Jumat, 03 November 2017

Surah Al-Maidah Ayat 105: Teguhkan Pribadimu

"Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. Al-Maidah: 105)

Jika kita baca dengan seksama ayat di atas terkesan menyuruh kita untuk menjaga diri sendiri, ketika banyak hal buruk sedang terjadi. Pada zaman sahabat-sahabat sendiri rupanya ayat ini sudah menjadi perbincangan. Perintah amar ma’ruf nahi munkar tetap berlaku dan dikerjakan terus.

Menurut Abdullah bin Mas’ud, ayat ini pernah dibicarakan orang di dalam majelis Ibnu Mas’ud ada dua orang rupanya bertengkar di hadapan majelis itu sehingga hampir berkelahi. Melihat kejadian itu, seorang yang duduk dalam majelis Abdullah bin Mas’ud berkata, “Lebih baik saya berdiri dan saya melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada kedua orang yang hendak berkelahi ini.” kemudian, seorang lagi yang turut duduk juga di dalam majelis itu berkata, “Biarkan sajalah! Bukankah sudah ada ayat yang mengatakan jaga sajalah dirimu!”

Selama hati kamu masih satu, belum ada berpecah belah menjadi beberapa golongan dan sebagian kamu belum menderita sebab serangan sebagian lainnya maka hendaklah kamu tetap beramar ma’ruf nahi munkar. Namun, apabila hati kamu telah berpecah belah bergolong-golongan, yang setengah telah menyerang yang setengah maka pada waktu itu menjaga diri sendirilah yang mesti kamu pentingkan. Pada waktu itulah datangnya takwil ayat ini. demikian keterangan Ibnu Mas’ud. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Abdullah bin Umar pun pernah berkata seperti itu. Kata beliau, “Ayat ini belum berlaku terhadap diriku dan kawan-kawanku karena Rasulullah telah memerintahkan agar orang-orang yang pernah menyaksikan beliau, seperti kami ini, supaya menyampaikan kepada yang tidak hadir. Tetapi, ayat ini akan berlaku di atas kaum yang akan datang sesudah kita yang kalau mereka menyampaikan suatu peringatan tidak lagi akan diterima orang.” Riwayat Ibnu Jarir.

Dalam majelis pada zaman khalifah Utsman bin Affan di Madinah, pernah juga orang membicarakan ayat ini. sebagian besar menyatakan bahwa takwil ayat ini belum ada sekarang.

Berdasarkan perkataan para sahabat yang besar itu, Abdullah bin Mas’ud,  Abdullah bin Umar, dan majeleis  Sayyidina Ustman, mengertilah kita bahwa memang ayat-ayat Al-Qur’an itu, termasuk ayat ini, ada yang baru dipahami pengertiannya lama sesudah Rasulullah wafat dan lama sesudah sahabat-sahabat Rasulullah shalaullohhu ‘alihi wassalam sendiri. Sebab pada zaman para sahabat sendiri belum terlihat suatu sebab pun untuk menjalankan ayat ini. semua orang masih wajib beramar ma’ruf nahi munkar.

Namun, di belakang beliau akan datang suatu masa, kekacauan memuncak, orang hidup sendiri-sendiri, perpecahan dan cemburu, salah menyalahkan, nasihat tidak berharga, kejujuran menjadi tertawaan. Hal yang sebenarnya tidak boleh dibicarakan, orang yang cari muka terlalu banyak, maka pada itu ingatlah diri sendiri, peliharalah iman kepada Allah dan tidak perlu terlalu banyak melihat  orang lain.

Mencermati kata-kata dan pertimbangan sahabat-sahabat Rasulullah yang utama itu, kita mendapat kesan bahwa mereka berpendapat pada zaman mereka ayat ini belum akan berlaku. Artinya, amar ma’ruf nahi munkar mesti terus dijalankan. Barangkali nanti kemudian hari, amar ma’ruf nahi munkar terpaksa didiamkan karena pada zaman itu kekacauan kelak akan memuncak. Zaman ketika orang yang berani mengatakan yang benar akan dianaiaya orang. Dan hal yang beliau isyaratkan itu memang telah terjadi pada zaman kita ini.

Pihak-pihak yang berkuasa dalam satu negeri menyuruh rakyat menyatakan terus terang apa yang salah. Namun, kalau yang salah itu dikatakan terus-terang, mereka malah marah dan diri sendiri bisa mendapat bahaya, misalnya dihukum, dipenjara, diasingkan, bahkan di singkirkan.

Menurut pemahaman ibnu mas’ud, kalau keadaan sudah serupa itu nanti, jaga sajalah dirimu menurut ayat ini. asal engkau sudah langsung mengambil petunjuk dari Allah, betapa pun sesatnya orang lain mereka tidak akan memberi bahaya bagi kamu. Adapun sekarang ini (zaman Ibnu Mas’ud zaman gemilang sahabat Rasulullah), amar ma’ruf nahi munkar mesti terus dilakukan.

Benarkah demikian? Kita sebaiknya berdiam diri saja jika melihat kekacauan?

Paham Ibnu Mas’ud dan paham Ibnu Umar dan satu pembicaraan dalam majelis Khalifah Ustman bin Affan ini, dengan sendirinya telah terbantah oleh Hadist Rasulullah sendiri dan satu isi khutbah Sayyidina Abu Bakar ash- Shiddiq.

Tirmidzi telah meriwayatkan dari Abi Umayyah asy-Syaibani. Dia berkata, “Saya pernah datang bertanya kepada Abi Tsalabah al-Khusyani, ‘Bagaimana sikapmu terhadap ayat ini? wahai orang yang beriman! Jagalah dirimu, tidaklah akan memberi mudharat kepada kamu orang yang telah tersesat, asal engkau telah mencari petunjuk.’ Dia menjawab, ‘sungguh demi Allah! Hal ini pernah saya tanyakan kepada orang yang lebih mengerti maksudnya, yaitu Rasulullah shalaullahhu ‘alihi wassalam sendiri. Beliau telah menjawabnya!”

Pangkal ayat ini adalah peringatan yang sangat mendalam kesannya bagi tiap orang yang beriman. Oleh karena itu, dimulailah seruan kepada orang yang beriman! Hendaklah terlebih dahulu tiap-tiap mukmin itu menjaga dirinya sendiri, memupuk imannya, memperdalam pengetahuannya tentang agamanya, belajar dan berguru, dan bertanya kepada yang pandai supaya mengetahui mana perintah Allah dan Rasul yang dilarang, mana yang sunnah, dan mana yang bid’ah.

Ayat ini memerintahkan tiap Mukmin agar mempertinggi kualitas pribadinya, memperdalam iman, dan memperbanyak amalnya. Orang yang mukmin hidup dalam jamaah. Tiap waktu mereka diperintahkan shalat lima waktu dengan mencampurkan diri ke dalam masyarakatnya, sekurang-kurangnya masyarakat sekampungnya dalam mushola kecil dan masjid besar. Meskipun melihat orang  yang sesat, dia tidak akan turut hanyut dalam kesesatan itu kalau dia waspada memelihara imannya sendiri. Dia tidak akan terpesona oleh banyaknya yang buruk dan sedikit yang baik. Yang buruk tetap buruk, walaupun lebih banyak sebagai yang disebutkan dalam ayat,

“Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." (Q.S. AL-Maidah: 100)

Orang diperintahkan selalu melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Menyuruh berbuat baik, mencegah berbuat munkar. Namun, kalau seorang hanya pandai menyuruh dan melarang, padahal dirinya sendiri tidak dijaganya, tidaklah akan ada harga ucapannya itu. Oleh karena itu, setiap mukmin, di samping menyuruh dan mencegah orang lain, hendaklah terlebih dahulu sanggup menyuruh dan mencegah diri sendiri.

Tepat apa yang yang dikatakan oleh setengah pujangga, “Orang yang tidak sanggup mengatur dirinya sendiri, tidaklah dia akan sanggup mengatur orang lain.” Oleh karena itu, kalau tiap mukmin itu telah sadar akan dirinya, walaupun di kiri kanan dia melihat kesesatan, dia tidak akan turut tenggelam dalam kesesatan itu.

Dengan demikian, menjaga diri sendiri memiliki dampak pada dua hal. pertama, kebesaran jiwa, sehingga sanggup menegur kesalahan orang yang salah. Kedua,  kalaupun nasihatnya tidak diacuhkan orang, dia sendiri akan tetap selamat dalam imannya.

Apabila mukmin telah menjaga dirinya sendiri-sendiri, mempertinggi mutu imannya, tidak silau melihat orang yang tersesat, terjadilah perlombaan yang sehat dalam meningkatkan kualitas dirinya masing-masing. Orang tidak lagi hanya mengalah, menyatakan kesalahan, dan keburukan orang lain karena masing-masing sudah menyelidiki kekurangan yang ada pada dirinya.

Mengapa penting untuk saling mengevaluasi diri sendiri?
Karena sering kali keburukan masyarakat memuncak sebab masing-masing orang hanya ingat kesalahan orang lain, atau kesalahan golongan lain, lalu mengeluh. masing-masing orang lupa melihat dimana sebenarnya letak kesalahan itu, yaitu pada masing-masing diri kita.

Pernah suatu ketika ada orang yang bertanya kepada mufassir, “Bagaimana akal memerangi krisis akhlak dalam masyarakat sekarang ini?” lalu mufassir hanya menjawab, “adakan satu panitia besar, seluruh orang jadi anggotanya. Dan tiap-tiap orang hanya diberi satu tugas saja, yaitu memperbaiki dirinya sendiri!”

Apakah ini cukup? Bagaiamana penafsiran para salahfus sholeh?

Sekali lagi, sepintas ayat ini, seakan-akan dia hanya menyuruh orang mementingkan diri sendiri saja. Asal diri sendiri sudah teguh iman, tidak peduli kalau orang lain sesat. Padahal agama dengan keras menyuruh menegakkan amar-ma’ruf nahi munkar. Oleh sebab itu, ada juga ahli tafsir salah yang berkata, “Takwil yang sebenarnya tentang ayat ini kalau bertemu pada zaman kita, niscaya kelak akan terang juga apa maksudnya.” 

Baca juga: Berlakulah Adil, Walau pada Dirimu

Namun, sa’id bin Musayyab memberikan tafsir yang tegas, yaitu, “Apabila engkau sudah menyuruh yang makruf dan mencegah yang munkar maka sekali-kali tidakalah akan membahayakan kepada kamu yang tersesat, bila dirimu telah mendapat petunjuk.

 Sebuah hadist shahih yang telah kita kenal,

“Barangsiapa melihat yang munkar, hendaklah dia ubah dengan tangannya. Kalau dia tidak sanggup, hendaklah ubah dengan lidahnya. Dan kalau dia tidak juga sanggup, hendaklah dengan hatinya. Tetapi (dengan hati), itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)

Setelah mencermati semua keterangan di atas, hilanglah kesamaran karena melihat ayat ini sepintas lalu. Sebagai mukmin, kita masing-masing wajib menjaga diri sendiri, mempertinggi mutu iman kita sehingga kita tidak dapat disesatkan oleh orang sesat karena kita telah mendapat hidayah Allah. Lebih dari itu, amar ma’ruf nahi munkar sekali-kali tidak boleh dihentikan. Kalau keadaan tidak mengizinkan untuk amar ma’ruf nahi munkar yang tegas, tetapi dengan sikap hidup dan “hijrah hati” hendaklah amar ma’ruf nahi munkar itu diteruskan. Seperti pepatah syair arab:

“Kalau engkau tidak sanggup mengerjakan sesuatu, tinggalkan dia dan ambil mana yang engkau sanggupi.”

Dalam sebuah keterangan Rasulullah pernah bersabda,

“bahkan hendaklah kamu suruh-menyuruh berbuat ma’ruf, cegah-mencegah berbuat munkar sehingga, walaupun telah engkau lihat kebakhilan yang ditaati dan hawa nafsu yang diperturutkan, dunia lebih dipentingkan, dan setiap yang mengemukakan suatu pendapat merasa bangga dengan pendapatnya. Waktu itu, hendaklah engkau perkuat pribadimu dan jangan mempedulikan orang awam. Karena sesungguhnya di belakangmu ini akan datang hari-hari yang kesabaran padanya adalah laksana memegang bara panas. Orang yang bekerja pada masa itu akan mendapat pahala 50 orang laki-laki yang beramal seperti amalmu.”

Abdullah bin Mubarak menambahkan, “Ditambah penjalasan orang yang lain dari Utbah kepadaku, ‘ditanya orang kepada Rasulullah  shalaullahhu ‘allaihi wasalam pahala 50 orang yang mana yang beliau maksud? Apakah 50 orang yang hidup pada zaman Rasul (Sahabat-sahabat Rasulullah)? Ataukah pahala 50 orang dari mereka yang hidup pada zaman akan datang itu?’ Rasulullah shalaullahhu al’aihi wasalam menjawab tegas, ‘Pahala 50 orang daripada kamu!”

Dari hadist ini kita mendapat pelajaran yang jelas dan tegas bahwa maksud ayat ini berlaku untuk seluruh zaman, yaitu semua muslim Mukmin wajib memperteguh pribadinya dengan mencari selalu petunjuk Allah. Karena kalau petunjuk Allah telah memenuhi jiwa, kita tidak akan ditimpa rasa takut berhadapan dengan siapa pun yang sesat dari jalan Allah. Dan setelah pribadi diperkuat, hendakal segera melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan bertambah kacaunya dunia ini, hendaklah bertambah seorang mukmin mendekati petunjuk Allah. Dan setelah kuat oleh petunjuk itu, dia wajib meneruskan tugasnya melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

Ada juga riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, dari Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahhu ‘anhu bahwa suatu hari beliau berdiri berkhutbah, lalu beliau mengucapkan puji-pujian dan sanjungan kepada Allah, lalu beliau berkata:

“Wahai manusia. Kamu membaca ayat Allah. Wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu, tidaklah akan memberi mudharat kepada kamu orang yang telah sesat apabila kamu tetap mencari petunjuk. Sesungguhnya kamu telah meletakkan ayat ini bukan pada tempatnya. Aku telah mendengar sendiri dari Rasulullah shalaullahhu ‘alihi wassalam beliau bersabda, ‘Sesungguhnya manusia, jika melihat perbuatan yang munkar tidak diubahnya, pastilah mereka akan dilingkupi oleh Allah Ta’ala dengan siksaan-Nya.” (Hr. Ahmad)

Dengan kedua keterangan ini, dari Rasul dan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, tidak ada yang patut kita ragukan lagi. Orang-orang yang telah menerima tanggung jawab dari Rasulullah shalaullohu ‘alaihi wassalam agar menegakkan kebenaran di dunia ini, wajiblah terlebih dahulu memperkuat pribadinya dengan petunjuk Allah, dengan ibadah, dzikir, dan dengan menjauhi perbuatan yang haram. Sehingga tidak ada tempat takut lagi, selain Allah. Dan mulailah amar ma’ruf nahi munkar. Bertawakal kepada Allah, walau apa pun yang akan terjadi. Dengan demikian, datanglah kepastian di ujuang ayat,

“Kepada Allah-lah tempat kembali kamu sekalian.” Peringatan allah pada ayat ini menambah kuat pribadi lagi. Kuatlah diri dengan petunjuk Allah, tegakkan jamaah islamiah, berani mengadakan amar ma’ruf nahi munkar, dan ingat bahwa kita akan kembali kepada Allah, tempat kita mempertanggungjawabkan segala yang kita lakukan.

Dan Allah menutupnya dengan,

“Maka dia akan menjelaskan kepada kamu apa yang  telah kamu kerjakan”

Karena semua amal dan usaha akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan Allah mengetahui nilai dari amal usaha kita itu, apa beramal karena Allah atau karena yang lain, tidak ada jalan lain yang harus ditempuh, melainkan ikhlas beramal karena Allah.

Wallahhu ‘alam

Jakarta, 12 Safar 1439 H

 Photo Credit: Thebalance

Sumber :
Hamka.  2015. Tafsir Al-Azhar: Jilid 3 Diperkaya dengan Pendekatan Sejarah, Sosiologi, Tasawuf, Ilmu Kalam, Sastra, dan Psikologi. Jakarta: Gema Insani, Hal. 57-61.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.