“Belumkah datang
waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat
Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah
mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi
keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Al-Hadiid:
16)
Sahabat yang
budiman, dalam hingar bingar kehidupan modern yang serba cepat saat ini. ayat
ini berusaha menggugah kesadaran kita dengan pertanyaan, dan pertanyaan itu
dihadapkan kepada orang yang telah mengaku dirinya beriman, apakah sudah
perbuatannya sudah membuktikan bahwa ia adalah orang yang beriman? Salah satu
tanda orang itu beriman adalah hati mereka selalu khusyu kepada Allah.
Di ayat ke 2 Qur’an
surah al-Anfal menunjukkan salah satu tanda bagaimana pengaruh adanya iman itu
terhadap jiwa dan sikap hidup kita.
"Sesungguhnya
orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka
(karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal." [Q.S. al-Anfal: 02]
.
Apabila kita
pertemukan ayat ke 2 surah al-Anfal ini dengan ayat 16 dari surah al-Hadiid,
dapatlah berita dan tanda-tanda di ayat yang pertama dengan ayat 16 surah
al-Hadiid ini, bukan pertanyaan dari Allah saja, bahkan pertanyaan dari kita
sendiri kepada diri sendiri, sudahkah saya ini beriman? Dan kalau belum, kapan
lagi saya buktikan?
Lalu apa makna
khusyu dalam ayat ini?
Khusyu, artinya
hati yang rendah dan tunduk kepada Allah, yang insaf akan kerendahan dan kelamahan
diri berhadapan Allah yang Maha Kuasa. Pertanyaannya,
ketika nama Allah disebut orang, bila mendengar orang memberikan pengajaran,
apabila mendengar Al-Qur’an, apakah hati ini tergetar atau tidak? Sudahkah ada
perasaan bahwa kita sedang menghadap Allah yang Maha Kuasa, Maha Pemberi
Rezeki, Maha Penyayang, Maha Melihat setiap gerak-gerik kita, dan Maha
Mendengar setiap doa yang dipinta hamba-Nya?
Pertanyaan selanjutnya,
setelah mendengar itu semuanya, adakah tekad hendak melaksanakan apa yang
diperintahkan oleh-Nya? Menurut keterangan Abdullah bin al-Mubarak: pertanyaan
ini datang dari Allah setelah tiga belas tahun masa sejak ayat pertama turun
bahkan menurut suatu riwayat dari Abdullah bin Mas;ud, setelah empat tahun kami
menerima Islam, datanglah pertanyaan ayat ini kepada kami. Lalu bagaimana
dengan kita?
Sahabat, ada
pelajaran terpenting dalam ayat ini ialah bahwa ilmu manusia dapat bertambah
dan ayat-ayat dapat turun satu, dua ayat dan seterusnya. Apalagi di zaman
canggih seperti yang kita rasakan saat ini. kita dengan mudah mencari,
menerima, melihat, dan mendengar pembahasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an, baik
berupa teks, audio, maupun visual. Namun,
satu hal yang lekas hilang dari sebagian orang mukmin ialah rasa khusyunya
kepada Allah.
Syaddad bin Aus
mengatakan bahwa dia mendengar Rasulullah shalaullohhu ‘alaihi wasaslam
bersabda,
“Sesungguhnya, yang
mula-mula diangkatkan Allah dari hati manusia ialah rasa khusyu itu”
Selanjutnya Allah
berfirman, “Dan janganlah ada mereka seperti orang-orang yang kedatangan
kitab sebelumnya.” yang dimaksudkan dengan orang-orang yang kedatangan
kitab sebelum Al-Qur’an itu ialah orang yahudi yang kedatangan kitab Taurat
yang dibawa Nabi Musa dan orang-orang Nasrani yang kedatangan injil yang dibawa
oleh Nabi Isa al-Masih, “maka panjanglah masa yang mereka lalui, maka
menjadi kerasalah hati mereka.” Sehingga kitab-kitab ang mulia itu dibaca
setiap hari, bahkan dihafal bersama artinya, namun tidak ada pengaruh pada
hati, sebab hati itu sudah kasar. Kitab sudah lama diterima, namun dia tidak
berbekas lagi terhadap hati.
Dalam kehidupan sehari-hari
mungkin kita pernah bahkan sering melihat orang yang berilmu, fasih bacaan
Al-Qur’annya, dianggap masyarakat sebagai Ustadz akan tetapi, memiliki hati yang
kasar terhadap sesama muslim. Biasanya, semakin tinggi kedudukannya semakin
besar rasa egonya untuk memecah egonya demi menjalankan perintah Allah dan rasul-Nya
untuk saling maaf-memaafkan. Kenapa ini bisa terjadi? Bukankah ia sering
membaca Al-Qur’an? Fasih dan mengerti artinya?
“dan banyak
diantara mereka yang fasik”
Ibnu Katsir dalam
tafsirnya memberikan tafsir yang dapat kita renungkan dalam hal ini. kata
beliau, “Allah telah melarang orang-orang yang berman menyerupai orang yang
menerima kitab terdahulu dari mereka, yaitu Yahudi dan Nasrani. Setelah lama
diantaranya, telah mereka tukar saja kitab yang ada di tangan mereka itu dengan
kitab lain, lalu mereka jual dengan harga yang sedikit, sedang kitab yang asli
mereka buang jauh.
mereka lebih mementingkan
pendapat sendiri daripada ayat-ayat yang diturunkan Allah, bahkan mereka tukar,
lalu timbul perselisihan di antarasatu sama lain, lalu mereka ikutilah pendapat
manusia di dalam mempertimbangkan hukum Allah.
lebih dari itu mereka ambillah pendeta-pendeta
mereka menjadi Tuhan disamping Allah. Lantaran itu, hati mereka pun kusut dan
kasar, sehingga mereka tidak mau menerima ganjaran lagi dari yang lain dan
tidak ada lagi hati yang lunak untuk menerima peringatan dan pengajaran. Banyaklah
di antara mereka yang fasik. Bahkan berani mengubah-ubah ayat al-kitab itu atau
memberikan tafsiran menurut apa yang hendak mereka pikirkan.
Al-Qurtubi
menjelaskan dalam tafsirnya bahwa begitulah kelakuan dari pendeta-pendeta
Nashara yang menguasai kitab-kitab suci itu, sehingga apa yang mereka putuskan
itulah yang mesti diterima tidak boleh dibantah lagi. Akhirnya, kita lihat
sendiri timbulnya peperangan di antara pemeluk suatu agama, yaitu katolik dan
protestan, keduanya mendakwahkan dirinya di pihak yang benar, dan lawannya
dikafirkan dan dimusuhi bahkan dibunuh.
Maka sebagaimana diterangkan
oleh Ibnu Katsir tadi, ayat ini mengingatkan kepada umat Muhammad shalaullahhu ‘alaihi
wassalam bahwasannya ayat-ayat Allah di dalam Al-Qur’an hendaklah menimbulkan
khusyu dan menimbulkan cita-cita yang tinggi untuk mengamalkan isinya, jangan
sampai seperti yang diperumpamakan Allah di dalam Al-Qur’an, laksana keledai
memikul kitab-kitab, bagaimana pun berat yang dipikulnya namun dia tidak tahu
apa isinya.
Perkara ini, yaitu
khusyu’ merupakan perkara yang berat membutuhkan usaha dan jerih payah.
Sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, manusia paling mulia
berlindung kepada Allah dari hati yang lalai, dari hati yang tidak khusyu’ :
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَنَفْسٍ
لاَ تَشْبَعُ وَعِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَدَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا
“Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa
yang tidak pernah merasa puas, dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari doa
yang tidak terkabul” (Hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan An Nasa’i)
Jakarta, 9 Rabiul
Akhir 1439 H
Photo Credit: Calm
Photo Credit: Calm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.