Senin, 06 Juni 2016

Bagaimana Kebiasaan Rasulullah dan Sahabat Ketika Ramadhan ?


Ketahuilah bahwa Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam adalah sosok yang ma’shum. Perkataannya baik, perbuatannya shaleh, dan hatinya suci. Allah selalu menjaganya secara lahir dan batin, yang tampak dan yang tersembunyi, dan meridainya untuk dijadikan panutan manusia.
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. “ (Q.S. AL-Ahzab [33]: 21)
Hati, perkataan, serta perbuatan beliau pasti mulia. Dialah orang yang selalu mendapat limpahan rahmat dari Allah, baik tinggal di rumah atau dalam perjalanan. Dia orang yang telah disucikan Allah lahir dan batin, serta selalu dijaga akhlak, perbuatan, dan perkataannya. 

“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Q.S. AL-Qalam [68]: 4)
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Q.S. Ali-Imran [3]: 159)
[246]  Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
“Sungguh Telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin. “ (Q.S. At-Taubah [9]: 128)
Apabila semua ini disadari, sudah seharusnya setiap mukmin yang ingin membersihkan diri, mengikuti semua ajaran Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam. Karena beliau adalah panutan setiap orang yag bertauhid untuk sampai menuju surga.

Setiap orang yang meyakini bahwa dirinya akan mendapat petunjuk dari Allah, tanpa melalui petunjuk dari Rasulullah, maka dia akan dilaknat oleh Allah Subhanahu Wata’ala, malaikat, dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima pembelaan perkataan, alasan, dan ratapan orang tersebut. Allah tidak sudi melihat dan membersihkannya dari dosa. Baginya azab yang sangat pedih.

Betapa beruntungnya orang yang mengenal, cinta, dan akhirnya mengikuti perkataan, perbuatan, serta meniru jaan hidup beliau. Begitu ruginya orang yang mengingkari ajaran Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam, serta menentang perkataan dan perbuatan beliau.

Dengan merenungkan semua ini, jiwa yang bersih dan merindukan kedamaian pasti akan tertarik untuk hidup bersama Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam, baik pada bulan ramadhan atau pun di luar bulan ramadhan. Selama hayat masih dikandung badan, dan selama jantung masih berdetak, hari-hari terindah adalah hari-hari bersama Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam.

Bagaimana perbuatan Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam, para sahabat serta ulama terdahulu ?

Sekarang mari kita belajar bagaimana perbuatan Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam, para sahabat serta ulama terdahulu. Bagaimana mereka menyambut bulan ramadhan, bagaimana mereka berpuasa, beribadah, dan mengisi waktu pada saat itu. Perbuatan mereka patut diikuti dan jalan yang mereka lalui perlu ditelusuri.

Ibnu ‘Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam adalah orang yang paling baik. Beliau lebih baik lagi ketika bulan ramadhan saat bertemu dengan malaikat jibril untuk membacakan Al-Qur’an. Rasulullah lebih baik dari angin yang berhembus.

Pelajaran paling berharga dari perbuatan beliau pada bulan ramadhan adalah dermawan, sedekah, suka menolong, dan pemurah. Ini merupakan sifat luar biasa dalam dirinya.

Sahl bin Sa’ad meriwayatkan bahwa, seseorang wanita memberikan pakaian kepada Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam dan pakaian itu memang sangat dibutuhkan oleh beliau. Ketika dipakai, datang seorang lelaki dan meminta baju itu, “Wahai Rasulullah, beri aku pakaian itu.” 

Para sahabat yang melihatnya sangat jengkel dan berkata, “Bedebah kamu! Rasulullah sangat membutuhkan pakaian itu dan kamu datang untuk memintanya, sedangkan kamu tahu beliau tidak pernah menolak permintaan siapa pun.” 

Ketika Rasulullah memberikan pakaian, lelaki itu berkata, “Aku berharap pakaian ini akan menjadi kain kafan untukku.” Maka Allah memberikan apa yang menjadi impian lelaki itu dan memberikan apa yang dimintanya, dia meninggal dunia dengan mamakai pakaian pemberiaan Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam.  Jadi, Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam menyambut bulan ramadhan dengan murah hati, karena  balasan pekerjaan itu seperti pekerjaan yang dilakukan seorang hamba. 

Pelajaran lain yang dapat diambil dari kebiasaan Rasulullah adalah selalu bersama Al-Qur’an, hidup dengan Al-Qur’an, dan membacanya di hadapan jibril As karena bulan ramadhan adalah bulan AL-Qur’an. Karena bulan ini adalah bulan Al-Qur’an, maka di awal bulan tersebut Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam menyiapkan diri untuk Al-Qur’an, mengurangi segala aktivitas dan kesibukan agar dapat mengkaji Al-Qur’an dan menjadikan sebagaian besar dari kehidupannya untuk Al-Qur’an. 

Sebab, Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang tak tertandingi. Sebelumnya, setiap mukjizat punah bersamaan dengan kematian nabi yang membawanya. Tongkat Nabi Musa musnah bersamaan dengan kematiannya, mukjizat yang dapat menyembuhkan orang sakit belang, buta, serta menghidupkan orang mati yang dimiliki Nabi Isa juga sirna bersamaan dengan meninggalnya beliau. Akan tetapi, Al-Qur’an terus terjaga kemukjizatannya sampai hari kiamat. Ia terus menunjukkan kebenaran, kekuatan, dan menyeru dakwah setiap generasi. 

Berangkat dari kenyataan di atas, Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam menjadikan sebagaian besar waktunya untuk Al-Qur’an. Ketika ‘Aisyah ra ditanya “Bagaimana akhlak Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam?” Dia menjawab, “Akhlaknya adalah Al-Qur’an.”

Beliau selalu hidup bersama Al-Qur’an, dimana pun dan bagaimana pun keadaannya. Setiap ada waktu luang, beliau menyerahkan hati, memasrahkan jiwa, lalu menyibukkan diri membaca Al-Qur’an. Dalam hadis yang diriwayatkan ‘Abdullah bin Mas’ud ra, suatu hari Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam berkata kepadaku, “Bacakan Al-Qur’an untukku!” Ibnu Mas’ud yang merupakan salah seorang muridnya berkata, “Rasulullah, bagaimana aku membacakan Al-Qur’an untukmu, sedangkan ia diturunkan kepadamu.”

Alangkah mulianya adab Ibnu Mas’ud ra. Alangkah agung sifat malu yang dimilikinya. “Bagaimana mungkin aku membaca Al-Qur’an untukmu, sedangkan aku belajar kepadamu.”

Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam menjawab, “Bacalah Al-Qur’an untukku karena aku senang mendengarnya dari orang lain.”

Ibnu Mas’ud pun membaca AL-Qur’an sementara Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam mendengarkan. Ketika sampai pada surah an-Nisa ayat 41 yang berbunyi, 

“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu[299]).” (Q.S. An-Nisa [4]: 41)

[299]  seorang nabi menjadi saksi atas perbuatan tiap-tiap umatnya, apakah perbuatan itu sesuai dengan perintah dan larangan Allah atau tidak.

Rasulullah berkata, “Cukup sampai di situ.”

Ibnu Mas’ud berkata, “Aku melihat beliau meneteskan air mata.” Sang Kekasih, Nabi Muhammad Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam tersentuh dengan perkataan kekasihnya; Allah Subhanahu Wata’ala, dia ingat dengan zat yang menurunkan ayat ini dan yang berbicara dari atas tujuh lapis langit, dan karenanya Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam menangis.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam sering keluar malam untuk mendengarkan lantunan Al-Qur’an dari rumah orang-orang Anshar. Pada zaman itu, rumah para sahabat dipenuhi dengan lantunan Al-Qur’an, mereka hidup sepanjang hari bersama Al-Qur’an, mereka banyak meluangkan waktu untuk merengungkan ayat-ayat Al-Qur’an. 

Zaman di mana tidak disibukkan pembicaraan yang tidak berarti, banyak bertanya yang tidak perlu, membuang-buang waktu dengan bermain, hiburan, dan musik. Zaman di mana sepanjang siang dan malam mereka hidup bersama Allah. Kala malam mereka menjadi seorang ahli ibadah, dan saat siang mereka menjadi ksatria perang atau pasukan yang berjuang menekkan kalimat la ilaha ilallah.

Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam keluar dan mendegar seorang perempuan tua membaca surah Al-Ghasiyah, dia berhenti di depan pintu rumahnya dengan menyandarkan kepala di pintunya. 

Mendengarkan lantunan firman Allah yang keluar dari mulut seorang wanita tua yang dibaca berulang-ulang dan sambil menangis. Lihatlah wanita tua ini, bagaimana dengan pemuda islam sekarang? Adakalah perempuan muslimah seperti ini? Adakah pemuda yang memiliki semangat yang sama?

“Hal Ataka haditsul Ghasyiah” inilah ayat yang diulang-ulang oleh wanita tua itu. Kepada siapa ayat itu ditujukan? Kepada Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam, “Hai Muhammad, sudah datangkah kepadamu  berita tentang hari kiamat? Inilah berita yang sangat luar biasa, inilah kejadian yang sangat menakjubkan.” 

Mendengar ayat ini, Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam menangis tersedu-sedu. Setiap wanita tua itu mengulang, “Haal Ataka haditsul ghasyiah.” Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam berkata, “Ya, telah datang kepadaku.” Demikian seterusnya. Setiap kali wanita itu mengulangi bacaan ayat itu, Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam menangis dan memberikan jawaban yang sama.

Perbuatan paling mulia yang dilakukan Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam pada bulan Ramadhan adalah mengisi hari-harinya dengan Al-Qur’an. Sehingga sebagian ulama salaf mengatakan bahwa bulan ramadhan adalah bulan yang dikhususkan untuk merenungkan al-Qur’an.  Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam mengajarkan kita untuk membaca Al-Qur’an secara perlahan sembari merenunginya:
“Orang tidak akan dapat memhami Al-Qur’an, jika membacanya kurang dari tiga hari “ (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam juga berkata kepada Ibnu Umar ra, “Bacalah Al-Qur’an tujuh kali, dan jangan lebih dari itu.” (HR. Bukhari).

Bagaimana dengan bacaan kita? Sudah kita membaca Al-Qur’an sambil merenunginya? Apakah hanya membaca tanpa berbekas pada jiwa? Apakah hanya target khatam tanpa perubahan sikap dan pembaharuan jiwa?

“Apabila bulan ramadhan datang, maka pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan dibelenggu.” (HR. Bukhari-Muslim)

Artinya pada bulan Ramadhan, setan tidak dapat menyakiti dan menggoda manusia, karena Allah membuka pintu tobat untuk manusia, menjadikan bulan yang penuh dengan kebaikan, diterimanya setiap perbuatan baik dan tobat serta diangkatnya derajat manusia. Beruntunglah orang yang mendapati dan memanfaatkan bulan ramadhan dengan sebaik-baiknya. Beruntunglah orang yang mendapat ridha Allah pada bulan ramadhan. Mahasuci Allah, berapa banyak pahala yang dilimpahkan pada akhir bulan itu, dan berapa banyak manusia yang dibebaskan dari siksa neraka.

Dalam hadis qudsi diriwayatkan Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,

“Setiap amal perbuatan anak Adam baginya satu kebaikan dilipatgandakan menjadi 10 sampai 700 kali lipat, kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah milik-Ku dan Aku yang akan memberi balasannya, dia meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena-Ku.” (HR. Bukhari-Muslim)

Puasa adalah rahasia antara Allah dengan hamba-Nya. Tak ada yang tahu bila Anda makan atau minum dibalik dinding kecuali Allah. Siapa yang dapat melihat bila Anda menutupi diri dengan selimut, kecuali Allah. Siapa yang dapat melihat apabila Anda luput dari pandangan manusia, kecuali Allah. Tidaklah sulit bagi Anda untuk makan di pojok atau di gudang rumah, dan tidak ada seorang pun dapat melihat Anda, akan tetapi Zat yang menciptakan kegelapan akan selalu melihat Anda. 

Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam  pada bulan ramadhan menghidupkan malam seperti malam-malam bulan lainnya. Akan tetapi pada bulan ramadhan beliau meningkatkan ibadahnya, karena bulan itu adalah bulan ibadah dan puasa. Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam bersabda,
“Orang yang berpuasa karena iman dan mengharapkan pahala Allah, maka diampuni dosanya yang terdahulu.” (HR. Bukhari-Muslim)
Berpuasa karena iman artinya tidaklah mendapatkan ampunan bagi orang yang berpuasa karena alasan budaya atau melihat lingkungan yang berpuasa.

Berpuasa karena mengharapkan pahala artinya tidak mendapat ampunan bagi orang yang berpuasa didasari riya. Apabila malam datang, Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Sebab, ibadah, sujud, wudhu, zikir, doa serta ratapan tangis yang paling mulia adalah yang dilakukan pada bulan ramadhan. Shalat malam yang banyak ditinggalkan umat islam, merupakan bukti lemahnya iman. Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam orang yang sangat mengerti nilai shalat malam; terutama pada bulan ramadhan, sehingga setiap malam beliat selalu memanfaatkannya dengan ibadah. 
“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji. “(Q.S. Al-Isra [17]: 79)
Setiap kaum Muslimin yang ingin menyucikan diri, hendaklah banyak membaca Al-Qur’an dan mendirikan shalat malam. Bulan ramadhan adalah bulan pembaharuan jiwa manusia, bulan tobat, dan melepaskan diri dari api neraka. Sungguh rugi, menyesal, dan binasa, orang yang mendapatkan bulan ramadhan tapi tidak bertobat dan memohon dibebaskan dari api neraka. Rasulullah Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam sebagaimana diriwayatkan ‘Aisyah ra tidak mendirikan shalat lebih dari 11 rakaat; dalam bulan Ramadhan atau di luar ramadhan (HR. Bukhari-Muslim.)

Beliau berdiri sangat lama para rakaat pertama, berdzikir, merenungi firman Allah, menghidupkan jiwa saat membaca Al-Qur’an, menangis, bermunajat, lalu rukuk dan sujud dalam waktu yang sangat lama. Oleh karena itu, tajwid dalam shalat tarawih dan thuma’ninah lebih baik dari kuantitasnya, yakni memperhatikan kualitas ibadah lebih penting dari pada jumlah ibadah yang dilakukan.

Jangan membaca Al-Qur’an terburu-buru untuk mengejar target khatam, tanpa memperhatikan tajwid apalagi merenungi ayat-ayat yang dibaca. Berapa banyak orang yang menghatamkan Al-Qur’an hanya satu kali dalam bulan ramadhan, tapi dilakukan dengan baik. Ayat yang dibaca dapat mengobati penyakit hatinya. Ayat yang dilantunkan dapat memberikan getaran cinta kepada Zat yang menurunkan Al-Qur’an. Inilah tujuan utama membaca Al-Qur’an. Bukan semata-mata dari berapa banyaknya menghatamkan dalam sebulan, tanpa memperhatikan makna dan tajwidnya.

Bagaimana dengan para sahabat dan anjuran Nabi untuk menghatamkannya 3 atau 7 hari? Benar. Tapi, para sahabat membaca al-Qur’an dan mengerti apa yang mereka baca. Sedangkan kita? Itulah mungkin jawaban kenapa AL-Qur’an belum mampu merubah tabiat, watak, karakter, jiwa, pikiran mayoritas umat islam.

Banyak kaum muslimin mengkhatamkan Al-Qur’an dengan tujuan mendapatkan pahala yang banyak. Mereka pun akan mendapatkan pahala dari Allah. Tapi tidak berpengaruh pada hati, keyakinan, dan imannya. Karena hal semacam itu hanya dapat diperoleh dengan tadabbur serta hidup bersama Al-Qur’an.

Selamat menjalankan Ibadah Puasa. Semoga ramadhan kali ini menjadikan diri kita, keluarga, masyarakat, negara, dan dunia menjadi lebih baik.

Foto : Muslim
 
Jakarta, 1 Ramadhan 1437 H

4 komentar:

  1. hmmm jadi ngebayangin andai saja saya hidup dizaman Rosulullah...

    BalasHapus
  2. Bagaimana pun juga, Alloh Maha Tahu dimana tempat terbaik kita hidup dan tinggal. jika kita hidup di zaman nabi, bisa saja kita tidak sanggup menanggung beban, ujian, perjuangan, seperti yang dilakukan sahabat.

    Walaupun demikian, orang yang tidak hidup dizaman nabi juga memiliki peluang istimewa menjadi sosok yang dirindukan. karena beriman kepadanya walaupun belum pernah berjumpa. Wallahhu 'Alam

    BalasHapus
  3. Semoga pada akhirnya, Alloh perjumpakan kita bersama Nabi Muhammad Sholaullohu 'Alaihi Wassalam di Surga Firdaus. Bersama para sahabat, orang-orang sholeh, dan keluarga kita. Aaamin

    BalasHapus

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.