Konon,
dahulu kala, hiduplah seorang raja atas sebuah wilayah yang cukup luas. Ia
memimpin kerajaannya dengan bijak. Itulah sebabnya, baginda sangat dicintai
rakyatnya. Namun, diusianya yang terbilang senja, sang raja mulai merasakan
kegelisahan yang mendalam. Ia ingin segera lengser dari tahta kerajaan. Di sisi
lain, ia masih belum menemukan ketepatan waktu untuk mengangkat putra mahkota
menggantikan posisinya. Ia masih belum menemukan kualitas kepemimpinan yang
memadai pada diri sang buah hati.
Hingga suatu
petang, ia memanggil buah hati semata wayangnya, sang putra mahkota. Sang raja
mengajak putranya berdialog.
“Anakku, kau tahu usia ayahmu tak
lagi muda. Tak berapa lama lagi ayah tak akan menjadi raja di negeri kita ini.
bagaimana pendapatmu?” kata sang raja
“betul, ayah. Memang ayah sekarang sudah semakin tua.
Ada baiknya bagi ayah untuk menikmati masa tua dengan kedamaian tanpa harus
dipusingkan dengan perkara kerajaan.” Demikian putra mahkota berpendapat.
“iya anakku. Karena itu aku meminta
engkau untuk mempersiapkan diri guna menggantikan diriku sebagai raja”, lanjut Sang Raja.
“Baik Ayah. Akan kulaksanakan semua
permintaan ayah”
Jawabnya.
“Baiklah, mulai besok, pergilah
engkau ke hutan. Tinggallah di dalam hutan selama satu tahun,” sang raja memberikan perintahnya.
“Untuk apa, ayahku? Bukankah aku
sudah ayah bekali dengan berbagai pengetahuan untuk menjadi raja?” segera putra mahkota bertanya.
“Semua yang telah kauperoleh belumlah
cukup. Berdiamlah di hutan sana. Cermati sekelilingmu. Dan, selepas satu tahun
kembalilah ke sini, ceritakan suara-suara apa saja yang kau dengar di hutan
sana” jawab ayahnya
“jika demikian, baiklah. Akan
kulakukan segala yang ayah titahkan padaku,” Jawab putra mahkota dengan penuh hormat.
-----------------
Setahun
lewat, ia kembali ke istana. Sang raja menyambutnya dengan suka cita, “Anakku, apa yang kau dengar di dalam
hutan?”
“Banyak ayah. Aku mendengar gemerisik
daun tertiup angin, suara daun jatuh ke tanah, kicau burung, dengung lebah yang
sedang terbang mencari madu, bunyi jangkrik, auman harimau, dengusan banteng,
gemericik bunyi air di bebatuan, dan banyak lagi lainnya,” jawab putra mahkota dengan antusias.
Mendengar
jawaban anaknya sang raja terdiam. Nampak, kecewa, ia pun berkata, “Anakku, kau
belum pantas menjadi raja. Pergilah kembali ke hutan untuk enam bulan ke depan.
Dengarkan kembali suara-suara hutan.”
Enam bulan
berlalu, putra mahkota telah berada ke istana dari kontemplasinya di hutan.
Sang raja kembali bertanya, “Apa yang kau dengar di tengah hutan, nak?”
Putra
mahkota menjawab dengan lugas, “ Aku mendengar suara-suara bunga-bunga hutan
yang bermekaran dan menguncup. Aku mendengar gemeretak bumi menyambut hangatnya
terpaan sinar mentari. Dan aku mendengar suara denyut jantung beribu hewan
serta unggas yang tinggal dalam hutan belantara.”
“Bagus,
anakku. Kau sudah belajar banyak. Enam bulan di hutan, kemajuanmu luar biasa,”
Kata Sang Raja dengan gembira.
“Apalagi
yang kau dengar?” Raja melanjutkan pertanyaannya.
“Ayah, aku
juga mendengar suara diriku. Aku mendengar suara alirah darahku. Aku mendengar
suara hatiku yang terus bertutur sepanjang waktu.”
Baginda tak
kuasa menahan air matanya. Ia segera memeluk sang buah hati. Dalam isaknya ia
berbisik di telinga sang anak, “Kini
engkau adalah raja baru negeri ini. Aku ikhlas. Ketahuilah anakku, mendengar
sesuatu yang tidak terdengar merupakan satu-satunya cara terbaik untuk menjadi
pemimpin yang bijak. Caranya adalah dengan sungguh-sungguh menyimak kegembiraan
maupun penderitaan yang tidak diucapkan oleh orang yang kita pimpin.
Adalah mudah untuk mendengarkan
suara-suara tersembunyi disekelilingmu. Asal engkau mau dan mampu mendengar
suara hatimu. Engkau telah mempelajari dengan baik kearifan hutan dan tugas
panjang dalam hidupmu yang menjadi esesnsi bagi pemimpin negeri ini.”
Kepemimpinan
adalah bahasan klasik yang terus abadi. Tidak penah hentik dikaji dan disaji.
Karenanya, senyatanya, keberadaannya menjadi salah satu penguat bagi
keberhasilan sebuah organisasi. Dalam semua skala, kecil hingga besar. Dan
dengan status kepemimpinan itulah, kita menjalani peran masing-masing. Itulah
sebabnya setiap kita menjadi penting untuk mengasah kualitas diri sebagai
pemimpin.
Banyak
konsep dan teori yang menggambarkan cara, gaya, dan metode kepemimpinan yang
pamungkas. Untuk menguasai beragam gaya kepemimpinan, tak segan para (calon)
pemimpin mengeluarkan gemerincing rupiah. Puluhan bahkan ratusan pelatihan
ataupun seminar kepemimpinan dihadiri.
Tujuannya
adalah agar menjadi pemimpin yang fleksibel dalam berbagai situasi. Kuat dan
memiliki kharisma kepemimpinan yang senantiasa terjaga. Tentu saja melakukan
hal itu adalah baik. Karena ilmu manajemen kepemimpinan akan menjadi alat dan
metode sistematis dalam membangun, paling tidak, kerangka pikir seseorang
pemimpin.
Sebenarnya,
bila diruntut, kita akan menemukan esensi dasar kepemimpinan pada dua kualitas
utama. Pertama, kemampuan untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang.
Sebagaimana yang disampaikan Charles C. Manz bahwa esensi kepemimpinan adalah
proses untuk mempengaruhi. Dalam konteks ini, penguasaan terhadap
orang-orangyang dipimpin menjadi kunci penting keberhasilan seorang pemimpin.
Bagi
kebanyakan orang, pelatihan atau seminar seperti di atas itulah yang menjadi
sarana penguatannya.walaupun, lebih dari itu, ada hal yang lebih mendasar
dibanding dengan penguasaan ilmu manajemen. Adalah mengasah jiwa kepemimpinan
dimulai dari kemampuan mempengaruhi dan mengendalikan diri sendiri. Karena
sejatinya, setiap kita adalah pemimpin. Pemimpin bagi diri sendiri.
Bagaimana
mungkin kita bisa mengendalikan orang lain bila kita sendiri tak mampu
menguasai diri sendiri?
Kepemimpinan yang sejati adalah milik setiap orang. Mereka yang di jiwanya senantiasa dipenuhi dinamika. Berupaya dan, pada gilirannya, mampu mengatasi diri. Kemampuan utnuk melampaui diri didapatkan dengan penuh kesadaran akan pemahaman diri (Self-awarness). Berani untuk mengarahkan diri (Self-Directing) dan mengelola diri (Self-managing) secara santun dan bersahaja. Hingga tak pelak, sampailah pada titik puncak pencapaian prestasi diri (Self-accomplishment) sebagai pemimpin utama.
Memang,
untuk sampai ke sana bukanlah perkara mudah. Namun mengasyikkan, karena,
sesungguhnya, membangun jiwa kepemimpinan adalah sesuatu yang menyenangkan
meski kadang kali menjadi rumit.
“Leadership should be fun as mathematics is Fun”
Begitulah
Albert Enstein menyatakan, di tengah kerumitan selalu mencul kesederhanaan.
Dari pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan mengasyikkan akan nampak jiwa
yang besar, disiplin, sederhana dan bersehaja.
Dalam Kontek Indonesia, Muhammad
Hatta, bisa menjadi tolak ukur kepemimpinan. Kesederhanaannya tidak
menghilangkan jejak kebesaran jiwanya. Kejujurannya tidak bisa dibeli untuk
sekedar keuntungan sesaat.
Suatu waktu
keluarga wakil presiden ini hendak membeli mesin jahit. Namun, karena gaji
sebagai wakil presiden yang tak seberapa, menuntutnya untuk menabung agar
sebuah mesin jahit terbeli. Namun, rencana membeli terpaksa ditunda, karena
tiba-tiba saja pemerintah waktu itu mengeluarkan kebijakan sanering (pemotongan
nilai uang) dari Rp. 100 menjadi Rp. 1. Akibatnya nilai tabungan yang sudah
dikumpulkan rahmi, sang istri, menurun dan makin tidak cukup untuk membeli
mesin jahit.
Sang istri
agak protes berkata kepada Bung Hatta, “Aduh,
Ayah! Mengapa tidak bilang terlebih dahulu bahwa akan diadakan pemotongan uang?
Yaa, uang tabungan kita tidak ada gunanya lagi! Untuk membeli mesin jahit sudah
tidak bisa lagi, tidak ada harganya lagi.”
Dengan kalem
Bung Hatta menjawab, “Itu rahasia negara,
jadi tidak boleh diberitahukan, sekalipun kepada keluarga sendiri. “
Begitulah
kualitas pemimpin yang mampu mempengaruhi orang. Bukan karena kekuasaan yang
dimiliki. Tapi, karena kepekaannya mendengar suara hati yang senantiasa
berujar. Dari sinilah muncul personal
leadership sebagai fondasi kokoh dalam mempengaruhi orang lain.
Esensi kedua
dari kepemimpinan itu adalah pelayanan, al-qiyadah hiya khadimah al-ummah.
Memposisikan diri sebagai pelayan akan menampilkan sikap empati. Dan, hal ini
diawali dari kemampuan mendengar suara hati.
Kenneth
Blanchard mengatakan, “True leader starts
on the inside with servant heart, then moves outward to serve others”.
Kepemiminan
menurutnya hendaknya dimulai dari dalam hati dan keluar untuk melayani mereka yang dipimpinnya.
Kepemimpinan adalah transformasi internal dalam diri seseorang. Sesuatu yang
tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan berawal dari
proses internal.
Kepemimpinan
bukanlah kemuliaan. Posisi itu merupakan beban yang harus
dipertanggungjawabkan. Bukan hanya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Tapi
juga kepada penguasa alam semesta.
Atas dasar asumsi itulah Umar bin Khattab
memberikan wasiat kepada gubernur Mesir, Abu Musa Al-Asy’ari: “...Tengoklah rakyatmu yang sedang sakit.
Saksikan jenazah mereka. Bukalah pintu rumahmu untuk mereka. Gembirakan
persoalan mereka dengan kehadiranmu. Engkau adalah bagian dari mereka, sebab
Allah memberimu beban yang lebih berat...”
Menjadi
tepatlah seorang pemimpin ketika diwawancara oleh salah satu televisi kemudian
dia mengatakan “Saya memang berwajah pelayan, karena tugas saya adalah melayani
rakyat Iran” dan salah satu aktivitas penting menjadi pelayanan terbaik adalah
dengan mendengar. Memiliki telinga yang peka, bukan pekak.
Tanpa
kemauan keras untuk mendengar maka kita tidak akan menjadi pelayan yang baik.
Tanpa spirit melayani (bukan spirit dilayani) yang baik kita tidak akan sampai
pada puncak kepemimpinan sejati. betullah mendengar sesuatu yang tidak
terdengar merupakan satu-satunya cara terbaik untuk menjadi pemimpin yang
bijak.
Caranya
adalah dengan sungguh-sungguh menyimak kegembiraan maupun penderitaan yang
tidak diucapkan oleh orang yang kita pimpin. Adalah mudah untuk mendengar
suara-suara tersembunyi di sekeliling. Asal kita mau dan mampu mendengar suara
hati kita yang terus bergemuruh.
Ramadhan,
khususnya 10 hari terakhir, adalah waktu
termahal, terbaik, terindah untuk mengasah, mengasuh, dan memperbaharui jiwa
kita. Untuk mendengar hal-hal yang tidak bisa kita dengar di tengah kebisingan
dan persaingan. Meluruskan orientasi kehidupan untuk selalu hidup bersama-Nya. Di
bawah naungan petunjuk wahyu (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya Muhammad
Sholaullohhu ‘Alaihi Wassalam.
Kini
pertanyaannya, sudahkah “telinga” kita peka?
Foto 1 & 2 : Koleksi Pribadi (Gunung Dempo & Masjid UI)
Wallahu’Alam
Jakarta, 17
Ramadhan 1437H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.