Secara umum
ada tiga ekosistem pendidikan anak yaitu masyarkat, sekolah, dan keluarga. Hari
ini kita melihat bagaimana sekolah belum maksimal melahirkan anak-anak yang
unggul dari segala sisi dimensi manusia.
Mencari lingkungan yang baik pun di rasa sulit di tengah gempuran budaya pop yang tidak menentu. Keluarga sekali lagi ada benteng terakhir untuk menyelamatkan anak dari mara bahaya di masa depan. Baik untuk dunia maupun akhiratnya.
Mencari lingkungan yang baik pun di rasa sulit di tengah gempuran budaya pop yang tidak menentu. Keluarga sekali lagi ada benteng terakhir untuk menyelamatkan anak dari mara bahaya di masa depan. Baik untuk dunia maupun akhiratnya.
Mari kita
simak kisah dari seorang ayah yang berani mengambil keputusan berat dan penuh
resiko demi mempersiapkan generasi emas di masa yang akan datang. Cerita ini
saya ambil dari kisah Bapak Muhammad Setiawan.
Hari ini kami
memulai babak baru dalam kehidupan keluarga kami.
Seluruh
anak-anak (tiga orang), kami tarik dari sekolah. Kami menariknya dari sekolah
atas keinginan bersama.
Tidak, kami
tidak ingin menyalahkan institusi sekolah. Teman-teman yang berjuang di dunia
pendidikan formal sungguh sudah berjuang dengan sangat keras.
Saya
berterima kasih sebesar-besarnya kepada sekolah yang sempat mendidik anak-anak
kami. Baik dulu di sukabumi, di citeureup maupun di cibinong.
Rekan-rekan
pejuang pendidikan di sekolah telah berusaha semaksimal mungkin mencurahkan
tenaga, fikiran bahkan harta untuk kemajuan pendidikan.
Namun,
memang sepertinya ada dinding sistem yang sangat sulit ditembus dan berubah.
Sistem yang kami merasa tidak baik untuk perkembangan anak-anak kami.
Maka
izinkanlah mulai hari ini kami mendidik anak-anak kami sendiri di rumah.
Hari ini
kami memulai belajar di rumah sejak subuh. Shalat shubuh berjamaah. Lalu
olahraga, lari pagi di sekitar komplek. Membersihkan rumah bersama hingga jam
07.00. Selanjutnya, mandi dan sarapan.
Jam 08.00
saya mulai mendengarkan bacaan al Quran dan iqro anak-anak. Saya pegang dua
anak terbesar. Istri saya pegang anak ketiga.
Setelah
baca al Quran dan iqro, dilanjutkan belajar bahasa inggris, matematika dan IPA
. Seluruhnya dipelajari sambil tertawa-tawa dan makan-makan.
Rencananya
hari ini saya mengajar anak-anak sampai jam 11. Tapi ternyata mendadak saya
diminta mengisi kajian di Jakarta jam 12.00. Akhirnya belajar berhenti
sementara jam 09.30.
Saya
berangkat naik bis ditemani anak kedua ke jakarta. Sepanjang perjalanan kami
murojaah hafalan dan belajar IPA yang sempat tertunda.
Besok
agenda kami adalah belajar sejak ba'da shubuh lalu pergi berenang sekitar jam
08.30.
Insyaallah
terus begitu setiap hari. Belajar sejak shubuh hingga jam 11. Lalu persiapan
shalat dzuhur. Istirahat ba'da dzuhur. Les atau kursus atau main sejak ba'da
ashar hingga maghrib. Maghrib sampai isya belajar al Quran. Ba'da isya
istirahat.
Yang paling
penting adalah harapan agar anak-anak kami bersegera untuk shalat saat adzan
berkumandang. Mereka dekat dengan al Quran. Mereka takut kepada Allah yang
nampak dalam akhlaq keseharian.
Sahabat,
sekali lagi kita bisa belajar ternyata berumah tangga itu perlu bekal. Salah satu
bekalnya adalah bekal ilmu. Karena ketika banyak orang yang menyalahkan
institusi, lingkungan yang kurang ramah, satu-satunya yang bisa kita lakukan
adalah memperkuat institusi keluarga.
Semoga
Allah berikan kemudahan dalam mendidik dan menjaga anak-anak kami
Jakarta, 15
Dzulqaidah 1438 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.