Rabu, 01 Juni 2016

Teladan Cinta Dari Buya Hamka : Bagaimana Cara Mencintai

Tidak sedikit orang-orang Indonesia yang menjadi tokoh dan idola di luar negeri. Salah satunya Buya Hamka. Tokoh yang memberikan teladan kepada manusia, berjiwa besar, pemaaf dan berlapang dada. 
 
Ada pelajaran yang menarik sekali dari sepenggal kisah perjalanan hidup Buya Hamka yang dituliskan oleh Irfan Hamka. Dalam buku ini, Irfan tidak hanya membahas Buya Hamka sebagai ulama, sastrawan, cendikiawan, atau pemimpin masyarakat, tetapi mengenang beliau sebagai manusia yang dicintai istri, anak-anak, keluarga, murid-murid, dan sahabat-sahabatnya.

Pemilik nama lengkap H. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) adalah tokoh Indonesia pertama yang menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar (Universitas Tertua di dunia).

Berikut kutipan dari buku "Ayah" karya Irfan Hamka, h.212-213:

AYAH SEPENINGGAL UMMI

Ketika dalam sebuah acara Buya Hamka dan istri beliau diundang, mendadak sang pembawa acara meminta istri Buya untuk naik panggung. Asumsinya, istri seorang penceramah hebat pastilah pula sama hebatnya.

Naiklah sang istri, namun ia hanya bicara pendek. “Saya bukanlah penceramah, saya hanyalah tukang masaknya sang Penceramah.” Lantas beliau pun turun panggung.

Dan berikut adalah penuturan Irfan, putra Buya, yang menuturkan bagaimana Buya sepeninggal istrinya atau Ummi Irfan.

Setelah aku perhatikan bagaimana Ayah mengatasi duka lara sepeninggal Ummi, baru aku mulai bisa menyimak. Bila sedang sendiri, Ayah selalu kudengar bersenandung dengan suara yang hampir tidak terdengar. Menyenandungkan ‘kaba’. Jika tidak Ayah menghabiskan 5-6 jam hanya untuk membaca Al Quran.

Bila selesai bersenandung, Ayah mengambil air wudhu, lalu shalat. Selesai shalat, Ayah tiduran di tempat tidur sambil bersandar di bantal yang disandarkan di kayu tempat tidur itu. Dari bawah bantal yang lain Ayah mengambil Al-Qur’an kecil, kemudian hanyut membacanya. Salah satu kebiasaan Ayah, ia tidak akan berhenti membaca Al-Qur’an sebelum ia mengantuk. Beliau akan terus membacanya sampai 2-3 jam. Karena itu, Ayah bisa menghabiskan 5-6 jam sehari hanya untuk membaca Al-Qur’an
 
Dalam kuatnya Ayah membaca Al Quran, suatu kali pernah aku tanyakan.

“Ayah, kuat sekali Ayah membaca Al Quran?”tanyaku kepada ayah.

“Kau tahu, Irfan. Ayah dan Ummi telah berpuluh-puluh tahun lamanya hidup bersama. Tidak mudah bagi Ayah melupakan kebaikan Ummi. Itulah sebabnya bila datang ingatan Ayah terhadap Ummi, Ayah mengenangnya dengan bersenandung. Namun, bila ingatan Ayah kepada Ummi itu muncul begitu kuat, Ayah lalu segera mengambil air wudhu. Ayah shalat Taubat dua rakaat. Kemudian Ayah mengaji. Ayah berupaya mengalihkannya dan memusatkan pikiran dan kecintaan Ayah semata-mata kepada Allah,” jawab Ayah.

“Mengapa Ayah sampai harus melakukan shalat Taubat?” tanyaku lagi.

“Ayah takut, kecintaan Ayah kepada Ummi melebihi kecintaan Ayah kepada Allah. Itulah mengapa Ayah shalat Taubat terlebih dahulu,” jawab Ayah lagi.

Soal Akidah, memang ayah sangat berhati-hati sekali.

Semoga menjadi renungan kita bersama bahwa kecintaan kita kepada makhluk jangan sampai melebihi/ mengalahkan cinta kita kepada Sang Khaliq. Itulah tanda orang yang telah mengenal cinta yang sejati dan abadi.

Jakarta, 24 Syaban 1437 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.