Ttibalah saatnya
Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu
untuk menghadap Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa Sallam guna menyampaikan penjelasan sebabnya Ka’ab tidak ikut berperang
bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wa
Sallam.
Ka’ab bin
Malik RadhiAllahu’anhu menceritakan
dalam hadits yang telah disampaikan lalu, bagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam setibanya
di Madinah mendengarkan alasan tidak ikut berperangnya dari sedikitnya 80 orang
dari kaum munafik setelah selesainya sholat dua rakaat di masjid selesai
shafarnya dari Tabuk.
Kedustaan
demi kedustaan dari alasan yang disampaikan oleh kaum munafik pun tidak ada
yang dibantah, namun tidak ada juga yang dibenarkan. Setelah beliau memberikan
himbauan untuk senantiasa taat pada perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam kepada kaum munafik, bahkan Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa Sallam ber-istighfar
kepada Allah Subhanahu wata’ala untuk
mengampuni kesalahan mereka.
Sampai tiba
giliran Ka’ab bin Malik menghadap Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, dan
tiada hal yang keluar dari ekspresi Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam kecuali sebuah senyuman orang yang
sedang marah, kemudian bersabda:
“Kemarilah!”
Ka’ab pun
mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa Sallam dan duduk berhadap-hadapan dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa Sallam, dan kemudian beliau membuka percakapan dengan santun kepada Ka’ab
dengan sabda:
“Apakah
yang menyebabkan engkau tertinggal bukankah engkau telah membeli unta untuk
kendaraanmu?”
Lalu Ka’ab
menjawab pertanyaan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam;
” Ya
Rasulullah, sesungguhnya saya, demi Allah, andaikata saya duduk di sisi selain
Rasulullah dari golongan ahli dunia, niscayalah saya rasa bahwa saya akan dapat
keluar dari kemurkaannya dengan mengemukakan suatu alasan (palsu). Sebenarnya
saya telah dikaruniai kepandaian dalam bercakap-cakap. Tetapi saya ini -demi
Allah- yakin andai kata saya menyampaikan alasan palsu pada hari ini yang
Rasulullah akan menerima dan ridha dengan alasanku itu, namun sesungguhnya
Allah akan membuat Rasulullah marah terhadapku. Dan Sebaliknya jikalau saya
menyampaikan alasan yang sebenarnya yang mungkin membuat Rasulullah marah
terhadap diriku namun saya berharap akhir yang baik dari Allah ‘Azza wa jalla. Demi Allah, saya tidak
punya alasan syar’i sedikitpun – sehingga tidak mengikuti peperangan itu. Demi
Allah, sama sekali saya belum pernah merasa lebih kuat dan lebih ringan untuk
mengikutinya itu, yakni di waktu saya tidak ikut perang tabuk.”
Demikiannya
Ka’ab, lebih memilih jujur kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam daripada berbohong. Padahal dirinya
dikenal dengan kepiawaiannya dalam bahasa dan berbicara, serta merta tak
membuatnya mau mengambil tindakan berdusta untuk alasan tidak berperang kepada
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dengan
menggunakan kepandaian berbicaranya. Karena Ka’ab lebih takut kepada Allah
Jalla jalaluhu jika membohongi Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa Sallam.
Tentu
banyak pembelajaran dari penyikapan Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu ke dalam kehidupan kita. Banyak pembohong yang
tidak sampai terpikir hal seperti yang dipikirkan Ka’ab. Secanggih-canggih
pembohong hanya melihat hal di depan dirinya saja. Dirinya tidak melihat
konsekuensi dirinya kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Sementara Ka’ab jelas memahami 100% konsekuensi berdusta kepada
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
Artinya:
Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa
yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh
kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. (QS:
Ibrahim: 42)
Allah Maha
Mengetahui. Semua yang apa-apa kita perbuat Allah mengetahui, hingga ke isi
hati kita. Demikiannya elegan cara Allah bersikap kepada pendusta, segala
hukuman ditangguhkan sampai pada waktunya. Dan inilah yang tidak terpikirkan
oleh para pembohong. Dan Allah membenci para pendusta. Karena dusta adalah
pokok kemunafikan.
Ulama Hasan
Al Bashri berkata;
“Inti
kemunafikan yang diatasnya dibangun kemunafikan adalah kebohongan” (dzammul
kadzib wa ahlih hal 20)
Dari Abu
Hurairah RadhiAllahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa Sallam
bersabda:
“Tanda
orang munafik itu tiga apabila ia berucap berdusta, jika membuat janji
berdusta, dan jika dipercayai mengkhianati” (HR. Bukhari).
Dan orang
munafik tempatnya kelak adalah di neraka bawah. Karena kemunafikan adalah
kekufuran.
Itulah yang
dikhawatirkan Ka’ab bin Malik bin RadhiAllahu’anhu:
“Aku
khawatir Allah membuat Anda (Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa Sallam) membenci kepada saya.”
Itulah
konsekuensi dari berdusta. Sekalipun ada orang yang berdusta demi ridho orang
yang didustakannya, kelak Allah akan membuat orang yang didustakannya menjadi
benci pada si pendusta dengan sebab lainnya.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Artinya:
Orang-orang
kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah
sebaik-baik pembalas tipu daya. (QS: Ali Imran: 54)
Karena jika
bermain tipu daya, Allah Jalla jalaluhu
akan balas dengan tipu daya pula. Dan Allah sebaik-baik pembuat makar.
Ka’ab sadar
betul, untuk menjadi orang bertaqwa adalah dengan sabar dan kejujuran. Karena
Ka’ab memilih akhir yang baik. Ka’ab memilih jalan kejujuran untuk mengharap
dapat senantiasa bertaqwa kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan akibat
(yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa. (QS: At Thaha: 132).
Demikiannya,
orang yang melakukan dusta itu hidupnya akan melelahkan. Karena dirinya akan
terus berhadapan dengan dampak kebohongannya. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda:
”Hendaklah
kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan
kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga…” (HR: Ahmad)
Kita
kembali ke kisah Ka’ab, Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa Sallam bersabda setelah mendengar tutur jujur Ka’ab:
“adapun
ka’ab ia telah berkata jujur. Oleh sebab itu bolehlah engkau berdiri sehingga
Allah akan memberikan keputusannya tentang dirimu.”
Mendengar
hal tersebut, pulanglah Ka’ab ke rumahnya. Serta merta diperjalanannya Ka’ab
ditemui oleh beberapa orang dari sekampungnya, dari Bani Salimah. Mereka
melakukan provokasi terus-terusan kepada Ka’ab. Mereka berkata:
“Demi
Allah, kita tidak menganggap bahwa engkau telah pernah bersalah dengan
melakukan sesuatu dosa pun sebelum saat ini. Engkau agaknya tidak kuasa,
mengapa engkau tidak mengemukakan alasan palsu saja kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam sebagaimana
kepalsuan yang dikemukakan oleh orang-orang yang tertinggal yang lain-lain.
Sebenarnya bukankah telah mencukupi untuk menghilangkan dosamu itu jikalau
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam suka
memohonkan mengampunan kepada Allah untukmu.”
Demikiannya
Ka’ab menjadi terpengaruh. Sampai-sampai dirinya ingin kembali lagi kepada
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dan
bermaksud ‘merevisi’ pernyataan sebelumnya.
Inilah
pelajaran yang sangat berharga, bahwa kita makhluk lemah. Kita sangat
terpengaruh dengan apa yang kita dengar. Kita sangat tepengaruh dengan apa yang
kita lihat. Kita sangat terpengaruh dengan lingkungan kita. Sejenak kita refleksi
kepada Kaab bin Malik RadhiAllahu’anhu,
orang yang telah duapuluhan kali berperang di jalan Allah, orang yang ikut
bai’at Aqobah, dan dalam sekejap akibat perkataan-perkataan yang buruk, dirinya
menjadi terpengaruh. Lalu bagaimana dengan kita?
Bagaimana
kita bisa istiqomah, jika kita masih berada di lingkungan yang jauh dari yang
mengamalkan perintah Allah Subhanahu wa
Ta’ala?
Bagaimana
kita bisa istiqomah, jika kita masih berada di lingkungan yang jauh dari yang
mengamalkan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa Sallam?
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengulang mengenai
pentingnya peran pendengaran dan penglihatan sedikitnya hingga 22 kali. Berikut
beberapa firman-Nya:
Artinya:
Allah telah
mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan
bagi mereka siksa yang amat berat. (QS. al-Baqarah: 7)
Artinya:
Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya. (Al-Isra’:36)
Karena mata
dan telinga adalah informan terbaik bagi hati kita. Dan jika kedua indera
tersebut senantiasa dipaparkan dengan informasi kesyirikan, maka hati akan
hancur. Demikiannya orang sekaliber Ka’ab sekalipun, dapat lemah atas paparan
pendengaran yang buruk.
Sementara
bagi sebagian kita; optimis dapat isitqomah sementara jarang mendengar
ayat-ayat Allah? Mustahil.
Oleh karena
itu senantiasa jagalah penglihatan dan pendengaran kita, sebagai langkah
menjaga hati tetap istiqomah di jalan Allah…
Kajian Rabu
Malam Kamis (Bada Isya) di Masjid Agung Al-Azhar bersama Ustad. Muhammad Nuzul
Dzikri, Lc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.