Suasana Masjid
Agung Al-Azhar tampak penuh, kaum muda tumpah ruah memadati setiap shof di
dalam masjid. Tiang-tiang kamera berdiri gagah di tengah untuk
mendokumentasikan kisah Ka’ab bin Malik Rodhiyallahu
‘Anhu yang diceritakan oleh Ustadz Muhammad Nuzul Dzikry, Lc. MC yang
memandunya pun sangat gaul, dengan istilah dan gaya bahasa anak muda memulai
acara dengan membagikan doorprize.
Kajian kita
kali ini akan membahas sebuah kisah kepahlawanan dari salah satu sahabat
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam,
yakni Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu.
Dimana kisah ini terjadi pada salah satu momen peperangan besar kaum muslim
melawan bangsa Romawi yang terjadi pada tahun 9 hijriah.
Namun kisah
‘kepahlawanan’ ini bukanlah menceritakan pengorbanan seorang panglima di medan
perang, bukanlah menceritakan seorang pemanah handal yang heroik menumpas
musuh, apalagi pasukan garda depan, tapi uniknya karena justru yang dikisahkan
adalah kesalahan seorang sosok sehingga ia tidak memiliki andil dalam
peperangan ini.
Kisah ini
menceritakan bagaimana Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu
tidak ikut berangkat dalam kafilah perang Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, karena sebuah kekhilafan. Tapi justru
kesalahan beliau di perang Tabuk inilah yang mencatatkan namanya sebagai
seorang pahlawan. Beliau menjadi inspirator, khususnya bagi orang-orang yang
pernah membuat kesalahan dalam hidupnya.
Dialah
Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu.
Seorang pemuda dari kaum Anshar yang tidak pernah absen ajakan jihad oleh
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam
kecuali perang badar. Dimana dirinya pun pernah menjadi satu dari 70 penduduk
Madinah yang mengikuti bai’at Aqobah, janji setia kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Namun
dirinya melakukan sebuah kelalaian yang fatal ketika momen ajakan perang Tabuk.
Meski demikian, atas kesalahan yang dilakukannya dirinya mendapatkan hukuman,
serta merta karena ketepatan sikapnya, justru telah mengantarkan dirinya from
Zero to Hero.
Dari hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu. Menceritakan ketika peristiwa ajakan perang Tabuk
dirinya dalam kondisi yang sehat dan dalam kondisi yang lebih sejahtera dari
waktu-waktu sebelumnya, dimana dirinya memiliki dua ekor kuda, serta tidak ada
uzur yang membatalkan dirinya untuk ikut perang Tabuk.
Ketika
rombongan Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa sallam beserta sahabat harus berjalan sejauh 620-an km ke Tabuk dari
Madinah dengan medan yang melelahkan dan di cuaca musim panas tanah Arab
bersuhu tinggi sedikitnya 50⁰ celcius, di Madinah sedang panen kurma yang
melimpah.
Pun ajakan
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam
ke Tabuk langsung disambut gembira dan semangat oleh para sahabat. Panen kurma
yang melimpah tak membuat silau para sahabat untuk enggan menyambut ajakan
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.
Mereka rela berjalan jauh meninggalkan nikmat dunia untuk ke medan yang dahsyat
untuk berhadapan dengan pasukan Romawi dan berjihad untuk Allah jalla jalaluhu.
Karena para sahabat yang berlomba-lomba memenuhi seruan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam adalah
orang-orang yang mengambil sikap zuhud kepada dunia. Mereka yang memiliki
keimanan.
Sama halnya
pada diri Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu, beliau langsung menyiapkan diri
untuk menyambut seruan Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa sallam. Perbekalan pun disiapkannya. Namun yang terjadi adalah justru
persiapannya kian tertunda karena perihal-perihal sepele. Hingga kian semakin
tertundanya, sampai Ka’ab menemukan dirinya telah tertinggal oleh rombongan
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam
ke Tabuk.
Penyebab
sepele tertundanya menyiapkan perbekalannya pun disikapinya dengan sikap yang
menyepelekan pula, “Kalau aku mau, semua ini bisa kupersiapkan segera.”
Disinilah
kunci dari kekhilafan yang dilakukan Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu. Dirinya lalai terlalu yakin dengan kemampuan yang
dimiliki dirinya. Dirinya kurang bergantung kepada ALLAH dan mengucapkan kata “insyaAllah”.
Padahal Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman
di dalam surat Al Kahfi ayat 23 dan 24:
Artinya:
Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi,(23) kecuali (dengan
menyebut): “Insya-Allah”. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan
katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih
dekat kebenarannya daripada ini”.(24) (QS: AL Kahfi: 23-24)
Jangan
sampai Anda akan melakukan sebuah aktivitas, dengan mengucapkan “Aku bisa
melakukannya”, tanpa mengucapkan kata “insyaAllah.”
Jangan sampai Anda menggantungkan diri Anda kepada kekuatan Anda. Kita harus
selalu bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jangan
pernah merasa diri besar atas prestasi-prestasi yang telah diraih. Jangan
pernah merasa diri cukup ilmu atas telah hadir di kajian-kajian ilmu agama.
Jangan pernah merasa paling mampu dalam keahlian yang kita miliki. Karena
ketahuilah, semua hal itu dicapai atas izin ALLAH.
Kita juga
dapat mengambil pembelajaran; janganlah gemar menunda-nunda suatu urusan
kebaikan. Sebagian ulama berkata; “Menunda-nunda adalah salah satu bala tentara
iblis.”
Demikiannya
Ka’ab tersadar, tidak ada satupun orang beriman yang beliau temui di kota
Madinah. Ka’ab menemukan dirinya di tengah-tengah orang munafik. Karena para
sahabat dan Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa sallam sudah sampai ke Tabuk. Iman di dalam hatinya menjerit dan membuat
Ka’ab terperangah dan merenungi nasibnya.
Menarik
nasib Ka’ab tertinggal di Madinah bersama orang-orang munafik, dapatlah kita
mengambil pembelajaran dengan diri kita, ketika kita mendapati diri ini masih
berkecimpung di lingkungan yang buruk dan dikelilingi oleh pelaku maksiat.
Adakah iman kita menjerit? Jika tidak ada, selamat: kita akan dibangkitkan
bersama mereka di hari kiamat nanti. Na’udzubillah min dzalik.
Bersambung...
Kajian Rabu
Malam Kamis (Bada Isya) di Masjid Agung Al-Azhar bersama Ustad. Muhammad Nuzul Dzikri, Lc.
Jakarta, 11
Jumadil Akhir 1438 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.