Beberapa malam yang
lalu, saya sangat dikagetkan dengan salah satu sikap dalam sebuah forum. Beliau
bukanlah orang yang asing bagi saya, tapi tiba-tiba dalam agenda rapat, beliau
menaikkan nada suaranya, bangun dari tempat duduknya, lalu menarik tangan salah
satu peserta forum.
Tentu kejadian itu
memecah suasana yang awalnya khidmat dan tenang. Tetapi, saya berusaha
menenangnya, mungkin kekesalan yang beliau tumpahkan malam itu karena kemarahan
yang telah terpendam begitu lama.
Saya bertanya dalam
hati, sekelas ustadz besar seperti itu saja tidak bisa mengendalikan diri,
padahal anak SD bahkan TK tidak sedikit yang tahu La Taghdob walakal Jannah
(Jangan marah, bagimu surga).
Kebanyakan manusia (khususnya umat muslim)
menilai agama dari seberapa sering orang melakukan ritual seperti sholat dll.
Agama bukanlah sekedar ibadah ritual; banyaknya hafalan, hitamnya jidat,
panjangnya jenggot, lebarnya kerudung.
Agama itu ada di dalam hati, melebur hingga
menjadi satu kesatuan dalam diri manusia. Menjadi cara berpikir, cara
berbicara, cara berperilaku, semuanya termanifestasi menjadi perilaku
keseharian.
Kemarin saya sudah berusaha untuk mendamaikan keduanya, sesuai dengan tuntunan agama. Tapi, saya yakin bahwa pihak yang tersakiti tentulah sulit untuk memafkan. Walaupun dia sering disebut Ustadz sekalipun yang mengetahui dan sering mengajarkan tentang pengendalian diri, keutamaan bersabar, memaafkan, dll.
Alhamdulillah kedua belah pihak sudah saling
berkirim pesan dan menyatakan penyesalannya. Tapi, tetap saya sikap lebih
menunjukkan kondisi seseorang yang sebenarnya daripada lisannya.
Permasalahan memaafkan
sangat berkaitan dengan penjelasan Imam Al-Ghazali mengenai ilmu jiwa yang
harus difokuskan untuk mengarahkan empat kekuatan dalam diri manusia. Yakni
kekuatan ilmu, kekuatan keberanian (syaja’ah), kekuatan amarah dan kekuatan
keadilan. Maka jiwa yang sehat akan terwujud, jika keempat kekuatan tersebut
terarah dan terbina dengan baik.
Pertama, kesalahan dan
kehilafan manusia dikarenakan tak tahu ilmunya. Maka disinilah peran kekuatan
ilmu yang akan membuat kita tahu mana perbuatan yang terpuji dan tercela. Hal
ini akan membantu untuk menjaga akal manusia yang digunakan sebagai pusat
pengambilan keputusan selain hati.
“Barang siapa yang
sudah hilang kemauan untuk mencari Ilmu, maka orang itu ibarat orang yang habis
seleranya untuk memakan makanan yang baik. Sebab kebahagiaan hakiki adalah
hakekat spiritual yang kekal, keyakinan pada hal-hal mutlak tentang hakikat
alam, identitas diri dan tujuan hidup,”
Kedua, kekuatan
syaja’ah’ (keberanian) menahan keinginan untuk mempertahankan kehormatan atau
derajat manusia. Banyak orang yang ketika emosi itu lupa masa depan, sampai
memutuskan tali silaturrahim dengan orang lain. Keinginan itu bisa dikendalikan
apabila disimpan di belakang kebutuhan.
Ketiga, kekuatan
amarah. Hal ini diarahkan untuk mengendalikan kekuatan amarah dalam hal positif
sehingga bisa mencapai kesabaran dan keberanian. Muhammad SAW mengajarkan do’a
yang baik. “Umat Rasul akan berdo’a seperti ini: ya Allah ya tuhanku ampuni
dia, sesungguhnya dia belum tahu dan ajarkan dia,”
Keempat, kekuatan
keadilan. Manusia harus mampu mengendalikan antara ruh dan jasad. Setiap
perilaku ataau tindakan diri bisa sesuai antara apa yang ada di dalam ruh dan
apa yang diaplikasikan dengn jasad.
Al-Ghazali menjelaskan
bahwa kerelaan memaafkan orang yang telah menzaliminya adalah kesabaran dan
keberanian (syaja’ah) yang sempurna. Sedangkan kesediaan untuk tetap menjalin
silaturrahim terhadap orang yang sudah memutuskan tali persaudaraan adalah
wujud dari ihsan yang sempurna.
Saya pun mengalaminya,
ketika seseorang membatalkan janjinya sepihak dalam sebuah kontrak bisnis,
sedangkan ditangan saya masih ada pekerjaan beliau yang harus saya selesaikan. Jika
menuruti nafsu, saya akan menginggalkan pekerjaan itu dan membalas dengan
tindakan yang sama. Tetapi, berkat rahmat Alloh, Al-Qur’an yang selalu saya
baca, sunnah Nabi yang saya pelajari, saya harus tetap berlaku adil dan berbuat baik kepadanya, walupun
dalam keadaan kecewa.
Itulah islam yang
mengajarkan keadilan walaupun dalam kemarahan. Saya bersyukur atas nikmat iman
dan ilmu yang Alloh berikan yang menghujam di hati. Pelajaran berikutnya, yang
saya tangkap dari peristiwa saudara saya, adalah padatnya jadwal ternyata
membuat kita tidak sensitive lagi dengan perasaan orang lain.
Solusinya bisa di baca di sini Pentingnya waktu dalam islam
Solusinya bisa di baca di sini Pentingnya waktu dalam islam
Sahabat, ciri orang
berakal itu adalah memaafkan, karena itu akan kembali ke dirinya. Orang yang
tidak memaafkan akan mempersulit dan membuat masalah bagi dirinya sendiri.
Maka untuk bisa
memaafkan bisa juga menggunakan cara yang pertama, mulai dari memaafkan dari
diri sendiri dan belajar meminimalisir balasan-balasan atas perbuatan orang
lain. Karena hal ini akan membuat jiwa kita menjadi tenang dan akan baik untuk
kesehatan diri.
Jika itupun terasa
berat, bayangkanlah bahwa kita juga bisa melakukan kesalahan yang sama, bahkan
lebih buruk dari yang pernah dilakukan orang itu. Sehingga kita bersimpati dan
empati terhadap kondisi labil yang sedang ia alami.
"... Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Alloh mengampunimu? dan Alloh Maha Pengampun, Maha Penyayang." (Q.S. An-Nur: 22)
“Ingatlah hukum
kausalitas (sebab-akibat) itu ada, bahwa segala sesuatu yang kita pilih ada
akibatnya, semua akan kembali kepada diri sendiri. Jadi pikirkanlah dengan baik
sebelum berbuat. Lain halnya dalam kebaikan, janganlah ragu untuk melakukan
suatu kebaikan,” pungkas ustad Yani.
Maaf - Memaafkan adalah
dua hal yang membaikkan diri dan orang lain.
"Memberi maaf
menambah kemuliaan, rendah hati menambah ketinggian, harta tidak akan berkurang
karena sedekah"
Bengkulu, 21 Jumadil
Awal 1436 H
Hamba Alloh Yang
Mengharapkan Ridho dan Ampunan-Nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.