Hidup di kota
metropolitan kita akan melihat, mendengar, dan merasakan kesunyian di tengah
berlimpahannya materi yang datang menghampiri. Tidak sedikit orang yang
memiliki penghasilan yang tidak berlimit itu merintih, terasing, dan diliputi
kecemasan dalam hidupnya.
Kita mungkin akan
salut dan bangga mendengar orang yang berjuang dan merintis usaha dari zero to
hero. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan juga adalah mengenali gejali
penyakit sosial yaitu Afluenza. Apa itu?
Perpaduan affluence
(kemakmuran) dan influenza (flu), affluenza adalah istilah yang digunakan oleh
pengritik konsumerisme. Ia diduga telah pertama kali digunakan pada tahun 1954
namun mendapatkan pijakan sebagai konsep dengan sebuah film dokumenter PBS
tahun 1997 dengan nama yang sama dan buku berikutnya, Affluenza: The
All-Consuming Epidemic (2001, direvisi tahun 2005, 2014).
Karya-karya ini
mendefinisikan affluenza sebagai "kondisi beban berlebihan, hutang,
kegelisahan, dan pemborosan yang menyakitkan dan menular secara sosial, yang
disebabkan oleh pengejaran lebih banyak hal". Istilah
"affluenza" juga telah digunakan untuk merujuk pada ketidakmampuan
untuk memahami akibat-akibat dari tindakan-tindakan seseorang karena
keistimewaan keuangan.
Pada 2007, psikolog
Inggris Oliver James menegaskan bahwa ada korelasi antara meningkatnya kejadian
affluenza dan hasilnya peningkatan ketidaksetaraan materi: semakin tidak setara
masyarakat, semakin besar ketidakbahagiaan para warganya.
Mengacu pada tesis
Vance Packard The Hidden Persuaders mengenai metode-metode manipulatif yang
digunakan oleh industri periklanan, James menghubungkan perangsangan
kebutuhan-kebutuhan buatan dengan kenaikan affluenza. Untuk menyoroti
penyebaran affluenza dalam masyarakat yang memiliki tingkat-tingkat
ketidaksetaraan yang beragam, James mewawancarai orang-orang di beberapa kota
termasuk Sydney, Singapura, Auckland, Moskow, Shanghai, Kopenhagen dan New
York.
Pada 2008 James
menulis bahwa tingkat-tingkat kelainan mental yang lebih tinggi adalah akibat
dari pencarian-kekayaan yang berlebihan di negara-negara konsumeris. Dalam
sebuah grafik yang dibuat dari beberapa sumber data, James memetakan
"Prevalensi suatu tekanan emosi" dan "Ketimpangan
pendapatan", yang mencoba menunjukkan bahwa negara-negara berbahasa
Inggris mengalami tekanan emosi hampir dua kali lebih banyak daripada daratan
Eropa dan Jepang: 21,6 persen vs 11,5 persen. James mengartikan affluenza
sebagai "memberikan nilai tinggi pada uang, harta benda, penampilan (fisik
dan sosial) dan ketenaran", yang merupakan alasan di balik meningkatnya
penyakit jiwa dalam masyarakat-masyarakat berbahasa Inggris.
Dia menjelaskan
kejadian affluenza yang lebih besar sebagai akibat dari 'kapitalisme egois',
pengaturan politik liberal pasar yang terdapat di negara-negara berbahasa
Inggris dibandingkan dengan kapitalisme kurang egois yang dijalankan di Eropa
daratan. James menegaskan bahwa masyarakat dapat menghapus efek-efek
konsumerisme negatif dengan mengejar kebutuhan-kebutuhan nyata daripada
keinginan-keinginan yang dirasakan, dan dengan menetapkan diri sebagai memiliki
nilai terlepas dari harta benda mereka.
Buku Clive Hamilton
dan Richard Denniss, Affluenza: When Too Much is Never Enough, mengajukan
pertanyaan: "Jika ekonomi telah berjalan sangat baik, mengapa kita tidak
menjadi lebih bahagia?" Mereka berpendapat bahwa affluenza menyebabkan
konsumsi berlebihan, "demam kemewahan", hutang konsumen, kerja paksa,
pemborosan, dan kerusakan lingkungan. Tekanan-tekanan ini menyebabkan
"gangguan-gangguan psikologis, keterasingan dan kesusahan", yang
menyebabkan orang-orang "mengobati diri dengan obat-obat pengubah mood dan
konsumsi alkohol berlebihan".
Mereka mencatat
bahwa sejumlah orang Australia telah bereaksi dengan "downshifting"
--mereka memutuskan untuk "mengurangi pendapatan dan mengutamakan keluarga,
teman-teman dan kepuasan daripada uang dalam menentukan tujuan-tujuan hidup mereka.
Pendapat lain diungkapkan oleh Jennis bahwa Kapitalisme itu
perlu. Namun kapitalisme yang hanya mencari laba tanpa memperdulikan masa depan
Planet Bumi, generasi mendatang, dan kesehatan fisik dan mental, bukanlah
bentuk kapitalisme yang sustainable.
Bagaimana dengan
ideologi Anda sebagai individu? Senang shopping barang-barang yang sesungguhnya
tidak diperlukan? Bagaimana kondisi rumah tinggal Anda? Penuh sesak dengan
berbagai produk yang jarang digunakan?
“Afluenza” adalah
istilah populer yang digunakan untuk mendeskripsikan seseorang yang terkena
penyakit (influenza) kekayaan (affluence). Afluenza adalah “penyakit” teradiksi
konsumsi.
Sebagai pebisnis
dan eksekutif, mungkin Anda mengikuti tren produk-produk terkini dan
menggunakannya. Tentu ini bisa diterima, sepanjang mengenali kualitas dan tidak
teradiksi.
“Batas” konsumsi
tentu berbeda setiap individu, mengingat income dan kebutuhan yang berbeda.
Namun, sekaya apapun Anda, sebaiknya mengenali dan mengaplikasikan “batas”
konsumsi.
Setiap produk yang
kita gunakan mempunyai “social cost,” yaitu “harga sosial” terhadap kondisi
lingkungan. Menurut studi, “harga sosial” satu roti burger USD 4.50, padahal
mungkin harga jual kurang dari itu.
“Harga sosial” itu
apa sih? Berbagai bentuk penggunaan alam, lingkungan, dan sumber daya manusia
yang dalam proses produksi suatu produk. Misalnya, berapa volume air yang
dibutuhkan untuk mengairi tanaman tertentu sebelum dikonsumsi.
“Harga sosial”
semakin tinggi dari “harga jual,” berarti dampak negatif semakin buruk. Yang
akan “membayar” harga sosial ini adalah kondisi alam, planet, dan masyarakat
baik sekarang maupun di masa depan.
Idealnya, kita
membeli produk-produk dengan social cost minimal atau bahkan nol. Namun,
mengingat konsumen mempunyai keterbatasan dalam mengenali asal dan proses
produksi produk, aksi kita terbatas.
Salah satu pilihan
penulis dalam ikut serta meminimalkan “harga sosial” adalah dengan hanya
membeli produk-produk yang sungguh-sungguh diperlukan. Produk-produk fashion,
misalnya, bisa dibatasi dengan konsep “capsule fashion” dan tidak menumpuk
pakaian di lemari.
Beberapa tokoh
kultural dan bisnis internasional, misalnya, memilih untuk hidup dengan 100
benda pribadi saja. Tentu mereka yang sangat militan dalam menjaga “harga
sosial” ini sangat terbalik filosofi hidupnya dengan keluarga Kardashian dan
Trump.
Keanu Reeves, aktor
terkenal The Matrix, juga dikenal sangat militan dalam kepemilikan benda
pribadi. Ia memilih hidup praktis dan tidak terbelenggu oleh materi.
Honor dari film The
Matrix yang diterimanya, 90 persen didonasikan kepada kru film yang
berpenghasilan tidak seberapa. Dengan tidak terbelenggu materi dan uang, Reeves
menemukan kebahagiaan yang “membebaskan” (liberalisasi diri).
“Afluenza” sendiri
bukan berarti hanya diderita oleh mereka yang kaya dan punya cukup uang untuk
membeli produk secara berlebihan. Afluenza banyak diderita oleh mereka yang
hidup pas-pasan sebagai kelas menengah dan menengah bawah.
Malah “kompetisi”
untuk tampil keren dan mewah cukup banyak dialami oleh mereka yang
berpenghasilan pas-pasan. Income inequality sering kali bukan menjadi
penghalang untuk kelihatan ekual.
Mengkonsumsi
berlebihan memang merupakan “kebiasaan buruk” manusia, namun ini berarti tidak
bisa diubah. Menurut Profesor Antropologi UCLA Allen Johnson, manusia di Zaman
Batu dan di suku-suku terasing Amazon masih menjalankan gaya hidup “bekerja
untuk hidup” dan tidak mengejar materi.
Jadi, menurut ilmu
pengatahuan, sesungguhnya manusia bukanlah makhluk pengejar materi. Kondisi
modern penuh godaan dan sistem ekonomi dan desain bisnis yang sangat mulus
merupakan mesin yang menarik manusia untuk teradiksi mengkonsumsi.
Berdasarkan survei
yang diadakan oleh New American Dream di tahun 1995, sekitar 86 persen dari
yang telah mereduksi konsumsi merasa lebih bahagia. Jadi, bahagia karena
mengkonsumsi sebenarnya hanya mitos.
Adiksi mengkonsumsi
dapat ditelusuri dari hormon pencipta rasa nyaman dopamine yang dikeluarkan di
dalam otak. Jadi setiap kali mengkonsumsi sesuatu, biasanya ketika shopping,
dopamine dikucurkan. Dengan “kebanjiran” dopamine, ada rasa bahagia “semu.”
Intinya, kita tidak
dapat hidup tanpa materi, namun kita mampu mengendalikan diri untuk tidak
mengakumulasi produk secara berlebihan. Materi itu baik apabila fungsional dan
tidak dijadikan “sumber” rasa bahagia semua akibat hormon dopamine.
Dengan membatasi
konsumsi dan melek “social cost,” kita dapat berpartisipasi dalam menjaga
ekologi. Dengan melakukan hal-hal kecil yang dapat mengurangi beban Planet
Bumi, kita telah membantu melestarikan masa depan dunia
Baca juga: Mengapa Orang Semakin Kaya Semakin Pelit
Baca juga: Mengapa Orang Semakin Kaya Semakin Pelit
Sumber: Hendri
Kusmarian dan Jennie M. Xue (Tabloid Kontan, Edisi 13-19 November 2017, Hal. 27)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.