinggi ego, hanya sedikit yang selamat dari mempertuhankan otak, gelar,
dan kedudukannya. Pertanyaannya, sudah benarkah arah pendidikan kita selama
ini?
Prof. Dr.
Hj. Sabarti Akhadiah, M.K. sering mengingatkan kami bahwa tujuan pendidikan itu
bukan hanya menjadikan orang pintar secara intelektual, tetapi harus memiliki
akhlak dan berperadaban. Sayangnya, akhlak itu tidak dapat diajarkan, hanya
bisa ditularkan.
“Akhlak itu
bukan hanya ke samping (Manusia), tetapi ke atas (Pencipta), dan ke Bawah
(alam)” tuturnya.
Dalam agama,
ada egoisme ulama. Tidak sedikit kita menyaksikan sesama muslim saling
menghujat, mencaci, menipu, sesama muslim yang lainnya. Bahkan sampai pada
taraf ulama (menurut orang kebanyakan). Saya yakin ulama yang benar ilmunya
pasti memiliki rasa takut kepada Rabb-Nya. Tidak mungkin menkerdilkan orang
lain, hanya karena pribadinya.
Dalam
kehidupan sehari-hari, ada egoisme diri. Semua berlomba-lomba memperkaya diri,
tanpa pandang kiri dan kanan. Kehidupan di Ibu kota, jurang pemisah si kaya dan
si miskin cukup tinggi. bahkan untuk bertatap muka dengan tetangga sebelah
rumah pun tidak sempat.
Lalu saya
terus bertanya, apa yang menyebabkan kita (indonesia khususnya) membutuhkan
waktu yang cukup lama untuk bangkit dan maju?
ternyata
sekarang, saya tahu apa salah satu sebabnya: kita terlalu banyak mengenal diri
(bagian) kita sendiri, terlalu banyak tahu diri kita (bagian) sendiri, tetapi
sedikit mengenal orang (bagian) lain, apa hakikat keberadaannya, apa
kemampuannya, apa keahliannya, dan dari situ, apakah peran dan kedudukannya.
Setiap orang
memiliki peran penting dalam kehidupan ini. akan tetapi, saya lagi-lagi
bertanya, sudahkah kita benar-benar menganggap mereka penting jika keran impor
selalu kita buka? Lalu bagaimana nasib jutaan petani kita?
Lagi-lagi
kita dihadapkan antara ego dan persatuan. Yang mana kita pilih? Memilih ego
segelintir orang (Yang berkuasa dan pemilik modal) atau persatuan demi merajut
kebersamaan bersama rakyat? Memang kebijakan persatuan tidak populer. Mereka
akan terlempar jika tidak setuju dengan kebijakan sang penguasa.
Gambar : Linked
Jakarta, 27 Syawal 1437 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.