Selasa, 09 Januari 2018

Al-Anshar: Lebih Mementingkan Orang Lain disaat Sangat Butuh


Shahih Bukhari 3514:  Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau datangi istri-istri beliau.

Para istri beliau berkata; "Kami tidak punya apa-apa selain air".

Maka kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada orang banyak: "Siapakah yang mau mengajak atau menjamu orang ini?".Maka seorang laki-laki dari Anshar berkata; "Aku".

Sahabat Anshar itu pulang bersama laki-laki tadi menemui istrinya lalu berkata; "Muliakanlah tamu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ini".

Istrinya berkata; "Kita tidak memiliki apa-apa kecuali sepotong roti untuk anak kita".

Sahabat Anshar itu berkata; “Suguhkanlah makanan kamu itu lalu matikanlah lampu dan tidurkanlah anakmu".

Ketika mereka hendak menikmati makan malam, maka istrinya menyuguhkan makanan itu lalu mematikan lampu dan menidurkan anaknya kemudian dia berdiri seakan hendak memperbaiki lampunya, lalu dimatikannya kembali.

Suami- istri hanya menggerak-gerakkan mulutnya (seperti mengunyah sesuatu) seolah keduanya ikut menikmati hidangan. Kemudian keduanya tidur dalam keadaan lapar karena tidak makan malam.

Ketika pagi harinya, pasangan suami istri itu menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka beliau berkata: "Malam ini Allah tertawa atau terkagum-kagum karena perbuatan kalian berdua".

Maka kemudian Allah menurunkan firman-Nya dalam Q.S. al-Hasyr ayat 9 yang artinya: ("Dan mereka (kaum anshar) lebih mengutamakan orang lain ( kaumMuhajirin) dari pada diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung").

Sahabat, itulah gambar orang-orang ansor; pembela dan penolong rasul dan yang menampung beliau dan saudara-saudaranya yang hijrah dalam kemiskinan. Mereka menetap dalam kota madinah dan tetap teguh dengan imannya, lalu menunggu saudaranya yang hijrah dan meninggalkan kampung halamannya.

“Mereka itu mencintai orang yang berhijrah kepada mereka”. Tidak ada rasa benci/ muak atau bosan dengan saudara seiman yang baru datang itu, melainkan rasa kasih yang ada. “Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin)” Artinya tidaklah ada rasa dengki atau iri hati kaum Anshar melihat Allah dan Rasul-Nya memberikan anugrah berlebih kepada saudara-saudara kaum Muhajirin itu. “dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).”

Sahabat, apakah Anda pernah merasakan, melihat, atau mendengar ada orang yang mengutamakan orang lain atas diri mereka sendiri, padahal mereka sangat memerlukan sesuatu yang mereka berikan itu hari ini? mungkin ada, tapi tentu jarang. Semua itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang hatinya telah diterangi cahaya iman, mengenal siapa Rabb yang Maha Melihat dan berhak disembah, mengenal akhirat, dan mencintai Rasul-Nya.

Bisakah Anda membayangkan, kecintaan mereka kaum anshor kepada muhajirin tidak diikat oleh tali kekeluargaan, mereka bukan sedang menunggu anak, bapak, paman, bibi, atau saudara sedarah, tetapi mereka diikat dengan tali yang lebih kokoh yaitu tali keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tentu, peristiwa ini mengajarkan kepada kita bahwa hanya karena dorongan imanlah kita bisa menyatu, senasip seperjuangan, rela berkorban untuk berbagi.

Menurut suatu riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam setelah berkata kepada kaum anshar, “kalau kamu suka, bolehlah kamu bagikan untuk saudaramu kaum Muhajirin itu rumah-rumah kediaman dan harta benda kamu; dan aku bagikan kepada kamu harta rampasan itu sebagaimana telah aku bagikan kepada mereka; dan jika kamu kehendaki untuk mereka harta rampasan dan untuk kamu rumah-rumah dan harta benda kamu.”

Lalu kaum Anshar menjawab, “Kami tidak mau begitu! Mau kami ialah menyerahkan sebagaian rumah kami dan harta kami kepada mereka saja yang menerimanya, kami tidak perlu dibagi!”

Dalam riwayat yang lain dikisahkan, bahwa karena kaum Anshar yang bersedia menampung di rumah mereka lebih banyak dari Muhajirin yang ditampung, maka diadakan undian bagi penampung-penampung itu.

“Dan barangsiapa yang terpelihara dari kekikiran dirinya.” sebab kikir atau bakhil adalah satu sifat pokok pada diri setiap orang. Misalnya jika seseorang melihat ada orang akan datang ke rumahnya, di zaman modern saat ini mungkin ada panggilan masuk ke HP nya, maka ia bertanya-tanya dalam hatinya rasa curiga, apakah orang yang akan datang itu hendak meminta bantuan atau minta diberi pertolongan. Hatinya tidak senang jika digangu dalam kesenangannya. Padahal kalau orang itu disambutnya dengan baik, lalu dilawannya perasaan tidak senang itu dan diberinya orang itu bantuan, dadanya akan terasa lapang. Oleh sebab itu, barangsiapa yang dapat menguasai dan mengalahkan kikir yang menjadi sifat asli pada setiap individu,

“Maka orang-orang itulah yang beruntung” ujung ayat 9

Mengapa beruntung? Karena ia telah berhasil memenangkan pertarungan melawan dirinya sendiri dengan jalan menguasai diri sendiri.

Di ujung ayat ini dapatlah seorang beriman mengambil kesimpulan bahwa orang yang dapat mengatasi atau menekan sifat-sifat kikir itu tidak menghalanginya untuk berkorban adalah satu kemenangan utama bagi seseorang atas dirinya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam  pernah bersabda,
“Jauhilah olehmu perbuatan aniaya. Karena aniyaya itu akan membawa kegelapan di hari Kiamat kelak, dan peliharalah dirimu dari pengaruh kikir. Karena kikir itulah yang telah membinasakan orang-orang sebelum kamu. Kikir itulah yang telah menyebabkan mereka menumpahkan darah dan memandang halal apa yang diharamkan bagi mereka.” (HR. Muslim dan Imam Ahmad)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menunjukkan obat manjur untuk menghilangkan atau mengimbangi sifat kikir yang membahayakan itu. Beliau bersabda,

“Sembuh dari kikir barangsiapa yang membayar zakat dan menjamu tamu, serta sudi memberi di waktu ada orang susah.” (HR. Ibnu Jarir)

Dari pemaparan di atas, kita dapati lima kelebihan dan pujian bagi kaum Anshar:

Pertama, mereka telah menunggu saudaranya Muhajirin di kota tempat mereka dengan tetap memegang teguh iman.

Kedua, mereka mencintai saudara-saudara mereka yang datang berhijrah itu.

Ketiga, mereka tidak merasa dengki ataupun keberatan jika kaum Muhajirin itu diberi pembagian lebih banyak, bahkan harta rampasan Bani Nadhir sebagian besar hanya untuk Muhajirin.

Keempat, mereka lebih mengutamakan saudara-saudara mereka yang baru hijrah itu, lebih dari mengutamakan diri mereka sendiri.

Kelima, mereka telah sanggup mengatasi sifat kikir mereka, sehingga mereka mendapatkan keberuntungan.

Oleh sebab itu, tegaklah Islam dengan teguhnya karena adanya kedua kaum ini, yaitu Muhajirin dan Anshar.

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah ini, Adakah yang ingin meraih keberuntungan dan kemenangan seperti orang-orang Anshar  saat ini?

Photo Credit: kosankampus

Jakarta, 21 Rabiul Akhir 1439 H
Hamba Allah yang selalu mengharapkan Ampunan, rahmat, dan ridho-Nya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.