Buku ini
tergolong kitab klasik karena merupakan kumpulan nasihat dari delapan ulama
besar Islam, yaitu: Imam al-Harits al-Muhasibi, Syekh Abu Thalib al-Makki, Imam
al-Ghazali, Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani, Syekh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari,
Imam Yahya al-Yamani, Syekh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dan Syekh Muhammad ‘Ali
al-Birgawi, tentang rezeki.
Sahabat,
urusan rezeki itu bukan hanya urusan kepintaran, karena ada saja orang yang
pintar tetapi rezekinya terbatas. Urusan rezeki juga bukan hanya soal fisik
yang sehat, tapi bagaimana seseorang mendapatkan rezeki dengan Sikap hati yang
benar. Itulah mutiara yang hilang dari kehidupan banyak orang.
Sikap hati
adalah asal-muasal persoalan rezeki, bagaimana kita memaknai apa-apa yang
sampai kepada kita, apakah kurang, cukup, atau lebih, apakah sulit dan seret,
atau mudah dan lancar, dan bagaimana kita menyikapinya, apakah mensyukurinya
atau mengeluhkannya, apakah tetap di jalan yang halal atau justru haram, apakah
bersikap tenang atau mencemaskannya.
Ibnu
‘Atha’illah menasihatkan, “Tenanglah soal rezeki.” Tapi, bagaimana dapat tenang
jika kenyataannya semua serba kurang, kerja apa-apa susah, kebutuhan hidup
semakin banyak… bla bla bla. Stop. Itulah masalahnya. Kita ragu pada Allah Yang
Mahatahu kebutuhan kita. Meragukan Allah adalah dosa yang paling berbahaya,
sedangkan ketaatan yang paling disukai adalah yakin kepada-Nya. “Pintu rezeki
itu terletak pada ketaatan kepada Sang Pemberi Rezeki.” (hlm. 22)
Lebih
lanjut, Ibnu ‘Atha’illah mengajarkan tentang 10 cara yang baik untuk meminta dan
mencari rezeki:
1. Mencari
rezeki dengan penuh perhatian sampai-sampai melupakan Allah bukanlah cara yang
baik. Sebaliknya, cara mencari rezeki yang baik adalah yang tidak melalaikanmu
dari Allah.
2. Mencari
rezeki yang baik adalah meminta kepada Allah Swt., tanpa menetapkan batasan,
sebab, dan waktunya sehingga Dia akan memberikan apa yang Dia Kehendaki, dengan
cara yang Dia Kehendaki, dan di waktu yang Dia Kehendaki. Itulah etika meminta
rezeki.
Jangan
meminta untuk dikeluarkan dari satu keadaan dan dialihkan ke keadaan yang lain.
Jika kau menyadari bahwa Dia mengetahui keadaanmu, namun kau terus meinta agar
dialihkan ke keadaan lain, maka permintaanmu itu termasuk adab yang buruk
kepada Allah.
Bersabarlah…
karena dikhawatirkan permintaanmu dikabulkan namun kau tidak merasa tenang
dalam keadaan itu. … Keadaan itu sesungguhnya merupakan hukuman karena memilih
dan mengatur untuk diri sendiri.
Baca juga: Kebaikan Dibalik Tertundanya Pengabulan Doa
3. Meminta
rezeki yang baik adalah memintanya kepada Allah Swt. dan jangan jadikan apa
yang engkau inginkan sebagai tujuan doamu. Permintaan itu sesungguhnya hanyalah
sarana untuk bermunajat kepada-Nya.
4. Mencari
rezeki yang baik adalah dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa jatahmu telah
ditetapkan dan akan mendatangimu, bukan permintaan dan usahamu yang
mengantarkanmu kepadanya.
5. Meminta
rezeki yang baik adalah meminta kepada Allah sesuatu yang bisa mencukupimu,
bukan yang melenakanmu. Jangan menghendaki sesuatu secara berlebihan. Nabi Sholaullohhu ‘alaihi wassalam.
mengajarkan doa yang baik, “Ya Allah, jadikanlah makanan keluarga Muhammad
sekadar bisa mencukupi.” Tercelalah orang yang meminta lebih dari cukup.
6. Bentuk
meminta rezeki yang baik bisa dengan cara meminta bagian dunia. Allah
berfirman, “… Dan di antara mereka ada yang berdoa, ‘Ya Tuhan kami, berilah
kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat…” (QS 2: 201).
7. Bentuk
meminta dengan baik adalah meminta tanpa meragukan jatah yang diberikan Tuhan
serta tetap menjaga diri dari segala sesuatu yang dilarang.
8. Bentuk
meminta dengan baik adalah meminta tanpa menuntut untuk segera dikabulkan. Nabi
Saw. melarang tingkah semacam itu, “Doa kalian pasti dikabulkan selama tidak
berkata, ‘Aku telah berdoa tetapi belum juga terkabul.'”
Tulisan Terkait: Bersabarlah Menunggu Terkabulnya Doa
9. Meminta
rezeki dengan baik adalah meminta dan bersyukur kepada Allah jika diberi, dan
menyadari pilihan terbaik-Nya jika tidak diberi.
Baca juga:
Keputusan-Nya Pasti Lebih Baik.
10. Meminta
rezeki dengan baik adalah meminta kepada-Nya agar kau berpegang pada
pembagian-Nya yang telah ditetapkan, tidak kepada permintaanmu. Selain itu,
ketika kau meminta, tetapkanlah dalam benakmu bahwa kau tidak layak
mendapatkannya. Orang semacam ini sangat pantas mendapat pemberian Tuhan. Syekh
Abul Hasan berkata, “Ketika meminta sesuatu, kuletakkan dosaku di hadapanku.”
Maksudnya adalah agar ia tidak meminta kepada Allah dengan perasaan layak
atasnya. Namun, ia hanya meminta datangnya karunia Tuhan lewat karunia-Nya
pula.
“Orang mudah risau soal rezeki bila ia memandang rezekinya bergantung pada usahanya atau usaha orang lain. Ini memang soal cara memandang, bukan soal cara hidup. Anjuran untuk yakin bahwa Allah sudah menjamin rezeki bukanlah berarti anjuran untuk tidak berusaha. Seseorang akan lebih mudah tauhidnya, lebih tenang dan optimis hidupnya, bila memandang rezekinya bergantung sepenuhnya pada Allah. Temanilah setiap usaha dengan cara pandang ini. Kalau tidak, kita akan mudah cemas, pesimis, dan putus asa.” (hlm. 129).
Salah seorang psikolog husna memberikan pandangan yang cukup menarik “Psikologi yang humanis “memberikan kekuasaan” yang besar pada manusia. Orang dibuat meyakini bahwa apa-apa dalam hidup ini tergantung pada dirinya yang merupakan agen kehidupan, penanggung jawab kehidupan. Jika ingin mencapai apa yang diinginkan, kesuksesan apapun itu, termasuk kesuksesan material dan finansial, berusahalah sekuat mungkin. Besarnya usaha, kegigihan, dan ketekunan berbanding lurus dengan hasil. Dari sudut pandang psikologi, itu benar, tetapi bukan itulah yang diajarkan agama. Apa yang kita lakukan itu sekedar sebuah cara hidup, cara kita bekerja, bukan cara kita memandang hidup dan memaknainya.
“Orang mudah risau soal rezeki bila ia memandang rezekinya bergantung pada usahanya atau usaha orang lain. Ini memang soal cara memandang, bukan soal cara hidup. Anjuran untuk yakin bahwa Allah sudah menjamin rezeki bukanlah berarti anjuran untuk tidak berusaha. Seseorang akan lebih mudah tauhidnya, lebih tenang dan optimis hidupnya, bila memandang rezekinya bergantung sepenuhnya pada Allah. Temanilah setiap usaha dengan cara pandang ini. Kalau tidak, kita akan mudah cemas, pesimis, dan putus asa.” (hlm. 129).
Salah seorang psikolog husna memberikan pandangan yang cukup menarik “Psikologi yang humanis “memberikan kekuasaan” yang besar pada manusia. Orang dibuat meyakini bahwa apa-apa dalam hidup ini tergantung pada dirinya yang merupakan agen kehidupan, penanggung jawab kehidupan. Jika ingin mencapai apa yang diinginkan, kesuksesan apapun itu, termasuk kesuksesan material dan finansial, berusahalah sekuat mungkin. Besarnya usaha, kegigihan, dan ketekunan berbanding lurus dengan hasil. Dari sudut pandang psikologi, itu benar, tetapi bukan itulah yang diajarkan agama. Apa yang kita lakukan itu sekedar sebuah cara hidup, cara kita bekerja, bukan cara kita memandang hidup dan memaknainya.
Disarikan dalam
buku “Agar Rezeki yang Mencarimu bukan
Kau yang Mencarinya”
Gambar: Islamedia
Jakarta, 16 Jumadil Akhir 1438 H
Gambar: Islamedia
Jakarta, 16 Jumadil Akhir 1438 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.