"Tidaklah dirimu disebut kaya, kecuali jika kau memiliki sesuatu yang tak mungkin dibeli dengan harta" Imam Syafi'i
Ketika ajal kematian Abu Thalib sudah sangat dekat, Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam., meminta pamannya itu untuk mengucapkan dua kalimah syahadat. Abu Jahal dan Abdullah ibn Umayyah yang pada saat itu berada di dekatnya juga bertanya kepada Abu Thalib, apakah engkau membenci agama Abdul Muthallib? Kepada keduanya Abu Thalib menyatakan tetap mengikuti agama Abdul Muthallib. Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam sangat sedih, dan menjanjikan untuk memintakan ampunan kepada Allah Subhanahu wata’ala bagi pamannya yang selama ini membela dakwah beliau.
Pada saat
itu turunlah ayat: “Seungguhnya engkau
(Muhammad) tidak dapat memberi hidayah kepada orang engkau cintai, tetapi
Allahlah yang dapat memberikan hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya.”
(QS. al-Qashash/28:52).
Hidayah
berarti petunjuk yang dapat “menjinakkan
hati” yang tidak beriman kepada Allah lalu menjadi Mukmin melalui proses
berislam memang merupakan hak prerogatif Allah. Hidayah yang satu ini memang
tidak bisa “dijemput” oleh siapapun.
Oleh karena
hidayah itu tidak selamanya berkaitan dengan “perubahan keyakinan” dalam
beragama, maka setiap muslim perlu “menjemput” hidayah-hidayah yang
terkait dengan ajaran dan nilai utama bagi kehidupan masa kini dan mendatang.
Salah satu hidayah itu adalah petunjuk
untuk menjadi semakin taat dan bertaqwa kepada Allah Subhanahu wata’ala. Setiap Muslim wajib menjemput berbagai hidayah
dari Al-Quran dan As-Sunnah agar tetap berada di jalan yang benar dan lurus.
Setiap
Muslim bahkan wajib berdoa untuk meminta hidayah “jalan yang benar dan lurus” setiap kali melaksanakan shalat.
“Tunjukkan kami jalan yang benar dan lurus” (QS al-Fatihah/1:6), adalah ayat
yang wajib dibaca oleh orang yang shalat.
Menurut
Sayyid Qutb, penulis tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, doa meminta hidayah “jalan
yang benar dan lurus” itu lebih komprehensif daripada doa: Rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina azaban
nar. Karena baik tidaknya seseorang dalam hidup di dunia maupun di akhirat
sangat ditentukan oleh hidayah jalan yang benar dan lurus tersebut.
Pendapat
lain dikemukakan oleh Muhammad Abduh dalam tafsirnya, al-Manar, memaknai “hidayah berada di jalan lurus” itu
adalah ajaran Islam. Artinya, menjemput hidayah berarti berusaha memahami dan
mengamalkan ajaran Islam secara istiqamah (penuh komitmen dan konsistensi,
tidak setengah-setengah, dan tidak asal-asalan).
Tidaklah seseorang itu disebut kaya kata imam syafi'i sampai dia memiliki sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan apa yang ada di dunia (Harta) dan hanya bisa dibayar dengan sesuatu yang ada di akhirat di sisi Allah Subhanahu wata'ala. Itu baru kaya.
Jadi, yang kita minta adalah doa minta petunjuk, inilah permintaan yang paling besar, doa “Tunjukkan kami jalan yang benar dan lurus” (Q.S. Al-Fatihah) ini perbendaharaan yang sangat berharga (Hidayah).
Baca juga: Perjalanan Menggapai Hidayah dan Kesesatan
Sahabat, Menjemput
hidayah pada dasarnya merupakan proses “imanisasi dan islamisasi diri”. Proses
ini menghendaki reformasi iman, ilmu, dan amal. Hidayah tidak akan mengakar
kuat dalam diri seseorang jika kadar imannya lemah. Karena iman itu fluktuatif
(naik turun) –seperti dikatakan al-Ghazali (w. 1111 M)—maka iman perlu direfresh (disegarkan dan dicerahkan)
secara terus-menerus.
Iman dapat
dicerahkan dan diaktualisasikan dengan ilmu. Ilmu harus terus dicari dan
dikembangkan agar membuahkan amal yang baik dan bermakna, berupa kesalehan
personal, sosial, moral, dan kultural. Iman yang dilandasi ilmu (iman ilmiah)
dan ilmu yang berakar pada iman yang kokoh (ilmu imani) dapat melahirkan amal
yang berdayaguna dan bernilai bagi kemanusiaan.
Baca juga: Muslim dan Profesionalisme
Baca juga: Muslim dan Profesionalisme
Karena itu,
ketika murid-muridnya “protes” kepada sang guru lantaran sudah jenuh dan tidak
dipindah-pindah ke pelajaran (surat al-Qur’an) baru, yang berarti secara
kognitif mereka sudah berilmu, KH. Ahmad Dahlan bertanya singkat kepada mereka:
“Sudahkah ilmu dan pesan moral yang terkandung dalam surat al-Ma’un itu sudah
kalian amalkan dalam bentuk gerakan sosial yang bermanfaat bagi kemanusiaan?”
Dengan
pendekatan teologi transformatif, model pembelajaran dan aktulisasi hidayah ala
KH. Ahmad Dahlan ini kemudian membuahkan dua pelajaran terpetik (lessons learned) sekaligus.
Pertama,
hidayah (baca: ilmu dan nilai) dari al-Qur’an tidak bermakna jika tidak
ditindaklanjuti dan dikembangkan dalam bentuk amal usaha (jihad sosial) yang
bermanfaat bagi umat.
Kedua,
metodologi tafsir transformatif yang sangat efektif dalam memahami dan
menerjemahkan pesan-pesan kitab suci menjadi gerakan sosial kultural yang
berorientasi kepada perubahan dan perbaikan kualitas umat.
Proses
islamisasi diri (internaslisasi hidayah) memerlukan kesadaran dan motivasi
personal yang kuat. Dalam hal ini, Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam pernah memberikan rambu-rambu kehidupan penuh
hidayah dengan menyatakan:
“Kebersihan itu
pangkal iman, mengucapkan alhamdulilah itu dapat memenuhi timbangan,
subhanallah dan alhamdulillah itu dapat memenuhi apa yang ada di antara langit
dan bumi, shalat itu cahaya (hati), shadaqah itu bukti (kepedulian sosial),
sabar itu pelita, al-Qur’an itu hujjah (dasar penalaran)…” (HR Muslim).
Jika hadis
tersebut diaktulisasikan untuk menjemput hidayah, maka setiap Muslim harus
berpola hidup bersih lahir dan batin, bergaya hidup penuh zikir, tekun dan
istiqamah dalam melaksanakan shalat dan shadaqah, bernalar dengan logika
al-Qur’an, dan berhias diri dengan kesabaran. Semua itu mudah diucapkan, tetapi
tidak selalu mudah dilaksanakan.
Kata kunci
untuk dapat menjemput hidayah itu adalah mau memulai dari diri sendiri dan mau
mengevaluasi diri dengan menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam sebagai teladan iman,
ilmu, dan amal; teladan iman, islam, dan ihsan; dan teladan zikir, pikir, dan taghyir (perubahan diri menuju kehidupan
yang lebih baik).
Selain itu,
proaktif menjemput hidayah juga perlu kesungguhan dalam berinteraksi dengan
sumber ajaran dan nilai Islam. Muhammad Iqbal, tokoh pembaharu pemikiran Islam
asal Pakistan, pernah ditanya: “Mengapa
dewasa ini umat Islam mengalami kemunduran, padahal al-Qur’an yang
dipedomaninya saat ini sama dengan al-Qur’an yang dipedomani ketika umat Islam
maju?”
Iqbal
menjawab singkat: “Dewasa ini, umat Islam
mundur karena al-Qur’an lebih sering dibacakan kepada orang-orang yang sudah
mati, daripada dibacakan kepada orang-orang yang masih hidup dan berpikir.”
Jawaban
Iqbal tersebut menginspirasi kita semua untuk menyatakan bahwa al-Qur’an harus
terus dijadikan sebagai hidayah, bukan dibacakan kepada yang sudah mati sebagai
hadiah.
Baca juga: Al-Qur'an Sumber Kekuatan dan Pedoman Hidup Manusia
Baca juga: Al-Qur'an Sumber Kekuatan dan Pedoman Hidup Manusia
Sebagai
hadiah, yang mendapat manfaat –kalau memang benar memberi manfaat— hanyalah
mereka yang sudah di alam kubur. Sebaliknya, dibaca sebagai hidayah, manfaatnya
akan menjadi sumber nilai, inspirasi, motivasi, dan transformasi bagi umat
manusia yang masih hidup.
Jadi,
selagi masih hidup, amalkanlah selalu perintah pertama Allah dalam kitab
suci-Nya: Iqra’ bismi Rabbik (Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu). Dengan
falsafah Iqra’ ini, kita bisa proaktif menjemput hidayah dan menghadirkannya di
tengah-tengah kehidupan kita.
Bukankah
banyak orang yang mengaku beragama Islam tetapi masih jarang membaca al-Qur’an,
apalagi memahami dan mengamalkan pesan-pesan moralnya?
Inspirasi
Pagi dari Dr. Muhbib Abdul Wahab
Baca juga: Keutamaan ilmu terhadap Ibadah
Photo: qultummedia
Jakarta, 30 Rajab 1438 H
Baca juga: Keutamaan ilmu terhadap Ibadah
Photo: qultummedia
Jakarta, 30 Rajab 1438 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.