Sudah jenuh
dengan hidup yang biasa-biasa saja? Bingung mau kemana mengarahkan kehidupan? Tiba-tiba
kehilangan energi di tengah jalan? Apa solusinya?
Sahabat,
seperti yang kita ketahui bersama bahwa Indonesia merupakan negara yang
memiliki populasi umat muslim terbesar di dunia. Bahkan Islam yang hadir
sebagai agama penutup dan penyempurna dari agama-agama yang sebelumnya memiliki
dampak dan pengaruh yang besar bagi setiap jiwa yang hidup, bagi setiap
manusia, hewan, tanah dan semua yang dinaunginya dalam rahmat, kasih, dan
keadilan ajarannya.
Pertanyaannya,
seberapa besar pengaruh nilai-nilai keimanan dan keislaman dalam diri seseorang
terhadap hidupnya? Sudahkah nilai-nilai itu mampu merevolusi akhlak, cara
berpikir, dan berucap kita?
Jika Seorang
Muslim diibaratkan seperti pelari maraton yang harus berlari dalam jarak jauh. Menurut
Anda, Apa yang seharunya ia lakukan? Tentu bagi yang sudah terlatih sebagai
pelari Ia akan berlaku efisien dalam mengelola setiap sumber daya yang
dimilikinya dan menjauhkan diri dari kemubaziran. Mengelola setiap nafas,
energi, waktunya untuk hal-hal yang terbaik.
Tulisan Terkait: Belajar dan Bertindak
Beberapa minggu
ini ada yang mengusik kesadaran saya tentang bagaimana cara kita dalam
melakukan efisiensi dalam hidup. selama ini mungkin kita akan diajarkan
bagaimana caranya membuat big dream(Impian yang besar) dan kemampuan mengolah pikiran, Goals, langkah-langkah
apa saja yang harus kita lakukan, dan seperangkat persiapan yang mendukung demi
tercapainya target yang kita buat. Semua ini penting, tetapi ada hal yang
penting yang harus kita lakukan. Apa itu? Mendaftar hal-hal yang seharusnya
tidak kita kerjakan alias mubadzir, tidak berguna.
Baca Juga: Mendesain Impian
Jika ingin
melakukan percepatan diri, tentu kita harus melakukan sesuatu yang positif,
bermanfaat, dan melakukan efisiensi. Artinya kita juga harus berusaha
meninggalkan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat bagi dunia, terlebih lagi
untuk kehidupan akhirat kita.
Suatu hari
di Masjidil Haram, seorang guru tengah menyampaikan ilmu kepada murid-muridnya.
Dengan lugas, jelas, dan komunikatif guru tersebut mengajarkan materi fikih,
mualamah, jinayah, dan hukum-hukum kriminal.
Namun ada
yang sedikit ganjil, ternyata Pak Guru tampak jauh lebih muda daripada
murid-muridnya. Bahkan, di tengah prosesi belajar mengajar ia minta izin kepada
murid-muridnya untuk minum, padahal siang itu adalah bulan Ramadhan. Kontan
saja ulahnya itu menuai protes. "Kenapa Anda minum, padahal ini Bulan Ramadhan?"
tanya para muridnya. Ia menjawab, "Aku belum wajib berpuasa."
Siapakah
Pak Guru yang terlihat nyeleneh tersebut? Ia adalah Muhammad bin Idris
Asy-Syafi'i, yang lebih kita kenal dengan Imam Syafi'i. Kita tak usaha heran
dengan fragmen di atas, karena pada usia yang belum baligh Imam Syafi'i sudah
menjadi seorang ulama yang disegani. Sebagai gambaran, pada usia sembilan tahun
ia sudah hafidz Alquran.
Pada usia
sepuluh tahun, isi kitab Al-Muwaththa karya Imam Malik yang berisi 1.720 hadis
pilihan juga mampu dihafalnya dengan sempurna. Dan pada usia 15 tahun ia telah
menduduki jabatan mufti kota Mekah. Kedudukan tersebut memungkinkan ia
memberikan fatwa dan mengajar di Masjidil Haram. Bahkan, di bawah usia 15 tahun
Imam Syafi'i telah dikenal mumpuni dalam bidang bahasa dan sastra Arab, hebat
dalam membuat syair, jago qiraat, serta memiliki pengetahuan luas tentang adat
istiadat Arab yang asli.
Demikianlah,
Imam Syafi'i berhasil melakukan lompatan-lompatan dan percepatan dalam
hidupnya. Bila orang lain bisa menjadi mufti dan berhak memberi fatwa di atas
usia 30-an, maka Imam Syafi'i mampu mencapainya pada usia 15 tahun. Artinya, ia
berhasil "menghemat" waktu selama 15 sampai 30 tahun. Sebuah prestasi
fenomenal dan sulit ditandingi siapapun. Begitupula dengan usaha menghafal
Alquran, bila orang lain mampu mencapainya dalam rentang usia 15-30 tahun, Imam
Syafi'i berhasil melakukannya 6 sampai 15 tahun lebih cepat.
Dari
gambaran tersebut, kita bisa memahami bahwa ada dua jenis usia. Yaitu usia
biologis; usia yang biasanya tertera dalam KTP atau tercatat di akta kelahiran,
dan usia keilmuan; usia kedewasaan atau usia produktif. Kedua jenis usia ini,
dalam kenyataannya belum tentu seiring seirama, tegak lurus, dan sebanding
antara satu sama lain. Ada yang usia biologisnya masih muda, tapi usia keilmuan
dan produktivitasnya sudah sangat dewasa. Namun ada pula orang yang usia
biologisnya sudah dewasa, 40-50 tahunan, tapi usia keilmuan dan kedewasaannya
masih anak-anak.
Jadi, yang
terpenting bukan berapa usia biologis yang kita miliki atau bukan seberapa
panjang waktu hidup kita di dunia, tapi seberapa panjang usia keilmuan dan
kontribusi kita pada umat.
Bagaimana dengan
usia biologis dan usia keilmuan kita? Sudahkah bersama pertambahan usia kita,
bertambah pula keilmuan, kebijaksanaan, ketaatan, kerendahhatian kepada sesama,
dan ketundukan kepada Sang Pencipta semakin terasah?
Apa yang
harus saya lakukan? In Syaa Allah besok akan kita bahas 7 langkah melakukanpercepatan diri.
Pesan untuk
saya pribadi dan sahabat semua. Yuk tetap pertahankan semangat belajarnya, agar
kita bisa melakukan percepatan diri. Setuju?
Tulisan Terkait: Bagaimana Cara Belajar di Abad Ke-21?
Gambar: Success
Tulisan Terkait: Bagaimana Cara Belajar di Abad Ke-21?
Gambar: Success
Jakarta, 29
Jumadil Awal 1438 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.