Akhir-akhir ini santer kita dengar orang berbondong-bondong
berburu pokemon melalui game Pokemon Go. mulai dari orang yang berpendidikan
sampai dengan orang yang tidak berpendidikan ikut-ikutan berburu pokemon.
Saya jadi teringat beberapa tahun yang lalu, banyak orang
yang berburu batu. Berbagai jenis batu dari harga puluhan ribu sampai puluhan
juta keluar dari kocek seseorang untuk memenuhi seleranya. Tapi bagaimana
nasipnya sekarang? Apa pelajaran yang bisa kita ambil?
Terkadang Emosi dan eforia masal membuat kita semua mudah
terjebak dalam “irrational exuberance”.
Ramai-ramai menjadi goblok. Kegoblokan kolektif. Demikian kata sebagian pakar.
Saat kita dihadapkan pada fenomena orang yang ramai
berbondong-bondong memburu sesuatu, kita mesti sadar mungkin ada benih
irasionalitas disana. Apalagi yang diburu ini sesuatu yang tidak ada. Hanya di
dalam smartphone.
Sebab perilaku yang dilakukan orang kebanyakan bukan berarti
yang paling benar. Jangan-jangan mereka sedang beramai-ramai menuju kegoblokan
massal.
Terkait Pokemon Go ini, semua ikut bermain, semua ikut
berkomentar mulai dari menteri sampai wakil presiden. Tapi, semua menganggap
hal ini biasa-biasa saja, tidak perlu ditutup. Benarkah ini hal biasa? Apa sebenarnya
dampak yang ditimbulkan dalam kehidupan masyarakat?
Dalam beberapa diskusi ada yang mengaitkan game ini dengan
ancaman keamanan data. Padahal jika kita berbicara ancaman keamanan data penggunannya.
Hampir semua aplikasi yang kita instal di smartphone kita, memiliki akses untuk
membuka data pribadi kita. Kecuali Anda menggunakan hp jadul, mungkin sedikit
lebih aman.
Ada pandangan yang lebih menarik dari semua itu terkait
bahaya laten smartphone dan game online, khususnya Pokemon Go dari seorang
sahabat yang ia dapatkan dari Yodhia.
Kegilaan dan kelatahan konsumen akan “sesuatu yang hot”
selalu berulang. Ini bukan penyakit khas Indonesia. Ini fenomena perilaku yang
terjadi di seluruh dunia. Fenonema ini juga lazim disebut sebagai “bandwagon effect” (social proof) – efek
kelatahan.
Dulu demam Angry Birds, dan sekarang jutaan konsumen terjebak
dalam euforia Pokemon Go.
Namun ada yang lebih kelam : kegilaan konsumen akan Pokemon
Go menyemburatkan sebuah fakta muram – tentang bahaya laten smartphone.
Apa hubungan Pikachu (nama karakter dalam Pokemon) dan bahaya
laten smartphone?
Cal Newport dalam risalah terbarunya yang memukau berjudul
Deep Work, menyebut sebuah istilah yang layak dikenang : shallow work. Shallow work adalah sejenis aktivitas yang
dangkal, kelihatan sibuk, namun tidak berdampak signifikan buat peningkatan
skills dan income kita.
Dan ledakan smarthone sungguh telah membuat banyak konsumen
terjungkal dalam shallow work yang
dangkal dan tidak produktif – atau tidak punya impak nyata bagi peningkatan self competency.
Salah satu contoh shallow
work, menurut Cal Newport ya itu tadi : berjam-jam sok sibuk menghabiskan
waktu untuk main game (seperti Pokemon Go, Dota, Class of Clans dan sejenisnya) via smartphone atau laptop.
Waktu yang sangat berharga, yang bisa dipakai untuk melakukan
deep work dan deep thinking demi peningkatan skills, terbuang percuma lantara
berjam-jam dihabiskan untuk main game di smartphone.
Ada cerita nyata yang menarik. Alkisah ada dua anak muda
sama-sama usia 19 tahun. Yang satu sibuk berjam-jam main game online (seperti
Pokemon dan CoC). Yang satu sibuk belajar dan praktek jualan online. 4 tahun kemudian, saat keduanya berusaia 23 tahun, yang
tadinya sibuk jualan online sudah bisa punya net income 25 juta per bulan. Yang
sibuk main game, bingung mau kerja apa dan malah jadi pengangguran.
Selain main game yang hanya buang-buang waktu untuk fun,
contoh shallow work lain menurut Cal Newport adalah ini : terjebak dalam
distraksi notifikasi onlie via smartphone.
Distraksi smartphone itu terus mengalir, always on, via notifikasi grup-grup WA yang diikuti, atau browsing
status di FB atau Instgram, atau menghabiskan waktu untuk membaca berita online
yang acap mutunya seperti sampah.
Terjebak Pokemon, terjebak diskusi ngalor ngidul via grup WA,
atau terjebak mengikuti status dan info online yang tidak ada gunanya adalah
contoh kelam tentang bahaya laten smartphone.
Itulah bahaya laten yang merampas waktu produktif kita. Waktu
berharga yang mestinya bisa digunakan untuk meningkatkan skills dan income,
terbuang percuma dalam layar smartphone yang destruktif.
Gangguan online tanpa henti dari smartphone seperti itu,
menurut Cal Newport, acap membuat kita gagal melakukan “deep work” dan “deep thinking”.
Deep work artinya menghasilkan karya
yang wow, yang butuh fokus, kedalaman serta konsentrasi yang tajam.
Sayangnya deep work
seperti itu kini makin sering gagal dilakukan karena tersapu oleh gelombang
distraksi tanpa henti dari smartphone.
Cal Newport menulis hal yang menarik : yang melakukan deep work sejatinya adalah programmer
yang menciptakan Pokemon (sang jenius yang menghasilkan karya wow seperti itu).
Sementara jutaan konsumennya hanya terjebak dalam shallow work – aktivitas yang
dangkal.
Jadilah kreator yang hebat. Bukan konsumen yang selalu
terjebak dalam euforia dan “dimanfaatkan” oleh para produsen kreatif.
Namun bahaya laten smartphone bukan hanya dalam hal merampas
waktu produktif kita untuk melakukan hal-hal dangkal seperti main game, cek
status abal-abal, atau browsing infomasi online yang tidak punya kaitan dengan
perubahan income kita. Apalagi akhirat kita.
Bahaya laten smartphone lain adalah ini : menjebak sel otak
kita untuk terbiasa berpikir melompat-lompat – klik ini, klik itu, tap ini tap
itu, scroll, scrol dan terus berputar seperti itu.
Smartphone mendidik kita untuk tidak pernah bisa fokus dan
selalu “tergoda” untuk terus bergerak mengikuti aliran informasi online atau
distraksi notifikasi.
Dalam jangka panjang, proses seperti amat kelam dampaknya.
Sebuah riset neurologi membuktikan kini makin banyak anak-anak muda generasi
digital yang sulit membangun konsentrasi panjang (misal membaca buku 50
halaman, atau menekuni sebuah pekerjaan yang menuntut deep thinking).
Attention span kita menjadi makin pendek – dan
selalu ingin bergegas (mirip seperti saat kita asyik main smartphone).
Akibatnya bisa fatal : sel otak yang terjebak seperti itu
jadi makin sulit diajak untuk menekuni sebuah problem sulit yang menuntut
ketekunan dan konsentrasi tajam.
Daya kegigihan dan ketekunan kita untuk melakukan deep work dan deep thinking jadi makin redup dihancurkan oleh layar smartphone.
Cal Newport menulis : tanpa kecakapan dan ketekunan melakukan
deep work, Anda hanya akan jadi
pecundang, dan tidak pernah bisa menghasilkan karya yang cetar membahana.
Mungkin itulah fakta pahit nan kelam tentang “smartphone
paradox” : smartphone yang kita pakai ini makin hari makin cerdas teknologinya.
Smarter machine. Namun sayang, gadget
yang kian cerdas itu kadang justru makin membuat penggunanya makin bodoh dan
primitif.
Tanpa kesadaran untuk menjadi kreator yang kreatif, jutaan
konsuman smartphone hanya akan selalu terjebak dalam euforia, persis seperti
kegilaan Pokemon Go yang kini tengah meledak.
Tanpa kecerdasan digital (digital
intelligence) , maka layar smartphone hanya akan membuat kita terpelanting
dalam shallow work : aktivitas yang kelihatannya asyik namun sama sekali tidak
punya dampak berarti bagi peningkatan skills dan perbaikan income kita. Terkhusus
akhirat kita bro.
Walaupun demikian tekhnologi bisa mendatangkan kebaikan bagi
manusia, tetapi juga bisa mendatangkan malapetaka dan kebangkrutan kita di
akhirat nanti. So, bijaklah menggunakannya.
“Termasuk kesempurnaan iman seseorang adalah dengan
meninggalkan perkara-perkara yang tidak bermanfaat” demikian sabda Nabi
Muhammad Sholaullohhu ‘alaihi wassalam.
Selamat berkarya
Gambar: Kaskus
Jakarta, 15 Syawal 1437 H
untungnya, saya gak suka maen game, paling adanya onet2 tp itu juga gak tau kpn mau mainnya. kalo suami gamenya jelas bola. anak2, gak main juga. jadi ya, untunglah
BalasHapustapi di luar sana , masih byk yang gak beruntung, ya
Beruntung sekali orang yang sudah tercerahkan hati dan pikirannya. Terima Kasih Sharing pengalamannya Mbak Milda.
BalasHapus