Rabu, 16 April 2025

Jangan Tertipu Mayoritas: Tadabbur Al-Māidah Ayat 100


Dalam hidup, sering kali kita dihadapkan pada pilihan yang membingungkan: memilih apa yang terlihat banyak dan populer, atau memilih apa yang benar dan baik, meski kadang terasa asing dan berbeda. Al-Qur'an mengajarkan kepada kita prinsip penting tentang cara menilai kebenaran, bukan berdasarkan jumlah atau tren, melainkan dari nilai hakiki kebaikan.

Salah satu ayat yang sangat dalam maknanya ada dalam Surah Al-Māidah ayat 100

قُل لَّا يَسْتَوِى ٱلْخَبِيثُ وَٱلطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ ٱلْخَبِيثِ ۚ فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan".

Ayat ini berbicara tentang perbedaan yang jelas antara yang baik dan yang buruk, meskipun dalam kenyataannya yang buruk kadang lebih banyak, lebih menggiurkan, dan lebih sering dipilih oleh kebanyakan orang.

Allah secara tegas menyatakan bahwa keburukan tidak akan pernah setara dengan kebaikan, sekalipun keburukan itu lebih banyak, populer, atau tampak menguntungkan. Ini adalah tamparan halus bagi manusia yang kerap terjebak pada penampakan luar.

قُل لَّا يَسْتَوِى الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ  (katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik)
Yakni yang halal tidak sama dengan yang haram.
Pendapat lain mengatakan yakni orang kafir tidak sama dengan orang beriman.
Pendapat lain mengatakan yakni orang bermaksiat tidak sama dengan orang yang taat.
Pendapat lain mengatakan yakni sesuatu yang buruk tidak sama dengan yang baik.

وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ ۚ( meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu)
Karena keburukan sesuatu akan menghilangkan faidahnya, menghapus berkahnya, dan menjauhkan manfaatnya.

Kata أُولِي الْأَلْبَابِ (orang berakal) menegaskan bahwa hanya mereka yang menggunakan nalar dan hati nurani yang bisa membedakan mana yang hakiki dan mana yang ilusi.

Takwa bukan sekadar ritual, tapi kesadaran untuk memilih yang benar meski tidak populer. Seperti kata Ibn Katsir: "Takwa adalah menjauhi kemungkaran dan mengerjakan perintah-Nya."

Dalam perspektif sains sosial, fenomena ini dikenal sebagai efek bandwagon — kecenderungan manusia untuk mengikuti pilihan mayoritas, meski tidak selalu tepat. Apalagi di era media sosial sekarang, apa yang viral belum tentu bernilai, dan apa yang banyak belum tentu benar.

Penelitian MIT (2018) menemukan: berita palsu menyebar 6x lebih cepat daripada fakta. Algoritma media sosial "menghukum" konten bermutu yang kurang menarik, sementara konten sensasional diumbar. Hasilnya? Masyarakat lebih percaya video TikTok yang editannya dramatis daripada data ilmiah.

Melalui ayat ini, Allah tidak hanya mengingatkan, tapi juga mengajarkan cara pandang yang dewasa dan penuh kesadaran: bahwa kebaikan sejati tidak diukur dari banyaknya pengikut, kemegahan tampilan, atau suara mayoritas, tetapi dari nilai moral dan ketakwaan.

Mari kita pelajari lebih dalam isi ayat ini, dan renungkan bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, agar kita tidak terjebak dalam kebiasaan memilih sesuatu hanya karena "semua orang melakukannya."

Baca juga: Takwa dan Keberuntungan Hidup

Malang,  17 Syawal 1446 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.