Banyak ayat
yang sudah kita baca dan akrapi dalam hidup. Walaupun kita harus mengakui masih
banyak dikalangan generasi muslim yang belum mampu membaca kitab suci dengan
baik. Tetapi pertanyaan pentingnya adalah seberapa jauh ayat yang kita baca itu
mampu mengubah kehidupan kita?
Adakah perubahan pola pikir, perasaan, dan sikap
seorang hamba ketika berinteraksi dengan surat cinta dari Penciptaya Sang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang.
Mari kita
perhatikan dengan seksama surat cinta dari-Nya kepada manusia yang penuh khilaf
dan dosa ini. Semoga Anda menemukan kembali spirit untuk hidup. Allah Subhanahu
Wata’ala berfirman :
“...Sesungguhnya Allah menyesatkan
siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk orang-orang yang taubat
kepada-Nya. Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenang
dengan mengingat Allah. Sadarilah hanya dengan mengingat Allah hati akan
tenang.” (Ar-Ra’d:
27-28).
Saudaraku,
Apakah Anda pernah mendengar atau membaca ayat di atas? Apa yang Anda pahami
setelah membacanya?
Ayat di atas
dipetik dari surat Ar-Ra’d yang berarti guruh. Disebut surat Ar-Ra’d karena ada
bagian yang menyinggung tentang guruh, yakni pada ayat ke-13 yang berbunyi, Dan
guruh itu bertasbih sambil memuji Allah. Ayat ini memberi pelajaran kepada
manusia bahwa guruh pun bertasbih, sudah semestinya manusia pun ikut bertasbih.
Sedangkan
ayat ke-27 dan 28 yang tertera di atas menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) akan memberi
petunjuk dan bimbingan kepada orang-orang yang bertaubat kepada-Nya. Artinya,
orang-orang yang sadar lalu kembali ke jalan Allah; orang-orang yang telah
menyesali perbuatan-perbuatan tercela yang pernah dilakukannya.
Tulisan Terkait : Lima Langkah Kunci Kembali Kepada Allah
Tulisan Terkait : Lima Langkah Kunci Kembali Kepada Allah
Dijelaskan
dalam ayat ke-28 bahwa, “Yaitu
orang-orang yang beriman.” Artinya, dengan bertaubat itu berarti kembali
memasuki kancah keberimanan atau kembali melakukan kewajiban-kewajiban sebagai
orang beriman. Hal tersebut dibuktikan dengan banyak mengingat Allah sehingga
tidak mudah lagi terpeleset dari jalan petunjuk. Dalam keadaan demikian itu,
jiwanya menjadi tenang dan tenteram, karena memang ada jaminan dalam lanjutan
ayat itu bahwa, “Dengan banyak mengingat
Allah hati akan tenteram.”
Orang yang
telah melalui proses ini--yaitu menyongsong gerbang taubat dan memasuki istana
iman--lalu memanfaatkan kondisi tersebut untuk selalu mengingat Allah, maka
itulah orang yang telah mendapat kebahagiaan yang tiada bandingannya.
Apalagi
dalam kondisi seperti sekarang ini, ketenangan jiwa sungguh sangat mahal
harganya. Bukankah di sekitar kita sekarang penuh dengan hal-hal yang
memproduksi kegelisahan, kecemasan, keputusasaan, keraguan, duka cita, dan lain
sebagainya? Kalau kita tidak memiliki ketenangan jiwa, tidak memiliki pegangan
kuat, dan tidak mempunyai pandangan, niscaya mudah terombang-ambing.
Tulisan Terkait
: Bagaimana Menyikapi Takdir
Mengingat
Allah juga dapat berarti hendaknya kita selalu menumbuhsuburkan prasangka baik
kepada Allah. Jika kita buat sebuah ilustrasi, Apakah Anda pernah mencukur
rambut (bisa ke pangkas rambut atau salon)?
Kenapa
ketika sebuah pisau ada di telinga Anda, Anda tidak merasa takut? Ketika pisau
itu bergerak ke arah leher Anda untuk merapikan jenggot Anda, Anda masih tampak
tenang juga?
Iya, karena
Anda memiliki prasangka baik kepada si tukang cukur bahwa ia seorang yang ahli
dalam mencukur. Maka hilanglah kerisauan dan ketakutan Anda. Lalu bagaimana
dengan Allah? Bukankah semua masalah yang kita hadapi sudah diukur dengan
cermat oleh-Nya? Bahwa Anda pasti mampu melewatinya.
Tidakkah
Anda ingat bahwa telah berlalu beratus-ratus kesulitan hidup yang telah Anda
lewati. Sejak Anda Bayi sampai dewasa hari ini. sudah berapa liter air mata dan
keringat yang mengalir berganti dengan senyum dan tawa.
Jika kita
menelisik lebih jauh ke dalam sanubari yang terdalam, kita akan menemukan
banyak bisikan-bisikan keraguan terhadap Janji-Janji dan solusi yang ditawarkan
oleh Sang Pencipta. Sehingga banyak manusia khususnya umat muslim menghalalkan
segala cara demi mencapai tujuannya.
Saudaraku,
Ketenangan
jiwa membuat orang dapat hidup tenang. Inilah yang sangat diperlukan pada
situasi seperti sekarang, di tengah-tengah gelombang kehidupan yang serba tidak
menentu. Apalagi bagi seorang pemimpin yang bercita-cita mewujudkan
kecerah-ceriaan masa depan bagi negeri yang sedang terpuruk ini. Hanya orang
yang memiliki ketenangan jiwa yang dibalut oleh iman dan dzikrullah yang dapat
berpikir tenang; berpandangan jitu, dan mampu membuat program yang mengenai
sasaran untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan.
Dzikir juga
berarti kita bisa mengkaitkan setiap aktivitas yang kita lakukan sebagai ibadah
kepada-Nya. MengingatNya dalam pasar dengan menjadi pedagang yang jujur.
Mengingat-Nya di Rumah Sakit dengan memberikan obat yang halal dan menjauhi
vaksin yang palsu. Mengingat-Nya di Sekolah atau kampus dengan giat belajar. Mengingat-Nya
di Kantor atau Perusahaan dengan tekun bekerja sambil memegang teguh
prinsip-prinsip kejujuran dan integritas. Mengingat-Nya di ladang pertanian
dengan menanam benih yang unggul dan telaten merawatnya. Mengingat-Nya di dalam
keluarga dengan mendidik titipan-Nya berupa putra-putri yang masih lucu.
Kita
membutuhkan orang-orang sholeh di semua bidang kehidupan manusia. Mereka bisa
saja berbeda profesi, bisa sebagai teknokrat, Pengusaha,Ekonom, Guru, Orang
tua, Politisi, Pedagang, Tentara, dan tentunya Pemimpin. Bukan hanya di
masjid-masjid. Sehingga perubahan bisa secara masif dilakukan disemua lini.
Sekarang ini
kita bukannya miskin manusia intelek, tetapi ibu-ibu di negeri ini tidak subur
rahimnya untuk melahirkan insan-insan yang memiliki jiwa dan pikiran tenang.
Yaitu insan yang tidak terkontaminasi dengan virus kegelisahan, kecemasan,
keputusasaan, dan keraguan.
Hendaknya
secuil ketenangan jiwa yang telah kita peroleh bisa senantiasa dipelihara, kita
pupuk dengan shalat, shiyam, baik yang fardhu atau yang sunnah, infaq, dzikir,
dan tadabbur (telaah) Al-Qur'an. In syaa
Allah semua itu akan menghidupkan hati, menenangkan jiwa, membuka pikiran, dan
meluruskan langkah. Lebih jauh dari itu, akan mengantar kita agar dapat
terhindar dari kesulitan di akhirat, yang sekaligus akan mempermudah kita dalam
urusan dunia ini.
Sekarang ini
kita tidak mengharapkan lahirnya pakar manajemen yang telah menghabiskan
separoh umurnya belajar dari satu negara ke negara yang lain, namun kering dari
nilai-nilai wahyu. Tapi yang diharapkan adalah yang tercerahkan dengan wahyu
dan kaya dengan bahan perbandingan.
Saudarku
mari kita bisa belajar dari sejarah. Kaisar Romawi, Heraclius, beberapa saat
setelah pasukannya dipukul mundur oleh tentara Muslim, dia bertanya kepada
pembesar-pembesarnya, “Kabarkanlah
kepadaku tentang kaum Muslimin yang memerangi kalian itu. Bukankah mereka juga
manusia seperti kalian?”
Pembesarnya
menjawab, “Benar.”
Kaisar
bertanya lagi, “Lalu mana yang lebih
banyak jumlahnya, kalian atau mereka?”
Para
pembesar menjawab, “Jumlah kami lebih
banyak.”
Kaisar
melanjutkan pertanyaannya, “Kenapa kalian
bisa kalah?”
Seorang tua
di kalangan pembesar menjawab, “Karena
tentara Islam shalat di malam hari dan berpuasa di siang hari, mereka menepati
janji, melaksanakan amar ma'ruf dan nahi munkar, saling membagi, tidak saling
mementingkan diri. Yang menyebabkan kita kalah karena kita gemar minum khamr,
berzina, suka melakukan yang haram, terbiasa melanggar janji, mudah marah,
berbuat zhalim, memerintah dengan kekerasan, mencegah dari hal yang diridhai
Allah, dan kita banyak berbuat kerusakan di muka bumi ini.”
Kaisar
Heraclius berkata, “Lewat keteranganmu
ini membuat aku yakin bahwa kita memang pantas dikalahkan oleh mereka, dan
mereka akan merebut dan menguasai tempat berpijak kedua telapak kakiku ini.”
Kita dapat
melihat bahwa kemenangan yang dicapai ummat Islam bukan hanya dengan
mengandalkan persenjataan yang lengkap dan jumlah personil yang banyak, tapi
terletak pada ketaatan dan kepatuhan berpegang teguh pada ajaran yang
dianutnya. Dalam kondisi genting pun tetap menjaga moral dan mematuhi
norma-norma yang telah digariskan untuknya.
Mereka
memiliki ketenangan jiwa dan pikiran jernih, baik panglima perangnya ataupun
perajurit-prajuritnya. Mereka mampu menahan diri melihat lawannya berpesta
khamar dan melampiaskan nafsu seksnya. Kaum Muslimin sadar bahwa dalam
ketenangan dan pengendalian dirilah terletak potensi maha raksasa untuk
mencapai kemenangan.
Ini baru
satu dua ayat, bagaimana jika manusia menginstal Al-Qur’an dalam dirinya? tekun
mengakrapi dirinya kepada Al-Qur’an? Pastilah ketenangan,Kebahagiaan,
kesuksesan akan menghampiri dirinya. dan taukah Anda? Bahwa sesungguhnya
seorang hamba Allah itu hidupnya selalu dibahagiakan oleh Pentipta-Nya dengan
aneka perintah dan larangan-Nya. Syaratnya, kita benar-benar sudah menyerahkan
diri sepenuhnya kepada-Nya.
Semoga
keselamatan, rahmat, dan barokah Allah selalu menyertaimu saudaraku.
Semoga hari ini menyenangkan.
Wallahu a’lam.
Gambar : Succes
Dari Hamba
Allah yang mengharapkan Ridho dan Ampunan-Nya
Jakarta, (Menjelang
Fajar) 22 Syawal 1437 H
Subhanallah..ketenangan didapatkan tatkala iman dan mengingati Allah.
BalasHapusBermanfaat Mas Rio. Terimakasih.
Semoga Keselamatan, rahmat dan barokah Allah selalu menyertai Mas Beni Sumarlin. Senang bisa berbagi.
BalasHapusKarena Aturan islam sudah jelas, semoga bisa mengikuti ssecara penuh, aamiin.
BalasHapusBarokaullohhu Fiikum Saudaraku Usamah
Hapus