Bidang ilmu saya
Patologi Anatomi yaitu ilmu yang menjelaskan tentang penyakit dan mekanismenya.
Dalam mempelajari
penyakit ada 5 kaedah pokoknya.
1. Etiologi dan
patogenesis
2. Gambaran
morfologi
3. Manifestasi
klinik.
4. Komplikasi
5. Prognosis
Bila kita bicara
penyebab, maka penyebab penyakit tidak
ada yang tunggal. Penyebab (etiologi) selalu multifaktor.
Dalam hal penyakit
infeksi, berdasarkan kaedah postulat Koch, tadinya ilmuwan berpikir bahwa
penyebab infeksi harus tunggal dan semua disebut patogen. Zaman Koch teknologi
memang masih jadul. Jadi untuk identifikasi mikroba masih mengandalkan
teknologi kultur.
Karena keterbatasan
metode kultur waktu itu mikroba lain yang harus dikultur dalam kondisi anaerob
tidak bisa terdeteksi.
Saat ini di era
yang lebih canggih kelemahan metode metode kultur bisa dipecahkan dengan
teknologi sekuensing. Sehingga saat ini mulai diketahui bahwa apa yang dulu dianggap
murni patogen itu belum tentu patogen.
Ternyata tubuh
manusia mirip seperti Bumi yang punya banyak ekosistem dan kaya flora dan
fauna. Sedangkan tubuh disusun oleh mikroba. Saat ini yang baru dipetakan baru
bakteri.
Bakteri pun
terbagi-bagi sesuai sifat interaksinya dan kemampuannya berkoloni. Ada yang
disebut pribumi, pendatang, ada yang penjajah.
Keanekaragaman
ekosistem mikrobiota dalam tubuh manusia dipengaruhi banyak faktor seperti
daerah geografis, pola makan, life style, kondisi PH, kelembaban, suhu,
hormonal, dan lainnya.
Bila kita bicara
daerah tropis, tentu ekosistemnya berbeda dengan daerah subtropis. Di dalam
ekosistem hutan tropis misalnya kita bisa jumpai harimau, ular, kodok, elang,
rusa, gajah, dan lainnya yang harus dijaga keseimbangannya. Dalam kondisi
seimbang sepertinya tidak ada cerita harimau atau gajah menyerang pemukiman
manusia, bukan?
Nah tubuh manusia
itu mirip seperti analogi ekosistem hutan tropis atau subtropis. Sejatinya
manusia adalah mikroba berjalan. Bakteri, virus, dan lainnya jumlahnya lebih
banyak dari selnya sendiri.
Dengan perkembangan
teknologi yang sudah bisa memetakan secara metagenomic dan metabolomic.
Diketahui mikroba yang dahulu dianggap patogen ternyata belum tentu patogen.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, mikroba diklasifikasikan menjadi dua secara
garis besar, mikroba residensial (pribumi), dan pendatang ( yang cuma jalan-jalan
atau penjajah).
Mikroba residensial
ini disebut mikroba komensal. Di tiap area tubuh bisa berbeda - beda baik jenis
dan jumlahnya. Mulut paling kaya akan mikroba residensial. Ada sekitar 700
spesies yang baru diketahui. Di bagian ujung mulut dengan di belakang lidah
bisa berbeda keanekaragamannya.
Yang sering
ditakuti adalah kelompok corynebacterium (yang terkenal adalah c. Diphteria),
kelompok Neisseria (yang paling terkenal N. Meningitidis), dan kelompok
clostridium (yg terkenal adalah C. Tetani). Mereka diketahui merupakan
microbiome yang normal ada di tubuh manusia. Terutama di daerah yang dianggap
endemis. Di daerah non endemis mungkin bisa beda jenis dan jumlah
microbiomenya.
Maka pemetaan
microbiome harus memperhatikan empat domain epidemiologi. Meliputi orang sehat
di daerah endemis, orang sakit di daerah endemis, orang sehat daerah non
endemis dan orang sakit di daerah non endemis. Kenapa demikian? Ya biar tidak
ada bias (Yang paham statistik pasti tahu artinya).
Mikroba komensal
berdasarkan sifat interaksinya dengan sel tubuh manusia dibagi lagi menjadi
simbion, amfibion dan pathobion. Mikroba yang sering dipakai oleh syaitan
berbentuk manusia untuk nakut-nakuti termasuk mikroba patobion.
Pathobion artinya
dalam beberapa kondisi dia bisa merugikan tubuh. Akan tetapi dalam lingkungan
yang seimbang sebenarnya pathobion bisa jadi baik dan bermanfaat.
Corynebacterium
difteri yang paling tenar saat ini adalah patobion di kulit dan di mulut. Ada
sesama corynebacterium tapi dia bersifat simbion. Namanya corynebacterium
accolens. Banyak di lubang hidung kita (jadi di upil kita banyak c. accolens).
Dia bisa memproduksi peptida yang bersifat antibiotik. Diduga bisa mengalahkan
bakteri sekelas pneumokokus.
Yang menarik pada
anak yang mendapat asi, jumlahnya lebih banyak dibanding yang tidak mendapat
asi atau bayi yang minum susu formula.
Corynebacterium itu
ada bermacam-macam yang bersifat simbion. contohnya c. accolens, yg patobion C
Diphteria. Mereka bagian ekosistem tubuh kita, yang menguni kulit dan mulut.
C. Dipheteria yg
toksik itu karena perubahan lingkungan, seperti rendahnya besi dan karena
infeksi bakteriofag yang disebut corynefag.
Dalam sejarahnya
ditemukan menginfeksi orang yang alkoholik dan orang-orang yang social
ekonominya rendah (ada kaitannya dg TBC dan anemia). Sifat toksin diketahui
labil terhadap panas dan juga dapat dipecah dengan protease seperti tripsin.
Mekanisme toksisitasnya terjadi mll ikatannya dengan reseptor khusus pada sel
inang. Tidak semua manusia punya reseptor ini. Individu yang rentan diketahui
mengkspresikan banyak reseptor ini. Dan ada individu yang resisten karena tidak
punya resrptor ini.
Untuk lebih memudahkan memahami ini bisa dianalogikan dengan
hiv 1. Hiv bisa menginfeksi sel T karena sel T punya reseptor thdnya. Ada
individu yang tidak punya reseptor ini. Dan yang menakjubkan reseptor ini
kemungkinan bisa didown regulasi oleh virus small pox.
Back to C. Diptheria.
C. Diptheria tidak
selalu membahayakan. Dia dianggap berbahaya karena bisa memproduksi eksotoksin
dalam kondisi lingkungan yang berubah. Ilmuwan menemukan bahwa dia memproduksi
toksin bila kondisi lingkungannya rendah besi. Besi adalah sumber kehidupannya (mungkin
dalam kondisi stress kalo besinya kurang).
Menariknya, bukti
epidemiologi menunjukkan infeksi difteri sering didapatkan pada penderita
tuberkulosis. Sering terjadi penderita TBC juga mengalami anemia defisiensi
besi. Tapi memang harus diteliti lebih lanjut tentang mekanisme ini.
Menurut hipotesa
para ilmuwan, hal ini karena bakteri mycobacterium tuberkulosis, bakteri yang
menyebabkan TBC, doyan banget sama besi.
Mungkin c. Difterinya marah kali ya sama mycobacterium, karena rebutan besi (Wallahu
a'llam saya nggak tahu bahasa para bakteri ...)
Selanjutnya, C.
Diphteria menjadi marah kemudian mengeluarkan toksin. Dia juga marah kalau
diusik oleh bakteriofag. Sejenis virus yang bisa menginfeksi bakteri yang
disebut corynefag.
Toksin yang
dikeluarkan c. Diphteria ini semacam tintanya cumi-cumi, dikeluarkan sebagai
mekanisme defense mungkin. Dan tubuh manusia responnya bisa bermacam-macam
terhadanya.
C. diphteria hidup
di kulit dan mulut yang keduanya dilapisi sel epitel. Permukaannya juga
terlindungi oleh zat zat kimia. Kalo di kulit ada keringat, minyak dan enzim
lizosim . Di mulut ada air ludah. Belum lagi kalau kita bicara sel epitel kulit
dan mulut. Allah juga mendesainnya sangat canggih. Bisa memproduksi anti
mikroba jahat.
Belum lagi kita bicara
tentara-tentara tubuh di sekitarnya yang senjatanya canggih nggak cuma
antibodi. Untuk menetralisir racun tidak
cukup antibodi. Antibodi hanya pembungkus dan semacam borgol saja agar racun
bisa dijinakkan oleh fagosit (tentara-tentara tubuh yang berfungsi
menghancurkan racun).
Yang repot jika
fagosit yang bertugas memakan racun tidak berfungsi dengan baik. Pada orang
yang menderita TBC memang diketahui ada disfungsi pada salah satu sel fagosit
yaitu makrofag. Selain itu zat merusak seperti rokok, logam berat, polutan juga
bisa menyebabkan disfungsi pada makrofag kita.
Jadi intinya,
probabilitas orang sakit karena toksin (racun) bakteri cukup rendah. Kecuali
ada faktor pertahanan host yang rusak parah. Justru yang terbesar adalah karena
faktor manusia sebagai hostnya.
Tidak semua manusia
punya kerentanan yang sama terhadap penyakit. Penelitian membuktikan bahwa ada
individu yang lebih rentan dan sebaliknya ada yang resisten .
MasyaAllah ...
resisten secara genetik. Siapa yang lebih rentan? Tentu individu yang cacat
benteng tubuhnya, punya hipersensitifitas, cacat genetik kerena mutasi, atau
karena ada variasi genetik seperti polimorfisme, defisiensi vitamin A dan D
yang penting untuk regulasi pertahanan dan produksi anti mikroba, defisiensi
besi, keseimbangan mikrofloranya terganggu (disbiosis), dan lainnya.
Faktornya sangat
individual. Tidak selalu sama faktor penyebabnya.
Kalau kita bicara
siapa yang kebal? Kebal artinya resisten secara genetik, maka secara genetik
toksin tidak bisa meracuni selnya. Jadi benar benar sudah dari sononya dibikin
kebal sama Allah. Caranya? Wallahu a'llam ... kita pelajari pelan-pelan
ya.
Jadi kita harus
tahu dulu tentang bagaimana mekanisme toksin merusak sel. Seperti toksin
difteri yang bisa meracuni sel bila berikatan dengan bagian-bagian dari membran
sel tubuh kita yang disebut reseptor. Reseptornya spesifik diberi nama Hb-egf.
Setelah berikatan maka toksin ini akan diteruskan masuk ke dalam sel melalui
mekanisme yang disebut endositosis. Masuk ke dalam bangunan dalam sel yang
berbentuk kantung yang disebut endosom. Prosesnya rumit.
MasyaAllah semua
dalam kendali Allah.
Nah ada orang yang
rentan karena memiliki jumlah reseptor terlalu banyak. Yang kebal memiliki
reseptor lebih sedikit atau bisa dikatakan hampir tidak punya. Sebenarnya dalam
proses endositosis toksin akan didegradasi melalui proses enzimatik melibatkan
protease dalam sel. Dan harus bekerja dalam PH tertentu. Pada orang menderita
TBC diketahui rentan terjadi gangguan dalam regulasi PH di dalam endosom.
Untuk membuat
rentan atau kebal secara genetik adalah kuasa Allah, sangat mudah bagi-Nya
untuk melakukannya. Contohnya, dengan mengutak-atik reseptornya. Reseptor bisa
dinaikkan dan bisa diturunkan, bahkan bisa diblok.
Menarik, yang sudah
ditemukan ilmuwan adalah metode mengutak atik reseptor dengan memanfaatkan
virus seperti virus small pox, virus campak dll.
Bahkan ditangan
ilmuwan yang hobi utak atik gen, toksin difteri bahkan bisa digunakan untuk
senjata pembunuh kanker. Seperti kanker prostat, ovarium, otak, dan lainnya.
Disbiosis,
diversitas mikrobiota yang berubah. Mungkin harus dipetakan bagaimana karakteristik
microbiota orang orang yang sakit parah atau yang sakit ringan dibandingkan
dengan yang sehat. Diambil dari empat
domain epidemologi. Hal ini juga berarti bahwa etiologi/penyebab penyakit
infeksi tidak mungkin hanya kerena faktor keganasan mikrobanya.
Back to etiologi yang
multifaktor, salah satu faktor selain host yang terpenting adalah faktor
lingkungan mikro.
Jadi, yg berbahaya
dr c. Diphteria itu racunnya. Racunnya ini bersifat racun eksotoksin. Jadi
dikeluarkan dr sel bakteri. Bekerja merusak sel mll ikatan dengan reseptor. Di
tingkat seluler sebenarnya tidak ada sel khusus yang menjadi target
kerusakannya. Atau dalam bahasa ilmiahnya,
tidak ada sifat tropisme. Kalau hiv beda. Hiv punya sifat tropisme dengan
sel limfosit T. Maka semua sel yang punya reseptor ya bisa rusak.
Terutama di
permukaan dalam mulut yang dilapisi mukosa yang tersusun atas sel keratin
(mirip dengan kulit) hanya kalo dikulit ada lapisan keratin. Di dalam mukosa dalam
mulut tidak.
Nah, karakteristik
sel keratin ini memang unik, punya reseptor terhadap egf, disebut egfr,
tiap-tiap individu berbeda-beda jumlahnya.
Di mukosa
mulut ini
pertahanannya bersifat berlapis. Sebelum sempat bersentuhan dengan reseptor sel
keratin seharusnya toksin akan menghadapi benteng yang tidak mudah ditembus, yang
melapisi permukaan epitel. Lapisan ini berasal dari air ludah maupun dari apa yang
diproduksi sel keratin sendiri.
Di ludah ada banyak
enzim protease, defensin, epidermal growth factor (EGF). Sitokin, TnF alfa, dan
lainnya, yang logikanya cukup ampuh menetralisir racun.
Selain itu keratin
sendiri kalo ada alarm bahaya juga bisa mengeluarkan banyak senjata termasuk
defensin.
Belum lagi kalo ada
alarm bahaya keratin juga bisa berkomunikasi dengan mengeluarkan sinyal memanggil
dan membangunkan tentara-tentara yang berjaga-jaga di sekitarnya.
Sel-sel penjaga di
sana banyak ada yang prajurit rendah hingga setingkat pasukan khusus bersenjata
canggih (tapi sepertinya nggak ada yang kayak densus ya )
Mungkin nk cell itu
bisa disebut setingkat densus, nggak perlu pengenalan, tembak ditempat.
Nah, harusnya
toksin ini didegradasi oleh para tentara tubuh, terutama sekelas penjinak bom
... seperti makrofag.
Makrofag ini hanya
bisa mendegradasi racun dg berat molekul yg besar, dan menempel di
permukaannya. Maka untuk netralisasi toksin ini butuh molekul lain seperti
komplemen atau antibodi.
Yang menjadi
masalah bila makrofag ini mengalami disfungsi. Maka akan banyak molekul toksin
yg terikat antibodi beredar kemana-mana, disebut kompleks antigen antibodi.
Kalau sudah begini
biasanya tergantung kompleks antigen itu mau dibawa kemana oleh darah dan
menempel di mana.
Kalau nempel di sel
jantung, akhirnya sel jantung rusak. Kalau sudah rusak dan mati, kerusakan bisa
tambah diperparah bila matinya sel itu mengaktifkan peradangan akut
disekitarnya. Dalam hal toksin difteri yang sering terkena selain sel epitel
adalah sel Jantung dan sel syaraf.
Biasanya kelainan
ini akan juga diperparah bila regulasi untuk mengontrol peradangan ini rusak.
Pada orang-orang yang
alergi, punya autoimun, hipersensitifitas tipe lain, tgf beta, dan sel T yg
berfungsi menekan radangnya rendah (sel t regulator) Hal ini bisa memperparah
dan menimbulkan komplikasi.
Orang yg mengalami
defisiensi vitamin A mekanisme kontrol terhadap radang biasanya juga rendah. Karena
salah satu efek dari vitamin A memicu diferensiasi sel T menjadi sel T
regulator dan produksi tgf beta.
Demikian pula
produksi antibodi sIgA juga dipengaruhi vitamin A.
Selain itu orang yang
mengalami defisiensi vit D. Orang yang defisiensi vit D maka produksi defensin
dan kontrol terhadap peradangannya juga rendah. Mekanismenya hampir mirip dengan
vitamin A.
Karena vitamin D
juga punya peran dalam kontrol peradangan.
Jadi dapat
disimpulkan, patogenesis kerusakan sel, jaringan dan organ karena toksin
difteri itu secara garis besar terjadi melalui dua mekanisme, yaitu:
1. Daya rusak
toksin itu secara lokal
2. Reaksi
imunologis yang cascadenya dipengaruhi
oleh banyak faktor meliputi efek radang akut dan reaksi
hipersensitifitas
Yang kedua ini
biasanya efeknya sistemik.
Lanjut ke gambaran
morfologi.
Secara lokal,
toksin mempengaruhi epitel. Jadi sel epitel
yang rusak biasanya akan berusaha bertahan dengan memproduksi keratin.
Dan itu merupakan
efek sekunder atau komplikasi.
Normalnya di rongga
mulut kan tidak berkeratin. Keratin ini yang akhirnya menimbulkan gambaran
keputihan. Maka diagnosis bandingnya banyak.
Dan gambaran ini
sebenarnya tidak spesifik karena toksin difteri saja. Karena dengan rangsangan
lain pun reaksinya demikian.
Kalau sampai selnya
mati dan sel yang mati pecah, maka akan memicu peradangan. Peradangan memicu
sekresi lendir dan kematian sel lebih lanjut. Karena ada benda-benda ini tubuh
reaksinya berusaha melokalisir. Jadi sebenarnya radang itu bermanfaat bila
terkontrol.
Dan batuk itu
adalah upaya tubuh mengeluarkan dahak. Karena lapisan epitel yang bersilia di dalam
nasofaring terangsang.
Yang repot ya itu
tadi, ada orang yang regulasi peradangannya rusak. Apalagi ada disfungsi
makrofag.
Kalau seperti ini
racun bisa kemana-kemana, memicu reaksi hipersensitifitas. Nyangkut di limfonodi, jantung, syaraf ...jadinya
meradang. Bisa juga terjadi anemia hemolitik.
Gambaran
morfologinya bermacam-macam, ada leukoplakia, sebukan sel radang, area nekrosis
luas. Tapi ini tidak khas untuk difteri.
Maka diagnosis
pasti bukan dengan pemeriksaan PA. Tapi dengan kultur dan karakterisasi
kumannya dengan teknologi Rt PCR dan juga ditemukan produksi toksinnya.
Dari sini
sebenarnya sudah bisa diketahui manifestasi kliniknya.
Tulisan yang
beredar sudah cukup ya. Tapi yang perlu saya garis bawahi adalah manifestasi
klinik ini derajatnya berbeda-beda. Yang ringan ya terbatas lesi lokal saja.
Yang parah, ya yang sampai ke mana-mana tadi. Bahkan ada yang sehat-sehat saja
walau terpapar.
Secara Ilmiah, maka
out comenya terbagi menjadi beberapa tingkatan.
1. Yang sehat
disebut sub klinis/asimptomatik. 2. Yang ringan paling demam dan batuk ringan.
3. Yang parah tergantung faktor pemberat dan peringan serta penanganan.
Prognosisnya, kalau
yang asimptomatik artinya sembuh sempurna. Kalau yang ringan, ya sembuh sempurna.
Nah, yang berat ya tergantung faktor-faktor tadi. Saya blm cek berapa persennya
menurut data epidemiologi ya.
Wallahu a'lam
bish-shawwab.
Bila ada kebenaran
dari yang saya sampaikan itu semata-mata dari Allah. Segala kesalahan itu
datangnya dari hamba yang lemah akalnya yang hanya bisa meraba-raba di antara
luasnya Ilmu Allah SWT.
Photo Credit:
Liputan6
Flickr: Sanofly Pasteur
Photo Credit:
Liputan6
Flickr: Sanofly Pasteur
*Tulisan ini
diambil atas izin langsung dari penulisnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.