Kamis, 12 April 2018

Kebijakan Pemimpin Bangsa


Sahabat, adakah diantara kita yang bercita-cita menjadi seorang pemimpin? Tentu pemimpin-pemimpin dunia mengasa jiwa kepemimpinannya tidak dalam satu malam. Jika berbicara pemimpin, tidak selalu identik dengan pimpinan. Karena banyak orang yang mendapatkan jabatan sebagai pimpinan suatu perusahaan,  pemerintahan, tetapi mereka tidak benar-benar memimpin.


Mungkinkan ada rakyat yang tidak mencintai pemimpinnya? Atau pemimpin yang tidak mencintai rakyatnya?

Ada suatu uangkapan yang belum lepas dari ingatakan saya beberapa tahun yang lalu. Kalimat ini diucapkan oleh Ridwansyah Yusuf Achmad, seorang mahasiswa dan aktivis dakwah dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ketika kami bertemu di Ambon.
“Anda bisa mencintai seseorang tanpa memimpinnya, akan tetapi Anda tidak bisa memimpin seseorang tanpa mencintainya.”
Ada cerita yang tercecer dalam perjalanan hijrah Nabi Muhammad saw dari Makkah ke kota Yatsrib yang kemudian dikenal dengan al-Madinah al-Munawarah.

Nabi Muhammad shalaullahhu ‘alaihi wassalam yang dalam perjalanan itu didampingi oleh tiga orang, yaitu  Abu Bakr as-Shiddiq radhiallahhu ‘anhu, seorang hamba sahaya milik Abu Bakr radhiallahhu ‘anhu yang bernama Amir bin Fuhairah, dan seorang penunjuk jalan non muslim yang bernama Abdullah bin Uraiqit, bermaksud membeli bahan makanan di sebuah kedai milik seorang wanita tua bernama Ummu Ma`bad.

"Tidak ada apa-apa", begitu kata Ummu Ma`bad kepada Nabi saw ketika ditanya tentang makanan dan minuman yang dijual. Ummu Ma`bad tidak tahu bahwa orang yang bertanya itu seorang Nabi.

Nabi shalaullahhu ‘alaihi wassalam kemudian melihat seekor kambing betina yang diikat di dekat rumah tadi. Kambing itu kurus dan tidak merumput bersama teman-temannya.

 "Bolehkah saya perah susu kambing itu?", begitu kata Nabi saw kepada Ummu Ma`bad, "Ya, boro-boro ada susunya, dia sendiri kurus seperti itu", jawab Ummu Ma`bad.

Nabi shalaullahhu ‘alaihi wassalam kemudian mendesak lagi, "Tapi bolehkah saya memerah susunya?"
Ummu Ma`bad akhirnya menjawab "Silahkan saja".

Setelah mendapat izin dari Ummu Ma`bad, Nabi shalaullahhu ‘alaihi wassalam kemudian berjalan menuju kambing tersebut, dipegangnya kambing itu seraya berdo`a: "Wahai Allah, berkahilah wanita ini melalui kambingnya".

Nabi shalaullahhu ‘alaihi wassalam kemudian memerah susu kambing tersebut dan ternyata keluar air susunya dengan deras. Nabi pun minta disediakan cawan-cawan untuk menampung air susu itu.

Satu cawan diberikan kepada Ummu Ma`bad dan Nabi shalaullahhu ‘alaihi wassalam menyuruhnya untuk minum, Ummu Ma`bad pun meminum susu kambing itu. Kemudian Abu Bakr dipersilahkan untuk minum, selanjutnya Amir bin Fuhairah dan Abdullah bin Uraiqib. Setelah semuanya minum air susu itu dengan puas, barulah Nabi shalaullahhu ‘alaihi wassalam meminum susu kambing itu, kemudian beliau berkata:

"Pemimpin bangsa adalah pelayan mereka dan orang yang memberikan minum kepada mereka. Pemimpin bangsa adalah orang yang minum paling akhir".

 Tulisan terkait: Pemimpin itu Melayani

Kisah yang termaktub antara lain dalam kitab al-Thabaqat al-Kubra karya Imam Ibnu Sa`d ini sungguh sangat menarik untuk dijadikan sebagai pedoman kebijakan seorang pemimpin bangsa. Nabi Muhammad shalaullahhu ‘alaihi wassalam sebagai pemimpin bangsa (Sayyid al-Qaum) tidak mendahulukan kepentingan sendiri, keluarga ataupun golongannya. Beliau mendahulukan kepentingan orang lain kendati orang lain itu tidak beliau kenal seperti Ummu Ma`bad. Beliau juga mendahulukan kepentingan orang lain, kendati orang tersebut berbeda agama seperti Abdullah bin Uraiqib. Setelah rakyat meminum semuanya, barulah Nabi shalaullahhu ‘alaihi wassalam meminum air susu itu.

Siapapun yang menjadi pemimpin, seyogyanya menjadikan perilaku Nabi shalaullahhu ‘alaihi wassalam ini sebagai panduan dalam mengeluarkan kebijakan. Ia boleh makan enak apabila rakyatnya semua sudah makan enak, ia juga boleh tidur nyenyak apabila rakyatnya semua sudah memiliki rumah dan dapat tidur nyenyak. Dari perilaku Nabi shalaullahhu ‘alaihi wassalam ini, para ulama kemudian membuat kaidah Hukum Islam yang berbunyi:
"Kebijakan seorang pemimpin harus berkaitan dengan kepentingan umat".

Kualitas kepemimpinan seseorang dapat dilihat bukan bagaimana cara bicaranya, pakaian yang ia kenakan, tetapi kebijakan-kebijakan yang dibuat. Apakah kebijakan itu berkaitan untuk kepentingan orang banyak, atau untuk kalangan dan kelompok-kelompok tertentu.

Kebijakan-kebijakan itu, barangkali akhir-akhir ini terlihat sunyi karena media-media secara umum lebih sering menampilkan  sosok tokoh, beserta aktivitas dan pidatonya, daripada mengupas tuntas dan mendalam terhadap kebijakan-kebijakan yang ada. Bagaiman dampaknya terhadap industri dan masyarakat?

Bijaklah dalam memilih. 

Semoga Allah mengkaruniakan pemimpin yang mencintai kita, dan kita pun mencintai mereka.

Pemimpin yang mampu menjaga agama dan mengangkat beban-beban di pundak masyarakat dengan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat.

Pemimpin-pemimpin yang benar-benar tulus, mencintai, dan melayani. Membimbing kita semua untuk selamat di dunia dan di akhirat. 

Photo Credit: alimancenter

Jakarta, 25 Rajab 1439 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.