Novel ini
dibuka dengan mukadimah yang unik. Tere Liye menukil fakta sejarah nusantara di
tahun 1938. Salah satunya, Indonesia (yang masih bernama Hindia Belanda)
mengikuti Piala Dunia di Prancis untuk pertama kalinya. Seterusnya, sosok kapal
uap yang akan menjadi saksi seluruh cerita di novel setebal 544 ini mulai
digambarkan penulis. Untuk kemudian, Tere Liye menghadirkan satu persatu
tokoh-tokoh dalam novel ini.
Bukan hanya
berisi tokoh-tokoh yang menarik. Novel Rindu, meski hanyalah potret perjalanan
ke Tanah Suci di atas kapal uap milik Belanda, novel ini juga menyajikan
beragam konflik yang tidak pernah terduga. Diantaranya tragedi penyerangan
kapal oleh bajak laut dari Somalia, kapal yang terancam terkatung-katung di
laut lepas, seseorang yang mencoba membunuh Daeng Andipati, serta kasus yang
membuat Gurutta di penjara di sel kapal Blitar Holland.
Tere Liye,
dalam novel ini, sekaligus menyinggung beberapa isu, diantaranya seputar
toleransi beragama. Dikisahkan dalam perjalanan dari Kolombo menuju Jeddah,
para kelasi mengadakan perayaan Natal. Sebagaimana yang terjadi di masyarakat
tentang polemik Natal bersama dan mengucapkan selamat Natal. Dalam sebuah
dialog antara Daeng Andipati dengan Anna, Tere Liye menegaskan makna toleransi
dari sudut pandang yang lain.
“…tanpa
menghadiri acara itu, kita tetap menghormati mereka dengan baik, sama seperti
Kapten Philips yang sangat menghormati agama kita. Pun tanpa harus mengucapkan
selamat, kita tetap bisa saling menghargai. Tanpa perlu mencampur adukkan
hal-hal yang sangat prinsipil di dalamnya.” (hal. 499)
Di bagian
yang lain, Tere Liye juga mengkritisi tentang kisah-kisah takhayul serta
beragam pemberitaan hoax yang berceceran di media-media. Di mana diantara kaum
Muslimin menelan mentah-mentah berita seputar bayi lahir dengan Al-Quran kecil,
bayi lahir bisa bicara, ada asma Allah di awan, dan lain-lain sehingga mereka
lupa bahwa mukjizat paling besar ada di rumah mereka. Diletakkan di lemari, di
meja, dibiarkan berdebu tanpa pernah dibaca. (hal. 394)
Tiap
lantunan misteri kehidupan, pasti akan menjemput tanya. Pertanyaan-pertanyaan
inilah yang menjadi jantung dari novel ini. Lima pertanyaan kehidupan yang
meraup banyak hikmah diungkap secara apik oleh penulis. Pertanyaan-pertanyaan
tentang hakikat penyesalan, kebencian, perpisahan, kecintaan, dan pembuktian.
Inilah satu kekuatan dan kelebihan yang dimiliki novel ini.
Pertanyaan pertama
berbicara tentang penyesalan.
Penyesalan
Bounda Upe dan suami tercinta. Masa lalu yang ia jalani secara terpaksa, yang
semakin lama semakin mengikis rasa bahagianya. Masa lalunya sebagai mantan
seorang Cabo (pelacur) yang membayangi dan terus menggerus rona bahagianya.
Masa lalu yang membawanya pada penyesalan mendalam, hingga rasa itu memuncak
dan menghadirkan tanda tanya besar seiring perjalanan penting dalam hidupnya,
“Apa yang akan orang-orang pikirkan jika mereka tahu perihal masa lalunya?
Akankah ibadah hajinya kelak diterima?”
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut dijawab dengan lugas oleh Gurutta Ahmad Karaeng lewat tiga nasehat
sederhana:
Yang
pertama, kita keliru sekali jika lari dari sebuah kenyataan hidup. Yang kedua,
kecemasan kita terhadap orang lain itu tidaklah berguna. Hanya kitalah yang
tahu persis apakah tawa kita itu bahagia atau tidak. Hal ini tidak relevan
dengan penilaian orang lain. Yang ketiga, sebuah haji diterima atau tidak itu
hak Allah sepenuhnya. Kita hanya bisa berharap dan takut. Selalu berlaku baik
adalah kuncinya. Maka semoga esok lusa, ada satu perbuatan baik yang menjadi
sebab dosa kita diampuni.
Tampaknya
Penulis menguasai teknik berkomunikasi dengan baik dengan memberikan tiga point
jawaban agar mudah diingat oleh orang yang dinasehatinya.
Pertanyaan kedua
berbicara tentang kebencian.
Daeng
Andipati, pedagang termashyur pada zamannya yang memiliki kisah memilukan di
balik topeng dirinya kini yang nampak berbahagia. Sebuah kebencian mendalam,
akan sebuah hubungan yang seharusnya menghadirkan kebahagiaan. Batinnya terus
menjerit, meski kisah itu kini hanyalah berupa masa lalu. Ayah yang dibencinya,
yang merampas hari bahagianya sedari kecil telah 5 tahun lalu meninggal dunia.
Hingga kini muncul pertanyaan yang terus menggentayangi, “Apa yang salah dengan
dirinya? Akankah perjalanan suci ini diterima, dengan membawa bongkahan
kebencian yang terus membelenggu dirinya?”
Gurutta
Ahmad Karaeng kembali menjadi tokoh yang menandaskan tanya-tanya itu dengan
tiga lantunan nasehat: Yang pertama, saat kita membenci orang lain sebenarnya
kita sedang membenci diri kita sendiri. Yang kedua, saat kita memutuskan
memaafkan seseorang itu bukanlah persoalan orang itu salah atau benar. Kita
memutuskan melakukannya karena memang kita layak memperoleh kedamaian dalam
hati kita. Yang terakhir, kesalahan itu ibarat coretan pada sebuah halaman
kosong. Penghapus secanggih apapun yang digunakan untuk menghapusnya, pasti
akan menyisakan bekasnya. Hanya satu yang dapat kita lakukan untuk
menghilangkannya, yaitu dengan membuka lembaran kertas putih baru.
Baca
selengkapnya bagaimana kisahnya juga untuk menempuh pendidikan tanpa bantuan
ayahnya. Dengan bekerja sampingan sambil belajar di negeri orang.
Pertanyaan ketiga
berbicara tentang perpisahan
Salah satu
yang menyisakan kepedihan mendalam pada sebuah kebersamaan panjang penuh
romantika kehidupan. Perpisahan yang sempat disesali, mengapa harus datang saat
puncak dari pundi-pundi bahagia kebersamaan mereka nyaris tergenapi. Ialah Mbah
Kakung, yang harus menghadapi kenyataan bahwa sang kekasih hati telah
mendahuluinya ke hadapan Ilahi Robbi. Hingga muncul tanya dalam hati, “Mengapa
semua itu harus terjadi saat ini?”
Gurutta
Ahmad Karaeng kembali menjabarkan nasehatnya lewat tiga perkara: Yang pertama,
Allah memberikan yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Segala hal yang
kita anggap buruk, boleh jadi itu baik untuk kita. Begitupun sebaliknya. Kita
hanya bisa menerimanya dengan lapang hati. Yang kedua, biarkan waktu yang
mengobati kesedihan itu. Ketika kita tidak tahu harus melakukan apalagi, maka
itulah saatnya untuk membiarkan waktu menjadi obat terbaik. Yang ketiga,
mulailah memahami kejadian ini dari sudut pandang yang berbeda. Lihatlah dari
genapnya amal Mbah Putri di dunia, tidak dari satu sudut pandang saja. Apalagi
waktu sholatlah yang menjadi akhir dari perjalanan hidupnya.
Pertanyaan keempat
berbicara tentang kecintaan.
Kecintaan
seorang pemuda yang menyukai seorang gadis bertahta, namun takdir tidak kunjung
merestui kebersamaan mereka. Ialah Ambo Uleng, pemuda yang terus lari dari
kehidupannya hanya untuk pergi dari rasa cintanya yang mendalam. Namun semakin
ia pergi, bayang itupun semakin menghampiri. “Lalu, apakah ini yang disebut
dengan cinta sejati?”
Gurutta
Ahmad Karaeng kembali menuntaskan tanya tersebut dengan jawaban sederhana: Yang
pertama, cinta sejati adalah melepaskan. Semakin sejati perasaan itu, semakin
tulus kau melepaskannya. Jika wanita itu adalah cinta sejatinya, maka ia pasti
akan kembali dengan cara yang mengagumkan. Jika dia tidak kembali, maka
sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu (Hal 492). Cinta yang baik selalu
mengajari kau agar menjaga diri, tidak melanggar batas, tidak melewati kaidah
agama. (Hal 493)
Yang kedua, jika harapan itu tidak kunjung
terwujud, maka teruslah memperbaiki diri, dan sibukkanlah diri dengan belajar.
Sekali kita mampu mengendalikan harapan dan keinginan memiliki, maka sebesar
apapun wujud kehilangan, kita akan siap menghadapi.
Pertanyaan kelima
berbicara tentang pembuktian.
Pembuktian
akan adanya iman yang menyala-nyala dalam menegakkan keyakinan dalam hati.
Pembuktian akan kuatnya cinta, namun sejauh ini masih terbatas pada doa dan
kata-kata saja. Di sana, komitmen juang pun dipertanyakan.
Pertanyaan
kelima justru berasal dari Gurutta Ahmad Karaeng yang sejak awal menjadi sumber
penawar gejolak jiwa para tokoh justru menjadi penutup dari tanya-tanya itu.
Ambo Uleng, yang dangkal ilmunya, seketika paham. Dia pulalah yang menjawab
pertanyaan Gurutta Ahmad Karaeng, "Haruskah ada yang terluka?" Kita
tidak akan bisa meraih kebebasan tanpa peperangan, jawab Ambo sederhana.
Pertanyaan
ini sebagai buah dari peristiwa menegangkan yang terjadi di dalam kapal di
penghujung jalan cerita novel ini. Sebuah perompakan kapal besar "Blitar
Holland" oleh perompak dari Somalia. Hingga akhirnya sebuah strategi jitu
perlawanan yang dicetuskan Ambo Uleng berhasil menyelamatkan kapal dari insiden
perompakan. Kejadian itu sekaligus pembuktian akan jati diri Ambo sebagai
pelaut berpengalaman dan tangguh, bukan pemuda diam tak punya semangat hidup, demikian
pandangan orang lain yang mengenal Ambo di dalam kapal. Bagi Gurutta Ahmad
Karaeng, hal ini juga sebagai pembuktian dari kutipan kajian yang pernah ia
kumandangkan di atas kapal, bahwasanya kita tidak bisa melawan kemungkaran
hanya dengan benci dalam hati atau ucapan-ucapan lembut saja.
Jakarta, 26
Jumadil Awal 1438 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.