Sabtu, 18 November 2017

Gejala Afluenza : Demam Kemewahan dan Solusi Mengatasinya

Hidup di kota metropolitan kita akan melihat, mendengar, dan merasakan kesunyian di tengah berlimpahannya materi yang datang menghampiri. Tidak sedikit orang yang memiliki penghasilan yang tidak berlimit itu merintih, terasing, dan diliputi kecemasan dalam hidupnya.

Kita mungkin akan salut dan bangga mendengar orang yang berjuang dan merintis usaha dari zero to hero. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan juga adalah mengenali gejali penyakit sosial yaitu Afluenza. Apa itu?

Perpaduan affluence (kemakmuran) dan influenza (flu), affluenza adalah istilah yang digunakan oleh pengritik konsumerisme. Ia diduga telah pertama kali digunakan pada tahun 1954 namun mendapatkan pijakan sebagai konsep dengan sebuah film dokumenter PBS tahun 1997 dengan nama yang sama dan buku berikutnya, Affluenza: The All-Consuming Epidemic (2001, direvisi tahun 2005, 2014).

Karya-karya ini mendefinisikan affluenza sebagai "kondisi beban berlebihan, hutang, kegelisahan, dan pemborosan yang menyakitkan dan menular secara sosial, yang disebabkan oleh pengejaran lebih banyak hal". Istilah "affluenza" juga telah digunakan untuk merujuk pada ketidakmampuan untuk memahami akibat-akibat dari tindakan-tindakan seseorang karena keistimewaan keuangan.

Pada 2007, psikolog Inggris Oliver James menegaskan bahwa ada korelasi antara meningkatnya kejadian affluenza dan hasilnya peningkatan ketidaksetaraan materi: semakin tidak setara masyarakat, semakin besar ketidakbahagiaan para warganya.

Mengacu pada tesis Vance Packard The Hidden Persuaders mengenai metode-metode manipulatif yang digunakan oleh industri periklanan, James menghubungkan perangsangan kebutuhan-kebutuhan buatan dengan kenaikan affluenza. Untuk menyoroti penyebaran affluenza dalam masyarakat yang memiliki tingkat-tingkat ketidaksetaraan yang beragam, James mewawancarai orang-orang di beberapa kota termasuk Sydney, Singapura, Auckland, Moskow, Shanghai, Kopenhagen dan New York.

Pada 2008 James menulis bahwa tingkat-tingkat kelainan mental yang lebih tinggi adalah akibat dari pencarian-kekayaan yang berlebihan di negara-negara konsumeris. Dalam sebuah grafik yang dibuat dari beberapa sumber data, James memetakan "Prevalensi suatu tekanan emosi" dan "Ketimpangan pendapatan", yang mencoba menunjukkan bahwa negara-negara berbahasa Inggris mengalami tekanan emosi hampir dua kali lebih banyak daripada daratan Eropa dan Jepang: 21,6 persen vs 11,5 persen. James mengartikan affluenza sebagai "memberikan nilai tinggi pada uang, harta benda, penampilan (fisik dan sosial) dan ketenaran", yang merupakan alasan di balik meningkatnya penyakit jiwa dalam masyarakat-masyarakat berbahasa Inggris.

Dia menjelaskan kejadian affluenza yang lebih besar sebagai akibat dari 'kapitalisme egois', pengaturan politik liberal pasar yang terdapat di negara-negara berbahasa Inggris dibandingkan dengan kapitalisme kurang egois yang dijalankan di Eropa daratan. James menegaskan bahwa masyarakat dapat menghapus efek-efek konsumerisme negatif dengan mengejar kebutuhan-kebutuhan nyata daripada keinginan-keinginan yang dirasakan, dan dengan menetapkan diri sebagai memiliki nilai terlepas dari harta benda mereka.

Buku Clive Hamilton dan Richard Denniss, Affluenza: When Too Much is Never Enough, mengajukan pertanyaan: "Jika ekonomi telah berjalan sangat baik, mengapa kita tidak menjadi lebih bahagia?" Mereka berpendapat bahwa affluenza menyebabkan konsumsi berlebihan, "demam kemewahan", hutang konsumen, kerja paksa, pemborosan, dan kerusakan lingkungan. Tekanan-tekanan ini menyebabkan "gangguan-gangguan psikologis, keterasingan dan kesusahan", yang menyebabkan orang-orang "mengobati diri dengan obat-obat pengubah mood dan konsumsi alkohol berlebihan".

Mereka mencatat bahwa sejumlah orang Australia telah bereaksi dengan "downshifting" --mereka memutuskan untuk "mengurangi pendapatan dan mengutamakan keluarga, teman-teman dan kepuasan daripada uang dalam menentukan tujuan-tujuan hidup mereka.

Pendapat lain diungkapkan oleh Jennis bahwa Kapitalisme itu perlu. Namun kapitalisme yang hanya mencari laba tanpa memperdulikan masa depan Planet Bumi, generasi mendatang, dan kesehatan fisik dan mental, bukanlah bentuk kapitalisme yang sustainable.

Bagaimana dengan ideologi Anda sebagai individu? Senang shopping barang-barang yang sesungguhnya tidak diperlukan? Bagaimana kondisi rumah tinggal Anda? Penuh sesak dengan berbagai produk yang jarang digunakan?

“Afluenza” adalah istilah populer yang digunakan untuk mendeskripsikan seseorang yang terkena penyakit (influenza) kekayaan (affluence). Afluenza adalah “penyakit” teradiksi konsumsi.

Sebagai pebisnis dan eksekutif, mungkin Anda mengikuti tren produk-produk terkini dan menggunakannya. Tentu ini bisa diterima, sepanjang mengenali kualitas dan tidak teradiksi.

“Batas” konsumsi tentu berbeda setiap individu, mengingat income dan kebutuhan yang berbeda. Namun, sekaya apapun Anda, sebaiknya mengenali dan mengaplikasikan “batas” konsumsi.

Setiap produk yang kita gunakan mempunyai “social cost,” yaitu “harga sosial” terhadap kondisi lingkungan. Menurut studi, “harga sosial” satu roti burger USD 4.50, padahal mungkin harga jual kurang dari itu.

“Harga sosial” itu apa sih? Berbagai bentuk penggunaan alam, lingkungan, dan sumber daya manusia yang dalam proses produksi suatu produk. Misalnya, berapa volume air yang dibutuhkan untuk mengairi tanaman tertentu sebelum dikonsumsi.

“Harga sosial” semakin tinggi dari “harga jual,” berarti dampak negatif semakin buruk. Yang akan “membayar” harga sosial ini adalah kondisi alam, planet, dan masyarakat baik sekarang maupun di masa depan.

Idealnya, kita membeli produk-produk dengan social cost minimal atau bahkan nol. Namun, mengingat konsumen mempunyai keterbatasan dalam mengenali asal dan proses produksi produk, aksi kita terbatas.

Salah satu pilihan penulis dalam ikut serta meminimalkan “harga sosial” adalah dengan hanya membeli produk-produk yang sungguh-sungguh diperlukan. Produk-produk fashion, misalnya, bisa dibatasi dengan konsep “capsule fashion” dan tidak menumpuk pakaian di lemari.

Beberapa tokoh kultural dan bisnis internasional, misalnya, memilih untuk hidup dengan 100 benda pribadi saja. Tentu mereka yang sangat militan dalam menjaga “harga sosial” ini sangat terbalik filosofi hidupnya dengan keluarga Kardashian dan Trump.

Keanu Reeves, aktor terkenal The Matrix, juga dikenal sangat militan dalam kepemilikan benda pribadi. Ia memilih hidup praktis dan tidak terbelenggu oleh materi.

Honor dari film The Matrix yang diterimanya, 90 persen didonasikan kepada kru film yang berpenghasilan tidak seberapa. Dengan tidak terbelenggu materi dan uang, Reeves menemukan kebahagiaan yang “membebaskan” (liberalisasi diri).

“Afluenza” sendiri bukan berarti hanya diderita oleh mereka yang kaya dan punya cukup uang untuk membeli produk secara berlebihan. Afluenza banyak diderita oleh mereka yang hidup pas-pasan sebagai kelas menengah dan menengah bawah.

Malah “kompetisi” untuk tampil keren dan mewah cukup banyak dialami oleh mereka yang berpenghasilan pas-pasan. Income inequality sering kali bukan menjadi penghalang untuk kelihatan ekual.

Mengkonsumsi berlebihan memang merupakan “kebiasaan buruk” manusia, namun ini berarti tidak bisa diubah. Menurut Profesor Antropologi UCLA Allen Johnson, manusia di Zaman Batu dan di suku-suku terasing Amazon masih menjalankan gaya hidup “bekerja untuk hidup” dan tidak mengejar materi.

Jadi, menurut ilmu pengatahuan, sesungguhnya manusia bukanlah makhluk pengejar materi. Kondisi modern penuh godaan dan sistem ekonomi dan desain bisnis yang sangat mulus merupakan mesin yang menarik manusia untuk teradiksi mengkonsumsi.

Berdasarkan survei yang diadakan oleh New American Dream di tahun 1995, sekitar 86 persen dari yang telah mereduksi konsumsi merasa lebih bahagia. Jadi, bahagia karena mengkonsumsi sebenarnya hanya mitos.

Adiksi mengkonsumsi dapat ditelusuri dari hormon pencipta rasa nyaman dopamine yang dikeluarkan di dalam otak. Jadi setiap kali mengkonsumsi sesuatu, biasanya ketika shopping, dopamine dikucurkan. Dengan “kebanjiran” dopamine, ada rasa bahagia “semu.”

Intinya, kita tidak dapat hidup tanpa materi, namun kita mampu mengendalikan diri untuk tidak mengakumulasi produk secara berlebihan. Materi itu baik apabila fungsional dan tidak dijadikan “sumber” rasa bahagia semua akibat hormon dopamine.

Dengan membatasi konsumsi dan melek “social cost,” kita dapat berpartisipasi dalam menjaga ekologi. Dengan melakukan hal-hal kecil yang dapat mengurangi beban Planet Bumi, kita telah membantu melestarikan masa depan dunia

Baca juga: Mengapa Orang Semakin Kaya Semakin Pelit 

Photo Credit: Maxpixel

Jakarta, 29 Shafar 1439 H

Sumber: Hendri Kusmarian dan Jennie M. Xue (Tabloid Kontan, Edisi 13-19 November 2017, Hal. 27)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.