"Hai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan
memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada
Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan." (QS. Al-Maidah: 105)
Jika
kita baca dengan seksama ayat di atas terkesan menyuruh kita untuk menjaga diri
sendiri, ketika banyak hal buruk sedang terjadi. Pada zaman sahabat-sahabat
sendiri rupanya ayat ini sudah menjadi perbincangan. Perintah amar ma’ruf nahi
munkar tetap berlaku dan dikerjakan terus.
Menurut
Abdullah bin Mas’ud, ayat ini pernah dibicarakan orang di dalam majelis Ibnu
Mas’ud ada dua orang rupanya bertengkar di hadapan majelis itu sehingga hampir
berkelahi. Melihat kejadian itu, seorang yang duduk dalam majelis Abdullah bin
Mas’ud berkata, “Lebih baik saya berdiri dan saya melakukan amar ma’ruf nahi
munkar kepada kedua orang yang hendak berkelahi ini.” kemudian, seorang lagi
yang turut duduk juga di dalam majelis itu berkata, “Biarkan sajalah! Bukankah sudah
ada ayat yang mengatakan jaga sajalah dirimu!”
Selama
hati kamu masih satu, belum ada berpecah belah menjadi beberapa golongan dan
sebagian kamu belum menderita sebab serangan sebagian lainnya maka hendaklah
kamu tetap beramar ma’ruf nahi munkar. Namun, apabila hati kamu telah berpecah
belah bergolong-golongan, yang setengah telah menyerang yang setengah maka pada
waktu itu menjaga diri sendirilah yang mesti kamu pentingkan. Pada waktu itulah
datangnya takwil ayat ini. demikian keterangan Ibnu Mas’ud. Diriwayatkan oleh
Ibnu Jarir.
Abdullah
bin Umar pun pernah berkata seperti itu. Kata beliau, “Ayat ini belum berlaku
terhadap diriku dan kawan-kawanku karena Rasulullah telah memerintahkan agar
orang-orang yang pernah menyaksikan beliau, seperti kami ini, supaya
menyampaikan kepada yang tidak hadir. Tetapi, ayat ini akan berlaku di atas
kaum yang akan datang sesudah kita yang kalau mereka menyampaikan suatu
peringatan tidak lagi akan diterima orang.” Riwayat Ibnu Jarir.
Dalam majelis
pada zaman khalifah Utsman bin Affan di Madinah, pernah juga orang membicarakan
ayat ini. sebagian besar menyatakan bahwa takwil ayat ini belum ada sekarang.
Berdasarkan
perkataan para sahabat yang besar itu, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, dan majeleis Sayyidina Ustman, mengertilah kita bahwa
memang ayat-ayat Al-Qur’an itu, termasuk ayat ini, ada yang baru dipahami
pengertiannya lama sesudah Rasulullah wafat dan lama sesudah sahabat-sahabat
Rasulullah shalaullohhu ‘alihi wassalam sendiri. Sebab pada zaman para sahabat
sendiri belum terlihat suatu sebab pun untuk menjalankan ayat ini. semua orang
masih wajib beramar ma’ruf nahi munkar.
Namun,
di belakang beliau akan datang suatu masa, kekacauan memuncak, orang hidup
sendiri-sendiri, perpecahan dan cemburu, salah menyalahkan, nasihat tidak
berharga, kejujuran menjadi tertawaan. Hal yang sebenarnya tidak boleh
dibicarakan, orang yang cari muka terlalu banyak, maka pada itu ingatlah diri
sendiri, peliharalah iman kepada Allah dan tidak perlu terlalu banyak
melihat orang lain.
Mencermati
kata-kata dan pertimbangan sahabat-sahabat Rasulullah yang utama itu, kita
mendapat kesan bahwa mereka berpendapat pada zaman mereka ayat ini belum akan
berlaku. Artinya, amar ma’ruf nahi munkar mesti terus dijalankan. Barangkali nanti
kemudian hari, amar ma’ruf nahi munkar terpaksa didiamkan karena pada zaman itu
kekacauan kelak akan memuncak. Zaman ketika orang yang berani mengatakan yang
benar akan dianaiaya orang. Dan hal yang beliau isyaratkan itu memang telah
terjadi pada zaman kita ini.
Pihak-pihak
yang berkuasa dalam satu negeri menyuruh rakyat menyatakan terus terang apa
yang salah. Namun, kalau yang salah itu dikatakan terus-terang, mereka malah
marah dan diri sendiri bisa mendapat bahaya, misalnya dihukum, dipenjara,
diasingkan, bahkan di singkirkan.
Menurut pemahaman
ibnu mas’ud, kalau keadaan sudah serupa itu nanti, jaga sajalah dirimu menurut
ayat ini. asal engkau sudah langsung mengambil petunjuk dari Allah, betapa pun
sesatnya orang lain mereka tidak akan memberi bahaya bagi kamu. Adapun sekarang
ini (zaman Ibnu Mas’ud zaman gemilang sahabat Rasulullah), amar ma’ruf nahi
munkar mesti terus dilakukan.
Benarkah demikian? Kita sebaiknya berdiam
diri saja jika melihat kekacauan?
Paham
Ibnu Mas’ud dan paham Ibnu Umar dan satu pembicaraan dalam majelis Khalifah
Ustman bin Affan ini, dengan sendirinya telah terbantah oleh Hadist Rasulullah
sendiri dan satu isi khutbah Sayyidina Abu Bakar ash- Shiddiq.
Tirmidzi
telah meriwayatkan dari Abi Umayyah asy-Syaibani. Dia berkata, “Saya pernah
datang bertanya kepada Abi Tsalabah al-Khusyani, ‘Bagaimana sikapmu terhadap
ayat ini? wahai orang yang beriman! Jagalah dirimu, tidaklah akan memberi
mudharat kepada kamu orang yang telah tersesat, asal engkau telah mencari
petunjuk.’ Dia menjawab, ‘sungguh demi Allah! Hal ini pernah saya tanyakan
kepada orang yang lebih mengerti maksudnya, yaitu Rasulullah shalaullahhu ‘alihi
wassalam sendiri. Beliau telah menjawabnya!”
Pangkal ayat
ini adalah peringatan yang sangat mendalam kesannya bagi tiap orang yang
beriman. Oleh karena itu, dimulailah seruan kepada orang yang beriman! Hendaklah
terlebih dahulu tiap-tiap mukmin itu menjaga dirinya sendiri, memupuk imannya,
memperdalam pengetahuannya tentang agamanya, belajar dan berguru, dan bertanya
kepada yang pandai supaya mengetahui mana perintah Allah dan Rasul yang
dilarang, mana yang sunnah, dan mana yang bid’ah.
Ayat ini
memerintahkan tiap Mukmin agar mempertinggi kualitas pribadinya, memperdalam
iman, dan memperbanyak amalnya. Orang yang mukmin hidup dalam jamaah. Tiap waktu
mereka diperintahkan shalat lima waktu dengan mencampurkan diri ke dalam
masyarakatnya, sekurang-kurangnya masyarakat sekampungnya dalam mushola kecil
dan masjid besar. Meskipun melihat orang
yang sesat, dia tidak akan turut hanyut dalam kesesatan itu kalau dia
waspada memelihara imannya sendiri. Dia tidak akan terpesona oleh banyaknya
yang buruk dan sedikit yang baik. Yang buruk tetap buruk, walaupun lebih banyak
sebagai yang disebutkan dalam ayat,
“Katakanlah: "Tidak sama yang buruk
dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka
bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat
keberuntungan." (Q.S. AL-Maidah: 100)
Orang diperintahkan
selalu melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Menyuruh berbuat baik, mencegah
berbuat munkar. Namun, kalau seorang hanya pandai menyuruh dan melarang, padahal
dirinya sendiri tidak dijaganya, tidaklah akan ada harga ucapannya itu. Oleh karena
itu, setiap mukmin, di samping menyuruh dan mencegah orang lain, hendaklah
terlebih dahulu sanggup menyuruh dan mencegah diri sendiri.
Tepat apa
yang yang dikatakan oleh setengah pujangga, “Orang yang tidak sanggup mengatur
dirinya sendiri, tidaklah dia akan sanggup mengatur orang lain.” Oleh karena
itu, kalau tiap mukmin itu telah sadar akan dirinya, walaupun di kiri kanan dia
melihat kesesatan, dia tidak akan turut tenggelam dalam kesesatan itu.
Dengan demikian,
menjaga diri sendiri memiliki dampak pada dua hal. pertama, kebesaran jiwa,
sehingga sanggup menegur kesalahan orang yang salah. Kedua, kalaupun nasihatnya tidak diacuhkan orang,
dia sendiri akan tetap selamat dalam imannya.
Apabila mukmin
telah menjaga dirinya sendiri-sendiri, mempertinggi mutu imannya, tidak silau
melihat orang yang tersesat, terjadilah perlombaan yang sehat dalam
meningkatkan kualitas dirinya masing-masing. Orang tidak lagi hanya mengalah,
menyatakan kesalahan, dan keburukan orang lain karena masing-masing sudah
menyelidiki kekurangan yang ada pada dirinya.
Mengapa
penting untuk saling mengevaluasi diri sendiri?
Karena sering
kali keburukan masyarakat memuncak sebab masing-masing orang hanya ingat
kesalahan orang lain, atau kesalahan golongan lain, lalu mengeluh.
masing-masing orang lupa melihat dimana sebenarnya letak kesalahan itu, yaitu
pada masing-masing diri kita.
Pernah suatu
ketika ada orang yang bertanya kepada mufassir, “Bagaimana akal memerangi
krisis akhlak dalam masyarakat sekarang ini?” lalu mufassir hanya menjawab, “adakan
satu panitia besar, seluruh orang jadi anggotanya. Dan tiap-tiap orang hanya
diberi satu tugas saja, yaitu memperbaiki dirinya sendiri!”
Apakah ini
cukup? Bagaiamana penafsiran para salahfus sholeh?
Sekali lagi,
sepintas ayat ini, seakan-akan dia hanya menyuruh orang mementingkan diri
sendiri saja. Asal diri sendiri sudah teguh iman, tidak peduli kalau orang lain
sesat. Padahal agama dengan keras menyuruh menegakkan amar-ma’ruf nahi munkar. Oleh
sebab itu, ada juga ahli tafsir salah yang berkata, “Takwil yang sebenarnya
tentang ayat ini kalau bertemu pada zaman kita, niscaya kelak akan terang juga
apa maksudnya.”
Baca juga: Berlakulah Adil, Walau pada Dirimu
Baca juga: Berlakulah Adil, Walau pada Dirimu
Namun,
sa’id bin Musayyab memberikan tafsir yang tegas, yaitu, “Apabila engkau sudah
menyuruh yang makruf dan mencegah yang munkar maka sekali-kali tidakalah akan
membahayakan kepada kamu yang tersesat, bila dirimu telah mendapat petunjuk.
Sebuah hadist shahih yang telah kita kenal,
“Barangsiapa
melihat yang munkar, hendaklah dia ubah dengan tangannya. Kalau dia tidak
sanggup, hendaklah ubah dengan lidahnya. Dan kalau dia tidak juga sanggup,
hendaklah dengan hatinya. Tetapi (dengan hati), itu adalah selemah-lemah iman.”
(HR. Muslim)
Setelah mencermati
semua keterangan di atas, hilanglah kesamaran karena melihat ayat ini sepintas
lalu. Sebagai mukmin, kita masing-masing wajib menjaga diri sendiri,
mempertinggi mutu iman kita sehingga kita tidak dapat disesatkan oleh orang
sesat karena kita telah mendapat hidayah Allah. Lebih dari itu, amar ma’ruf
nahi munkar sekali-kali tidak boleh dihentikan. Kalau keadaan tidak mengizinkan
untuk amar ma’ruf nahi munkar yang tegas, tetapi dengan sikap hidup dan “hijrah
hati” hendaklah amar ma’ruf nahi munkar itu diteruskan. Seperti pepatah syair
arab:
“Kalau
engkau tidak sanggup mengerjakan sesuatu, tinggalkan dia dan ambil mana yang
engkau sanggupi.”
Dalam sebuah
keterangan Rasulullah pernah bersabda,
“bahkan
hendaklah kamu suruh-menyuruh berbuat ma’ruf, cegah-mencegah berbuat munkar
sehingga, walaupun telah engkau lihat kebakhilan yang ditaati dan hawa nafsu
yang diperturutkan, dunia lebih dipentingkan, dan setiap yang mengemukakan
suatu pendapat merasa bangga dengan pendapatnya. Waktu itu, hendaklah engkau
perkuat pribadimu dan jangan mempedulikan orang awam. Karena sesungguhnya di
belakangmu ini akan datang hari-hari yang kesabaran padanya adalah laksana
memegang bara panas. Orang yang bekerja pada masa itu akan mendapat pahala 50
orang laki-laki yang beramal seperti amalmu.”
Abdullah
bin Mubarak menambahkan, “Ditambah penjalasan orang yang lain dari Utbah
kepadaku, ‘ditanya orang kepada Rasulullah
shalaullahhu ‘allaihi wasalam pahala 50 orang yang mana yang beliau
maksud? Apakah 50 orang yang hidup pada zaman Rasul (Sahabat-sahabat
Rasulullah)? Ataukah pahala 50 orang dari mereka yang hidup pada zaman akan
datang itu?’ Rasulullah shalaullahhu al’aihi wasalam menjawab tegas, ‘Pahala 50
orang daripada kamu!”
Dari hadist
ini kita mendapat pelajaran yang jelas dan tegas bahwa maksud ayat ini berlaku
untuk seluruh zaman, yaitu semua muslim Mukmin wajib memperteguh pribadinya
dengan mencari selalu petunjuk Allah. Karena kalau petunjuk Allah telah
memenuhi jiwa, kita tidak akan ditimpa rasa takut berhadapan dengan siapa pun
yang sesat dari jalan Allah. Dan setelah pribadi diperkuat, hendakal segera
melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan bertambah kacaunya dunia ini,
hendaklah bertambah seorang mukmin mendekati petunjuk Allah. Dan setelah kuat
oleh petunjuk itu, dia wajib meneruskan tugasnya melakukan amar ma’ruf nahi
munkar.
Ada juga
riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, dari Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq
radhiallahhu ‘anhu bahwa suatu hari beliau berdiri berkhutbah, lalu beliau
mengucapkan puji-pujian dan sanjungan kepada Allah, lalu beliau berkata:
“Wahai
manusia. Kamu membaca ayat Allah. Wahai orang-orang yang beriman jagalah
dirimu, tidaklah akan memberi mudharat kepada kamu orang yang telah sesat
apabila kamu tetap mencari petunjuk. Sesungguhnya kamu telah meletakkan ayat
ini bukan pada tempatnya. Aku telah mendengar sendiri dari Rasulullah
shalaullahhu ‘alihi wassalam beliau bersabda, ‘Sesungguhnya manusia, jika
melihat perbuatan yang munkar tidak diubahnya, pastilah mereka akan dilingkupi
oleh Allah Ta’ala dengan siksaan-Nya.” (Hr. Ahmad)
Dengan kedua
keterangan ini, dari Rasul dan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, tidak ada yang patut
kita ragukan lagi. Orang-orang yang telah menerima tanggung jawab dari
Rasulullah shalaullohu ‘alaihi wassalam agar menegakkan kebenaran di dunia ini,
wajiblah terlebih dahulu memperkuat pribadinya dengan petunjuk Allah, dengan
ibadah, dzikir, dan dengan menjauhi perbuatan yang haram. Sehingga tidak ada
tempat takut lagi, selain Allah. Dan mulailah amar ma’ruf nahi munkar. Bertawakal
kepada Allah, walau apa pun yang akan terjadi. Dengan demikian, datanglah
kepastian di ujuang ayat,
“Kepada
Allah-lah tempat kembali kamu sekalian.” Peringatan allah pada ayat ini
menambah kuat pribadi lagi. Kuatlah diri dengan petunjuk Allah, tegakkan jamaah
islamiah, berani mengadakan amar ma’ruf nahi munkar, dan ingat bahwa kita akan
kembali kepada Allah, tempat kita mempertanggungjawabkan segala yang kita
lakukan.
Dan Allah
menutupnya dengan,
“Maka
dia akan menjelaskan kepada kamu apa yang
telah kamu kerjakan”
Karena semua
amal dan usaha akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan Allah mengetahui
nilai dari amal usaha kita itu, apa beramal karena Allah atau karena yang lain,
tidak ada jalan lain yang harus ditempuh, melainkan ikhlas beramal karena
Allah.
Wallahhu
‘alam
Sumber :
Hamka. 2015. Tafsir
Al-Azhar: Jilid 3 Diperkaya dengan Pendekatan Sejarah, Sosiologi, Tasawuf, Ilmu
Kalam, Sastra, dan Psikologi. Jakarta: Gema Insani, Hal. 57-61.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.