Sahabat
yang dirahmati Allah, minggu lalu kita telah membahas bagaimana profil Ka’ab
bin Malik RadhiAllahu’anhu, beliau
ialah salah satu sosok sahabat Nabi Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam yang pernah mengikuti bai’at Aqobah,
janji setia kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa Sallam. Namun khilaf luput mengikuti ajakan perang Tabuk oleh Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa Sallam.
Dialah
Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu,
sosok pahlawan di perang Tabuk, walaupun dirinya tidak mengikuti perang Tabuk
tersebut. Dialah sosok inspirator. Khususnya inspirasi bagi orang-orang yang
telah melakukan kesalahan di masa lalunya, inspirasi bagi orang yang memilih
bangkit dari kesalahannya, inspirasi bagi orang yang ingin memperbaiki ‘raport
merahnya’.
Sebagaimana
telah kita bahas pada pekan yang lalu, kekhilafan Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu, tidak mengikuti perang
Tabuk karena dua kesalahan fatal yang dilakukannya;
(1) Dirinya
terlalu mengandalkan kemampuan dan prestasi diri dan
(2) Dirinya
menunda-nunda pekerjaannya sehingga tiba waktunya dirinya ketinggalan rombongan
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam
ke Tabuk.
Ka’ab
menceritakan kisahnya pada hadits yang panjang diriwayatkan oleh Imam Bukhari;
– yang telah kami publikasikan pekan lalu (baca kisahnya pada bagian # 1) -,
bahwa begitu banyaknya sahabat dan partisipan kaum muslimin yang berangkat ke
perang Tabuk, Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa Sallam belum tersadar kalau Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu tidak ikut, hingga Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam tiba di Tabuk.
Karena
begitu tiba di Tabuk, Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa Sallam menanyakan kabar keadaan Ka’ab. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam memang
dikenal sebagai pribadi yang hangat dan penuh perhatian kepada
sahabat-sahabatnya.
“Apa yang
dilakukan oleh Ka’ab bin Malik?”
Sejurus
kemudian sontak seorang dari golongan Bani Salimah menjawab:
“Ya
Rasulullah, ia ditahan oleh pakaian indahnya dan oleh keadaan sekelilingnya
yang permai pandangannya.”
Disinilah
momen terbangun bagaimana Ka’ab lengah dengan dunia. Dirinya dianggap lebih
mencintai dunia, daripada berperang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ka’ab
lengah sehingga sibuk dengan dunianya, sibuk dengan panen kurma yang melimpah,
sibuk dengan bersantai, dan sibuk menikmati nikmat dunia di Madinah, daripada
berjalan ratusan kilometer dalam cuaca panas yang ekstrim.
Mendengar
jawaban yang menyudutkan Ka’ab tersebut, Mu’az bin Jabal RadhiAllahu’anhu langsung berkata:
“Buruk
sekali yang kau katakan itu. Demi Allah ya Rasulullah, kita tidak pernah
melihat keadaan Ka’ab itu kecuali yang baik-baik saja.”
Inilah
pelajaran bagi kita, lihat bagaimana karakter kesetiakawanan para sahabat.
Mereka tetap membela saudaranya ketika mendengar sesuatu yang buruk mengenai
saudaranya. Anak muda yang ngaku beriman harus bersuara membela ketika
saudaranya dighibahi, sebagaimana Mu’az bin Jabal RadhiAllahu’anhu bersuara membela Ka’ab.
Tindakan
membela saudaranya ini tak lain karena mereka mengamalkan salah satu hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam;
“Barang siapa
membela daging (kehormatan) saudaranya dari gunjingan orang lain, maka Allah
pasti akan membebaskannya dari Neraka.” [HR. Ahmad]
Itulah
karakter muslim sejati. Jika ada saudara, teman, kerabatnya sedang dijelekin,
jangan kita pilih diam. Apalagi janganlah kita menikmati. Atau lebih parah;
jangan sampai malah kita ikut menghabisi daging saudara kita sendiri dengan
ikut-ikutan menggibahinya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
telah bersabda:
“Barang siapa yang
tidak membela saudaranya sesama muslim pada saat kehormatan dan harga dirinya
dilecehkan, maka Allah pasti tidak akan membelanya pada saat pertolongan Allah
sangat diharapkan.” [HR. Abu Dawud & Imam Ahmad].
Kita
kembali ke kisah Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu,
mendengar dua versi ucapan orang-orang sekelilingnya, Nabi terdiam. Nabi tidak
membenarkan ucapan Mu’az bin Jabal RadhiAllahu’anhu,
namun tidak membela pula statement sebelumnya.
Sejurus
kemudian dalam terdiamnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, muncul
sesosok yang memakai jubah putih menembus oase pada saat itu. Melihat sosok
tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam menyampingkan sejenak perihal Kaab, lalu menaruh atensi penuh
kepada orang yang sedang mendekat ke dirinya.
Dialah Abu
Khaitsamah al Anshari RadhiAllahu’anhu.
Tentunya ada hal yang luar biasa dari sosok Abu Khaitsamah al Anshari RadhiAllahu’anhu, hingga-hingga
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sejenak tak menghiraukan perihal Ka’ab
dan menaruh perhatian ke Abu Khaitsamah al Anshari RadhiAllahu’anhu.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda:
“Engkaukah
Abu Khaitsamah?”
Dialah
memang Abu Khaitsamah al Anshari, orang yang pernah bersedekah dengan sesha’
kurma untuk mendukung perang Tabuk, sekalipun dicibir orang-orang munafik.
Sekalipun dicaci orang, sekalipun dicela orang, Abu Khaitsamah tetap menegakkan
amalan sedekah sesuai dengan kemampuannya dan dengan hati yang ikhlas.
Ya, itulah
ciri orang munafik. Hanya bisa comment namun miskin amal. Demikiannya kita
hidup di era yang mudah melempar komentar. Namun sedikit berbuat. Demikiannya
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
berfirman dalam surat At Taubah ayat 79:
Allah
Ta’ala berfirman yang artinya:
“(Orang-orang
munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi
sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk
disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu
menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka
azab yang pedih.” (QS: At Taubah:79)
Selain itu,
tindakan Abu Khaitsamah al Anshari RadhiAllahu’anhu
membuahkan penegakkan prinsip di atas agama. Dirinya tidak terpengaruh apapun
kata orang sekelilingnya. Pantas adanya jika kita mengambil keteladanan sikap
ini; janganlah kita mudah terpengaruh omongan orang lain. Tidak perlu kita
sampai diperbudak opini yang tidak jelas. Karena pada prinsipnya kita sudah
memiliki trendsetter yang jelas,
yakni teladan kita Muhammad bin Abdillah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam.
Tak sampai
disitu, Abu Khaitsamah sempat tergoda untuk kembali ke Madinah karena panas dan
beratnya medan yang akan dilalui dalam perjalanan ke Tabuk. Namun serta merta
benaknya berteriak meluruskan kembali niatnya, sehingga mantap kembali menyusul
ke Tabuk sampai mendapatkan senyum dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di oase pada daerah Tabuk.
Itulah
karakter mukmin sejati. Orang yang bijak adalah orang bisa bangkit dari
keterpurukan khilaf dosa. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman yang
artinya:
“Dan bersegeralah
kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit
dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang
yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang
apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat
akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS: Ali Imran:
133-135).
Itulah Abu
Khaitsamah, teladan untuk orang-orang yang apabila yang mengerjakan dosa yang
besar, atau dia mendzalimi dirinya sendiri. Langsung kembali ke Allah Jalla
Jalaluhu. Tidak mau terpuruk dosa lama-lama. Memilih bangkit dan move-on dari dosa dengan taubat
sebaik-baik taubat.
Sejenak
dari sekilas kisah Abu Khaitsamah RadhiAllahu’anhu,
kita kembali ke kisah Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu.
”Setelah
ada berita yang sampai di telingaku bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam telah menuju kembali dengan kafilahnya
dari Tabuk, maka datanglah kesedihanku..”
Ka’ab
mengalami kesedihan. Demikian singkatnya perang Tabuk, sehingga dirinya gagal
menyusul dan mendapat kabar rombongan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam telah kembali ke Madinah.
Singkatnya
durasi perang Tabuk, karena di medan perang tidak ada adu pedang. Karena di
Tabuk tidak ada adu tombak dan senjata. Karena di Tabuk, ternyata tidak didapat
kemunculan tentara Romawi. Membuat kondisi pasukan kaum muslimin pada saat itu
menang ‘WO’.
Ketiadaan
pasukan Romawi di Tabuk, semata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya ingin menguji keyakinan kita kepada-Nya.
Demikiannya tak ubahnya dengan kondisi kita saat ini. Kerap kenyataan tidak
semenakutkan mimpi kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya ingin menguji kita.
Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya ingin
melihat sejauh mana effort kita kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya ingin menguji keikhlasan kita kepada-Nya.
Itulah
ujian yang ada. Karena jika ujian berhasil dilalui dengan baik, ending yang
baik hanya untuk orang-orang yang bertaqwa. Karena balasan tersebut adalah
surga, sementara surga bukanlah barang murah.
Ternyata
tidak ada peperangan di tabuk. Tentu ujian yang disangka berat oleh kaum
munafik yang memilih mangkir ajakan perang Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam ternyata tidak seberat yang
dipikirkan. Itulah ujian dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
Dan
syaithon memanfaatkan kondisi tersebut. Hasutan syaithon telah menggulirkan
rasa ragu dan was-was di hati manusia. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Artinya:
“Dari kejahatan
(bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam
dada manusia.” (QS: An Nas:4-5).
Kembali ke
kisah Ka’ab; tentu mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa Sallam telah mengarah pulang ke Madinnah menerbitkan kesedihan Ka’ab.
Kalut, was-was, cemas, ragu turut menyertai perasaan Ka’ab.
Pasalnya,
di hati Ka’ab sempat muncul untuk berdusta guna mencari-cari alasan
ketidak-sertaanya dalam berperang ke Tabuk, agar tidak mendapatkan hukuman
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam.
Karena dirinya mengakui, dirinya telah terpedaya dengan nikmat dunia yang
terdapat di Madinnah. Karena memang dunia yang telah menipunya. Tak sedikit
dosa-dosa termuncul dipicu oleh cinta dunia yang berlebihan. Karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman yang artinya:
“Maka janganlah
harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki
dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam
kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam
keadaan kafir.” (QS: At Taubah: 55)
Namun di
sinilah Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu
mengambil sikap yang bijak. Sebelum dipilih tindakan tersebut, dirinya meminta
bantuan dan nasehat dari keluarganya dan saudaranya yang sholeh-sholeh. Hingga
mantap hatinya untuk meninggalkan langkah berdusta mencari alasan dan lebih
baik jujur secara ksatria kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa Sallam.
”Saya pun
meminta bantuan untuk menemukan jalan keluar dari kesulitan ini dengan setiap
orang yang banyak mempunyai pendapat dari golongan keluargaku. Setelah
diberitahukan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa Sallam telah tiba maka lenyaplah kebathilan dari jiwaku – yakni
keinginan akan berdusta itu – sehingga saya mengetahui bahwa saya tidak dapat
menyelamatkan diriku dari kemurkaannya itu dengan sesuatu apapun untuk
selama-lamanya. Oleh sebab itu saya menyatukan pendapat hendak mengatakan
secara sebenarnya.”
Ka’ab
memilih jalan musyawarah dengan orang-orang sholeh ketika muncul di hatinya
pikiran-pikiran kotor. Ka’ab semakin yakin dan mantap, bahwa berbohong adalah
langkah bunuh diri. Maka dirinya bertekad untuk jujur apa adanya.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam tiba di
Madinnah pada waktu dhuha. Dan kegiatan pertama Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam setibanya di Madinnah adalah
menegakkan sholat 2 rakaat di masjid. Inilah sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam yang kian
dilupakan, sunnah yang kian langka di amalkan. Hendaknya sepulang shafar,
dirikanlah 2 rakaat sholat sunnah di masjid sebelum melanjutkan kegiatan
rutinitas.
Setelah
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam
sholat 2 rakaat di masjid, beliau keluar kemudian datanglah 80-an orang dari
golongan munafik untuk menyampaikan alasan-alasan dustanya tidak mengindahkan
anjuran berperang di jalan Allah ke Tabuk.
Tapi ini
pelajarannya: Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa Sallam serta merta hanya tersenyum. Beliau menerima alasan-alasan
mereka, beliau tidak membantah ucapan orang-orang munafik. Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam memilih
untuk mengembalikan hakikat mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah
salah satu akhlaq Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa Sallam yang teladan.
Bahkan
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam
berisitghfar untuk mereka. Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa Sallam memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memberikan ampun
kepada orang-orang munafik tersebut.
Dan setelah
menerima kaum munafik, tibalah giliran Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu untuk menyampaikan alasannya kenapa tidak ikut
berperang ke Tabuk…
Kajian Rabu
Malam Kamis (Bada Isya) di Masjid Agung Al-Azhar bersama Ustad. Muhammad Nuzul
Dzikri, Lc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.