Shahih Bukhari 3514: Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu
bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
lalu beliau datangi istri-istri beliau.
Para istri beliau berkata; "Kami
tidak punya apa-apa selain air".
Maka kemudian Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada orang banyak: "Siapakah yang
mau mengajak atau menjamu orang ini?".Maka seorang laki-laki dari Anshar
berkata; "Aku".
Sahabat Anshar itu pulang
bersama laki-laki tadi menemui istrinya lalu berkata; "Muliakanlah tamu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ini".
Istrinya berkata; "Kita
tidak memiliki apa-apa kecuali sepotong roti untuk anak kita".
Sahabat Anshar itu berkata; “Suguhkanlah
makanan kamu itu lalu matikanlah lampu dan tidurkanlah anakmu".
Ketika mereka hendak
menikmati makan malam, maka istrinya menyuguhkan makanan itu lalu mematikan
lampu dan menidurkan anaknya kemudian dia berdiri seakan hendak memperbaiki
lampunya, lalu dimatikannya kembali.
Suami- istri hanya
menggerak-gerakkan mulutnya (seperti mengunyah sesuatu) seolah keduanya ikut
menikmati hidangan. Kemudian keduanya tidur dalam keadaan lapar karena tidak
makan malam.
Ketika pagi harinya,
pasangan suami istri itu menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Maka beliau
berkata: "Malam ini Allah tertawa atau terkagum-kagum karena perbuatan
kalian berdua".
Maka kemudian Allah
menurunkan firman-Nya dalam Q.S. al-Hasyr ayat 9 yang artinya: ("Dan
mereka (kaum anshar) lebih mengutamakan orang lain ( kaumMuhajirin) dari pada
diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu. Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang
beruntung").
Sahabat, itulah gambar orang-orang ansor; pembela dan penolong rasul dan
yang menampung beliau dan saudara-saudaranya yang hijrah dalam kemiskinan. Mereka
menetap dalam kota madinah dan tetap teguh dengan imannya, lalu menunggu
saudaranya yang hijrah dan meninggalkan kampung halamannya.
“Mereka itu mencintai orang yang berhijrah kepada mereka”. Tidak ada rasa benci/ muak atau bosan dengan saudara seiman yang baru
datang itu, melainkan rasa kasih yang ada. “Dan mereka tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(orang Muhajirin)” Artinya tidaklah ada rasa dengki atau iri hati kaum Anshar
melihat Allah dan Rasul-Nya memberikan anugrah berlebih kepada saudara-saudara
kaum Muhajirin itu. “dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas
diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).”
Sahabat, apakah Anda pernah merasakan, melihat, atau mendengar ada orang
yang mengutamakan orang lain atas diri mereka sendiri, padahal mereka sangat
memerlukan sesuatu yang mereka berikan itu hari ini? mungkin ada, tapi tentu
jarang. Semua itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang hatinya telah
diterangi cahaya iman, mengenal siapa Rabb yang Maha Melihat dan berhak
disembah, mengenal akhirat, dan mencintai Rasul-Nya.
Bisakah Anda membayangkan, kecintaan mereka kaum anshor kepada muhajirin
tidak diikat oleh tali kekeluargaan, mereka bukan sedang menunggu anak, bapak,
paman, bibi, atau saudara sedarah, tetapi mereka diikat dengan tali yang lebih
kokoh yaitu tali keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tentu, peristiwa ini
mengajarkan kepada kita bahwa hanya karena dorongan imanlah kita bisa menyatu,
senasip seperjuangan, rela berkorban untuk berbagi.