Tidak sedikit orang-orang Indonesia yang
menjadi tokoh dan idola di luar negeri. Salah satunya Buya Hamka. Tokoh yang
memberikan teladan kepada manusia, berjiwa besar, pemaaf dan berlapang dada.
Ada pelajaran yang menarik sekali dari sepenggal kisah
perjalanan hidup Buya Hamka yang dituliskan oleh Irfan Hamka. Dalam buku ini,
Irfan tidak hanya membahas Buya Hamka sebagai ulama, sastrawan, cendikiawan,
atau pemimpin masyarakat, tetapi mengenang beliau sebagai manusia yang dicintai
istri, anak-anak, keluarga, murid-murid, dan sahabat-sahabatnya.
Pemilik nama lengkap H. Abdul Malik
Karim Amrullah (Hamka) adalah tokoh Indonesia pertama yang menerima gelar
Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar (Universitas Tertua di dunia).
Berikut kutipan dari buku "Ayah" karya Irfan Hamka,
h.212-213:
AYAH SEPENINGGAL UMMI
Ketika dalam sebuah acara Buya Hamka dan istri beliau
diundang, mendadak sang pembawa acara meminta istri Buya untuk naik panggung.
Asumsinya, istri seorang penceramah hebat pastilah pula sama hebatnya.
Naiklah sang istri, namun ia hanya bicara pendek. “Saya bukanlah penceramah, saya hanyalah
tukang masaknya sang Penceramah.” Lantas beliau pun turun panggung.
Dan berikut adalah penuturan Irfan, putra Buya, yang
menuturkan bagaimana Buya sepeninggal istrinya atau Ummi Irfan.
Setelah aku perhatikan bagaimana Ayah mengatasi duka
lara sepeninggal Ummi, baru aku mulai bisa menyimak. Bila sedang sendiri, Ayah
selalu kudengar bersenandung dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Menyenandungkan ‘kaba’. Jika tidak Ayah menghabiskan 5-6 jam hanya untuk
membaca Al Quran.
Bila selesai bersenandung, Ayah mengambil air wudhu, lalu shalat. Selesai shalat, Ayah tiduran di tempat tidur sambil bersandar di bantal yang disandarkan di kayu tempat tidur itu. Dari bawah bantal yang lain Ayah mengambil Al-Qur’an kecil, kemudian hanyut membacanya. Salah satu kebiasaan Ayah, ia tidak akan berhenti membaca Al-Qur’an sebelum ia mengantuk. Beliau akan terus membacanya sampai 2-3 jam. Karena itu, Ayah bisa menghabiskan 5-6 jam sehari hanya untuk membaca Al-Qur’an
Bila selesai bersenandung, Ayah mengambil air wudhu, lalu shalat. Selesai shalat, Ayah tiduran di tempat tidur sambil bersandar di bantal yang disandarkan di kayu tempat tidur itu. Dari bawah bantal yang lain Ayah mengambil Al-Qur’an kecil, kemudian hanyut membacanya. Salah satu kebiasaan Ayah, ia tidak akan berhenti membaca Al-Qur’an sebelum ia mengantuk. Beliau akan terus membacanya sampai 2-3 jam. Karena itu, Ayah bisa menghabiskan 5-6 jam sehari hanya untuk membaca Al-Qur’an
Dalam kuatnya Ayah membaca Al Quran, suatu kali pernah
aku tanyakan.
“Ayah, kuat sekali Ayah membaca Al Quran?”tanyaku
kepada ayah.
“Kau tahu, Irfan. Ayah dan Ummi telah berpuluh-puluh
tahun lamanya hidup bersama. Tidak mudah bagi Ayah melupakan kebaikan Ummi.
Itulah sebabnya bila datang ingatan Ayah terhadap Ummi, Ayah mengenangnya
dengan bersenandung. Namun, bila ingatan Ayah kepada Ummi itu muncul begitu
kuat, Ayah lalu segera mengambil air wudhu. Ayah shalat Taubat dua rakaat.
Kemudian Ayah mengaji. Ayah berupaya mengalihkannya dan memusatkan pikiran dan
kecintaan Ayah semata-mata kepada Allah,” jawab Ayah.
“Mengapa Ayah sampai harus melakukan shalat Taubat?”
tanyaku lagi.
“Ayah takut, kecintaan Ayah kepada Ummi melebihi
kecintaan Ayah kepada Allah. Itulah mengapa Ayah shalat Taubat terlebih
dahulu,” jawab Ayah lagi.
Soal Akidah, memang ayah sangat
berhati-hati sekali.
Semoga menjadi renungan kita bersama
bahwa kecintaan kita kepada makhluk jangan sampai melebihi/ mengalahkan cinta
kita kepada Sang Khaliq. Itulah tanda orang yang telah mengenal cinta yang
sejati dan abadi.
Jakarta, 24 Syaban 1437 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.