Beberapa waktu ini saya mendapatkan pesan baik melalui whats’app,
bbm, inbok facebook, email, dan sms. Intinya adalah menanyakan informasi
lowongan pekerjaan. Rata-rata yang bertanya adalah para sarjana. Pada kesempatan
lain, saya juga mendapatkan kiriman cerita dari salah seorang teman melalui WA.
Tentang pertemuan Mas Jamil Azzaini dengan salah seorang lelaki paruh baya yang
bernama Yadi Sudjatmiko.
Semoga kisah ini bisa menginspirasi kita semua, melecut
semangat kita untuk memiliki sesuatu yang berbeda, menghargai proses, memberikan sesuatu tanpa syarat, dan indahnya
bersinergi dengan ilahi.
Rabu malam kemarin, saya terbang dengan pesawat Garuda GA
324 Jakarta-Surabaya. Duduk di sebelah saya seorang bernama Yadi Sudjatmiko.
Lelaki paruh baya ini menuju Malang setelah menempuh perjalanan panjang dari
Oman. Ia bekerja di salah satu perusahaan minyak di sana. Satu bulan sekali ia
pulang ke Indonesia, berlibur satu bulan kemudian bekerja lagi satu bulan.
Banyak pelajaran yang saya peroleh dari lelaki yang telah
memiliki 3 orang anak ini. Pak Yadi hanya lulusan STM [Sekolah Teknik Menengah
setara SMA] tetapi kini ia bergaji besar mengalahkan sarjana teknik yang saya
kenal.
Apakah itu
diperolehnya dengan mudah? TIDAK.
Setelah lulus STM ia mencari pekerjaan ke Jakarta dan
Surabaya, namun yang ia dapatkan hanya jawaban, “Kalau cari kerja ke Kalimantan sana, jangan di kota besar.”
Maka, ia pun berangkat ke Kalimantan. Di Pulau Borneo itu
pak Yadi bekerja sebagai room boy di sebuah hotel kemudian berpindah sebagai
driver. Saat itu ia berpikir, “Ternyata
ijazah STM itu tidak ada artinya ya.Â
Untuk bekerja di perusahaan atau kantoran saya harus memiliki sesuatu
yang berbeda yang tidak mereka miliki dan lakukan. Tapi apa ya?”
Setelah berusaha mencari apa faktor pembeda itu, akhirnya ia
menemukannya yaitu bangun malam 2 jam sebelum subuh dan selalu melayani orang.
“Saya yakin sedikit sarjana yang bangun
malam dan sarjana yang senang melayani orang. Bangun malam saya mohon ampun dan
mohon pertolongan kepada Allah. Ditambah praktiknya siang hari, melayani orang
sebaik-baiknya,” begitu tutur pak Yadi kepada saya.
Beberapa bulan setelah ia mempraktikkan kebiasaan ini, ia
diterima bekerja di perusahaan minyak Total.
Dengan ketekunannya, ia menguasai keterampilan yang jarang dikuasai
orang, yaitu memasang alat-alat di dalam perut bumi. “Pekerjaan saya tidak terlihat tetapi gajinya sangat terlihat,”
ujarnya sambil tertawa.
Setelah bergaji besar iapun tidak lupa terus melayani orang
lain, baik di perusahaannya maupun di kampungnya. Untuk melayani masyarakat
sekitar, gajinya ia sisihkan untuk membeli sapi yang ia kerjasamakan dengan
para peternak dengan sistem bagi hasil atau “maro”.
Lelaki ini terus bercerita.
“Saya punya pengalaman menarik,
saat saya baik sangka, menolong dan melayani peternak saya mendapat balasan lebih
besar. Waktu itu salah satu sapi saya
mati, peternaknya ketakutan dan berjanji mengganti. Tapi saya katakan, tidak
usah mengganti, saya ikhlas. Saya pun memberinya lagi sapi untuk dipelihara. Hasilnya? Sapi yang dipelihara peternak itu
melahirkannya kembar terus. Luar biasa kan?”
Tak terasa, pesawat yang kami naiki mendarat di Bandara
Juanda, Surabaya. Sebelum berpisah ia menasihati saya, “Bangunlah setiap malam sebelum kebanyakan orang lain bangun, layanilah
orang tanpa berharap balasan. Gusti Allah ora sare [tidak tidur]. Kalau Anda
melakukan itu, Allah-lah yang akan melayani semua keperluan Anda. Enak kan?”
Saya kehabisan kata-kata, tertegun menatapnya hingga lupa
mengucapkan kata-kata yang sudah sepastasnya ia terima, “Terima kasih pak Yadi,
teman perjalananku, guruku.”
Membaca tulisan ini saya jadi teringat dengan salah satu
teman sebut saja inisialnya B, pendidikan terakhirnya SMA. Usianya 3 tahun di
atas saya, karena sejak kecil, rata-rata teman saya lebih tua. orangnya
tidak terlalu pintar tapi cerdas, satu-satunya modal yang paling menonjol
adalah mental positif yang ia miliki
berupa keberaniaan, tidak malu-malu melakukan suatu pekerjaan yang halal
dan keinginan yang kuat untuk belajar.
Mengawali kerjanya di sebuah perusahaan tambang di bengkulu,
dengan gaji Rp. 700.000. pekerjaan yang dianggap tidak berarti, mungkin
sebagian menggangap kuli. Tapi, ia tekun dan ingin berproses. Ditengah cibiran,
karena teman-temannya rata-rata sarjana. Mereka (baca: sarjana) lebih memilih
menganggur daripada bekerja sebagai kuli.
Beberapa bulan yang lalu, saya mendapatkan kabar yang luar
biasa tentang B. sekarang ia sudah di Makasar dan menjadi Menejer di salah satu
Perusahaan Pertambangan milik orang asing. Dengan gaji 10 juta, ditambah
fasilitas lainnya.
Bukan masalah gajinya yang ingin saya tekankan dari cerita
ini, tapi si B memiliki sesuatu yang berbeda yaitu Keberanian, tidak malu-malu
dan keinginan kuat untuk belajar. Sekarang ia, memimpin beberapa sarjana
sebagai stafnya. Dan keliling Indonesia untuk presentasi dengan para Investor
dan orang asing mengenai teknologi dan alat yang bagi para sarjana sekalipun
sulit untuk dimengerti.
Lengkap sudah kisah Pak Yadi dan B. mengajarkan kita bahwa
untuk berhasil kita harus memiliki sesuatu yang berbeda.
Sudahkah kita miliki sesuatu yang berbeda? Mari kita
berkomitmen hari ini untuk memberi nilai tambah dalam setiap pekerjaan kita.
Bengkulu, 12 Rabiul Akhir 1436 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.