Sabtu, 25 Februari 2017

Percepatan Diri

Sudah jenuh dengan hidup yang biasa-biasa saja? Bingung mau kemana mengarahkan kehidupan? Tiba-tiba kehilangan energi di tengah jalan? Apa solusinya?

Sahabat, seperti yang kita ketahui bersama bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki populasi umat muslim terbesar di dunia. Bahkan Islam yang hadir sebagai agama penutup dan penyempurna dari agama-agama yang sebelumnya memiliki dampak dan pengaruh yang besar bagi setiap jiwa yang hidup, bagi setiap manusia, hewan, tanah dan semua yang dinaunginya dalam rahmat, kasih, dan keadilan ajarannya.

Pertanyaannya, seberapa besar pengaruh nilai-nilai keimanan dan keislaman dalam diri seseorang terhadap hidupnya? Sudahkah nilai-nilai itu mampu merevolusi akhlak, cara berpikir, dan berucap kita?

Jika Seorang Muslim diibaratkan seperti pelari maraton yang harus berlari dalam jarak jauh. Menurut Anda, Apa yang seharunya ia lakukan? Tentu bagi yang sudah terlatih sebagai pelari Ia akan berlaku efisien dalam mengelola setiap sumber daya yang dimilikinya dan menjauhkan diri dari kemubaziran. Mengelola setiap nafas, energi, waktunya untuk hal-hal yang terbaik.

Tulisan Terkait: Belajar dan Bertindak

Beberapa minggu ini ada yang mengusik kesadaran saya tentang bagaimana cara kita dalam melakukan efisiensi dalam hidup. selama ini mungkin kita akan diajarkan bagaimana caranya membuat big dream(Impian yang besar) dan kemampuan mengolah pikiran, Goals, langkah-langkah apa saja yang harus kita lakukan, dan seperangkat persiapan yang mendukung demi tercapainya target yang kita buat. Semua ini penting, tetapi ada hal yang penting yang harus kita lakukan. Apa itu? Mendaftar hal-hal yang seharusnya tidak kita kerjakan alias mubadzir, tidak berguna.

Baca Juga: Mendesain Impian

Jika ingin melakukan percepatan diri, tentu kita harus melakukan sesuatu yang positif, bermanfaat, dan melakukan efisiensi. Artinya kita juga harus berusaha meninggalkan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat bagi dunia, terlebih lagi untuk kehidupan akhirat kita.

Suatu hari di Masjidil Haram, seorang guru tengah menyampaikan ilmu kepada murid-muridnya. Dengan lugas, jelas, dan komunikatif guru tersebut mengajarkan materi fikih, mualamah, jinayah, dan hukum-hukum kriminal.

Namun ada yang sedikit ganjil, ternyata Pak Guru tampak jauh lebih muda daripada murid-muridnya. Bahkan, di tengah prosesi belajar mengajar ia minta izin kepada murid-muridnya untuk minum, padahal siang itu adalah bulan Ramadhan. Kontan saja ulahnya itu menuai protes. "Kenapa Anda minum, padahal ini Bulan Ramadhan?" tanya para muridnya. Ia menjawab, "Aku belum wajib berpuasa."

Siapakah Pak Guru yang terlihat nyeleneh tersebut? Ia adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i, yang lebih kita kenal dengan Imam Syafi'i. Kita tak usaha heran dengan fragmen di atas, karena pada usia yang belum baligh Imam Syafi'i sudah menjadi seorang ulama yang disegani. Sebagai gambaran, pada usia sembilan tahun ia sudah hafidz Alquran.

Pada usia sepuluh tahun, isi kitab Al-Muwaththa karya Imam Malik yang berisi 1.720 hadis pilihan juga mampu dihafalnya dengan sempurna. Dan pada usia 15 tahun ia telah menduduki jabatan mufti kota Mekah. Kedudukan tersebut memungkinkan ia memberikan fatwa dan mengajar di Masjidil Haram. Bahkan, di bawah usia 15 tahun Imam Syafi'i telah dikenal mumpuni dalam bidang bahasa dan sastra Arab, hebat dalam membuat syair, jago qiraat, serta memiliki pengetahuan luas tentang adat istiadat Arab yang asli.

Demikianlah, Imam Syafi'i berhasil melakukan lompatan-lompatan dan percepatan dalam hidupnya. Bila orang lain bisa menjadi mufti dan berhak memberi fatwa di atas usia 30-an, maka Imam Syafi'i mampu mencapainya pada usia 15 tahun. Artinya, ia berhasil "menghemat" waktu selama 15 sampai 30 tahun. Sebuah prestasi fenomenal dan sulit ditandingi siapapun. Begitupula dengan usaha menghafal Alquran, bila orang lain mampu mencapainya dalam rentang usia 15-30 tahun, Imam Syafi'i berhasil melakukannya 6 sampai 15 tahun lebih cepat.

Dari gambaran tersebut, kita bisa memahami bahwa ada dua jenis usia. Yaitu usia biologis; usia yang biasanya tertera dalam KTP atau tercatat di akta kelahiran, dan usia keilmuan; usia kedewasaan atau usia produktif. Kedua jenis usia ini, dalam kenyataannya belum tentu seiring seirama, tegak lurus, dan sebanding antara satu sama lain. Ada yang usia biologisnya masih muda, tapi usia keilmuan dan produktivitasnya sudah sangat dewasa. Namun ada pula orang yang usia biologisnya sudah dewasa, 40-50 tahunan, tapi usia keilmuan dan kedewasaannya masih anak-anak.


Jadi, yang terpenting bukan berapa usia biologis yang kita miliki atau bukan seberapa panjang waktu hidup kita di dunia, tapi seberapa panjang usia keilmuan dan kontribusi kita pada umat.

Bagaimana dengan usia biologis dan usia keilmuan kita? Sudahkah bersama pertambahan usia kita, bertambah pula keilmuan, kebijaksanaan, ketaatan, kerendahhatian kepada sesama, dan ketundukan kepada Sang Pencipta semakin terasah?

Apa yang harus saya lakukan? In Syaa Allah besok akan kita bahas 7 langkah melakukanpercepatan diri.

Pesan untuk saya pribadi dan sahabat semua. Yuk tetap pertahankan semangat belajarnya, agar kita bisa melakukan percepatan diri. Setuju?

Tulisan Terkait: Bagaimana Cara Belajar di Abad Ke-21?

Gambar: Success 

Jakarta, 29 Jumadil Awal 1438 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.