Kita sudah mengikuti penuturan kisah Ka’ab bin Malik
RadhiAllahu’anhu dan penyikapannya untuk memilih jalan kejujuran dalam
menyampaikan ketiadaan uzur yang dimilikinya kepada Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa Sallam karena tidak mengikuti perang Tabuk. Dirinya lebih
memilih dimarahi oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam daripada dimurkai
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Kisah #3)
Lalu kejujuran
Ka’ab dipuji oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dengan sabdanya;
”Tentang orang
ini, maka pembicaraannya memang benar – tidak berdusta. Oleh sebab itu bolehlah
engkau berdiri sehingga Allah akan memberikan keputusannya tentang dirimu.”
Tak kurang
ujian yang dihadapi Ka’ab, sepulangnya ke rumah Ka’ab diprovokasi oleh
segolongan dari Bani Salimah, demikian ucapan-ucapan mereka telah menghasut
hati dan pikiran Ka’ab sampai-sampai dirinya hampir ingin kembali ke Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa Sallam dan ‘merevisi’ pernyataan jujurnya dengan alasan
kedustaan.
Terkait cuplikan pengalaman Ka’ab ini, ibrah (pembelajaran) yang dapat kita petik ialah terdapat urgensi bagi kita untuk senantiasa menjaga ketiga organ tubuh kita; pendengaran, penglihatan dan hati guna dijauhkan dari paparan informasi yang jauh dari ajaran Islam & destruktif kepada keimanan kita.
Terkait cuplikan pengalaman Ka’ab ini, ibrah (pembelajaran) yang dapat kita petik ialah terdapat urgensi bagi kita untuk senantiasa menjaga ketiga organ tubuh kita; pendengaran, penglihatan dan hati guna dijauhkan dari paparan informasi yang jauh dari ajaran Islam & destruktif kepada keimanan kita.
Terdapat faedah
yang sayang kita untuk kita lewatkan; yakni manusia memiliki kecenderungan
labil yang besar. Dan dari faedah ini, kita dapat mengambil dua pelajaran; yang
pertama mengenai istiqomah, janganlah terlarut dalam euforia hijrah.
Pembenahan hati tidak berhenti ketika sudah berhijab sesuai syariat. Penegakkan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam tidak berhenti ketika memiliki jenggot. Bisa jadi seseorang terlena dengan keadaan dan terjebak dalam kelalaian ibadah lainnya.
Pembenahan hati tidak berhenti ketika sudah berhijab sesuai syariat. Penegakkan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam tidak berhenti ketika memiliki jenggot. Bisa jadi seseorang terlena dengan keadaan dan terjebak dalam kelalaian ibadah lainnya.
Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya
hati semua anak cucu Adam itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah
Yang Maha Pemurah. Allah subhanahhu wa ta’ala akan memalingkan hati manusia
menurut kehendak-Nya.” (HR. Muslim)
Bayangkan, jika
manusia sekaliber Ka’ab, sosok sahabat yang pernah berjuang bersama Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa Sallam di perang Badr, yang notabene adalah salah satu
dari 70 orang yang tergabung dalam Bai’at Aqobah, dalam hitungan menit dapat
terpengaruh dalam hitungan menit. Apalagi diri kita, tak pelak lebih berpeluang
untuk dapat mengalami kelabilan.
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
Artinya:
Apakah manusia
itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”,
sedang mereka tidak diuji lagi? (QS: Al Ankabut:2)
Itulah sebab
kenapa kita harus istiqomah, karena Allah akan menguji kita. Dan ketika kesempatan
ujian itu tiba, jangan sampai kita missed. Jangan mengira ketika kita sudah ngaji, kita sudah di comfort zone. Karena pada prinsipnya tidak ada comfort
zone di dunia ini bagi orang beriman, karena tujuang akhir orang beriman adalah
kampung akhirat.
PELAJARAN KEDUA
dari faedah kelabilan manusia setelah istiqomah, yakni hal yang berkaitan
dengan muammalah; selama kita berhadapan dengan manusia, maka masihlah terdapat
peluang berjuang. Karena manusia mudah berubah, maka usahakan yang terbaik
untuk mereka dalam upaya menyampaikan kebaikan.
Kita kembali ke
kisah Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu. Dalam kegoncangannya atas pengaruh
provokasi golongan Bani Salimah, Ka’ab menanyakan sesuatu kepada mereka:
“Apakah ada
orang lain yang menemui peristiwa sebagaimana hal yang saya temui itu?”
Orang-orang itu
menjawab:
“Ya, ada dua
orang yang menemui keadaan seperti itu. Keduanya berkata sebagaimana yang
engkau katakan lalu terhadap keduanya itupun diucapkan – oleh Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam sebagaimana kata-kata yang diucapkan padamu.”
Ka’ab berkata:
“Siapakah kedua
orang itu?”
Orang-orang
menjawab:
“Mereka itu
ialah Murarah bin Rabi’ah al-‘Amiri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi.”
Ka’ab berkata:
“Orang-orang
itu menyebut-nyebutkan di mukaku bahwa kedua orang itu adalah orang-orang
sholeh dan juga benar-benar ikut menyaksikan peperangan Badar dan keduanya
dapat dijadikan sebagai contoh – dalam keberanian dan lain-lain.”_
Dari momen
tersebut kita dapat kembali mengambil ibrah, obat untuk mengobati kegalauan
yang kita alami adalah teman sepenanggungan. Keberadaan teman, apalagi jika
lebih senior dari kita, yang pernah satu profesi dari kita, dapat menghilangkan
penyakit kegalauan di dalam hati kita. Karena tak pelak lagi, ketika kita
sedang menapaki jalan hidayah kita membutuhkan figur; tak luput Rasullullah
Shallallahu’alaihi wa Sallam. Namun selain beliau, pada tingkatan pergaulan
yang sebaya dengan diri kita, kita membutuhkan teman sepenanggungan.
Inilah resep
istiqomah untuk survive hidup di kota yang penuh fitnah. Di mana dunia sudah
terbuka semua, kita butuh teman. Kita butuh figur. Kita butuh senior. Janganlah
kita jadi eksklusif.
Kita kembali ke
kisah Ka’ab in Malik RadhiAllahu’anhu. Maka Ka’ab pulang ke rumahnya. Setibanya
dirinya di kediamannya, telah tiba kabar hukuman untuk dirinya. Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa Sallam melarang seluruh kaum Muslimin untuk berinteraksi
dengan Murarah bin Rabi’ah al-‘Amiri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi serta
Ka’ab bin Malik.
Semenjak hari
itu, semuanya berubah. Satu kota Madinah mendadak berubah suasana bagi Ka’ab
dua teman lainnya. Sampai Ka’ab merasa asing di kota Madinah. Semua orang
berubah, pertanyaan dari Ka’ab tidak ada yang menjawab. Dan hal ini diberlangsungkan
selama 50 hari khusus bagi mereka.
Hal ini tentu
berbeda dengan apa yang sudah kita ketahui mengenai haramnya sesama muslim
untuk mendiamkan selama lebih dari 3 hari. Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثٍ، فَمَنْ هَجَرَ فَوْقَ ثَلَاثٍ فَمَاتَ دَخَلَ النَّارَ
Artinya:
“Tidak halal
bagi seorang muslim untuk memboikot saudaranya lebih dari 3 hari. Siapa yang
memboikot saudaranya lebih dari 3 hari, kemudian dia meninggal maka dia masuk
neraka.”
(HR. Abu Daud dishahihkan Al-Albani).
Inilah mulianya
agama Islam. Islam adalah agama yang sangat humanis. Karena yang menurunkan
adalah Yang Menciptakan manusia. Allah Subahanahu wata'ala yang paling memahami
kapasitas emosi setiap manusia yang berbeda-beda, telah diatur bagaimana kita
bersikap batas mendiamkan sesama muslim tak lebih dari 3 hari.
Adalah
pengecualian pada treatment Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam yang
memberlakukan hukuman mendiamkan kepada Ka’ab dan dua temannya selama 50 hari.
Perlakuan khusus ini dijelaskan oleh Imam al Khattabi di dalam kitab Ma’alimul
Sunan, karena terdapat kekhawatiran Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam
pada diri tiga sahabatnya yang tidak ikut ke perang Tabuk tumbuh virus
kemunafikan. Karena hanya orang munafik yang tidak memiliki uzur untuk tidak
ikut dalam perang Tabuk. Pun hukuman yang diberlakukan adalah sarana uji
ketahanan kapasitas Ka’ab dan kedua temannya, karena orang munafik tidak akan
tahan didiamkan selama 50 hari.
Sejenak mari
kita berkaca pada momen tersebut;
– Hilal bin
Umayyah yang pernah menghancurkan berhala dengan dua tangannya di khawatirkan
menjadi munafik.
– Ka’ab bin
Malik, salah satu figur sahabat alumni perang Badr, perang Uhud, dan Fathul
Mekkah telah dikhawatirkan menjadi munafik.
Mereka
dikhawatirkan menjadi munafik karena sebuah kesalahan. Lalu pertanyaannya;
“bagaimana dengan kita?” Kitalah yang paling pantas dikhawatirkan.
Apa yang sudah
kita lakukan dengan masa lalu yang bergelimang dosa? Barulah kita bertaubat
kemarin hari. Barulah kita menghadiri kajian dalam hitungan jari. Atau pun
janganlah kita merasa senantiasa besar hati telah mengamalkan beberapa anjuran
Sunnah.
Al-Hasan
Al-Bashri mengatakan; “Tidak ada orang merasa aman dari sifat nifak kecuali
orang munafik dan tidak ada orang yang merasa khawatir terhadapnya kecuali
orang mukmin.”
Pemboikotan
yang dialami Ka’ab dan kedua temannya hendaknya menginsipirasikan diri kita.
Audit diri kita sebelum di audit Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat.
Bersambung
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.