Sabtu, 03 Mei 2025

Refleksi dari Ujung Timur: Cahaya yang Menyala dari Sorong


Pagi yang biasa di Sorong, Papua Barat Daya, berubah menjadi luar biasa dalam benak saya ketika mendengar cerita tentang sekelompok murid yang berjalan menyusuri gang-gang kampung. Mereka bukan sedang bermain layaknya anak-anak lain seusia mereka. Mereka sedang menjalankan misi: menyelami kehidupan masyarakat sekitar sekolah, mencari tahu permasalahan nyata yang dihadapi warga, dan lebih jauh lagi, mencoba menghadirkan solusi. Ada semangat belajar yang tak biasa di sana,  hangat, menyala, dan terasa begitu jujur.

Saya membayangkan betapa dalamnya diskusi yang terjadi antara para murid, guru mereka, dan tokoh masyarakat setempat. Mereka akhirnya menyepakati bahwa air bersih adalah masalah utama di lingkungan itu. Lalu mereka bergerak, mencipta, dan bukan sekadar belajar di atas kertas. Tiga filter air sederhana berhasil mereka buat pada tahun 2021. Lebih dari sekadar proyek sekolah, hasil karya itu masih digunakan oleh warga hingga kini.

Bila kita memandang dari luar, mungkin sulit membayangkan bahwa sekolah yang pernah dicap sebagai “sekolah buangan” itu SMP Nusantara yang berdiri di daerah yang jauh dari keramaian kebijakan pusat, justru berhasil melangkah ke panggung dunia. Pada akhir Oktober 2024, sekolah itu hadir di forum G20 di Brasil, menjadi satu dari lima sekolah dunia yang diminta berbagi praktik baik pembelajaran. Dan saya merenung, betapa pendidikan sejatinya bukan tentang lokasi atau fasilitas semata, tetapi tentang nyala semangat dan keyakinan untuk tumbuh.

Saya bisa membayangkan momen ketika Kepala Sekolah Arby W. Mamangsa berdiri gagah di hadapan para menteri pendidikan negara-negara G20 dan pemimpin organisasi internasional. Ia tidak hanya membawa kisah inovasi murid-muridnya, tetapi juga membawa suara dari pinggiran negeri ini. Suara yang mengatakan bahwa dari ujung timur Indonesia, inspirasi global bisa lahir. Saya merinding membayangkannya. Mungkin karena saya percaya, di situlah makna sejati pendidikan ditemukan: pada keberanian untuk bermimpi, mencoba, dan memberi dampak nyata.

Refleksi ini membawa saya pada pemahaman mendalam bahwa cerita ini bukan sekadar kabar baik atau kisah inspiratif yang lewat begitu saja. Ini adalah penanda arah, penunjuk jalan bahwa pendidikan kita sedang bergerak perlahan namun pasti ke arah yang lebih berpihak pada murid. Lebih bermakna, lebih mendalam, dan lebih selaras dengan tantangan zaman. Saya jadi berpikir: bila murid-murid di Sorong saja bisa menciptakan solusi untuk krisis air, mengapa kita kadang meragukan potensi murid-murid di tempat lain?

Baca juga: Deep Learning dan Masa Depan Pendidikan

Seringkali kita bicara tentang pendidikan sebagai kurikulum, ujian nasional, atau infrastruktur. Namun pagi ini, saya merenung bahwa pendidikan sejatinya adalah tentang manusia. Tentang anak-anak yang bertumbuh, bertanya, merasakan, dan menemukan makna. Anak-anak seperti mereka di Sorong dan jutaan lainnya di berbagai pelosok negeri. Maka saya mulai bertanya pada diri sendiri: ketika merancang kebijakan pendidikan, sudahkah kita bertanya: manusia seperti apa yang ingin kita hadirkan untuk Indonesia di masa depan?

Saya membaca laporan Future of Jobs 2023 dari World Economic Forum yang menyebutkan bahwa dalam lima tahun ke depan, 44% keterampilan inti SDM akan berubah. Dunia berubah cepat. Saya pun bertanya: sudahkah kita menyiapkan anak-anak untuk menghadapi dunia yang tak lagi sama? Lima kompetensi kunci yang disebutkan dalam laporan itu berpikir analitis, kreatif, kecakapan dalam kecerdasan buatan dan big data, kepemimpinan, serta semangat belajar sepanjang hayat semua menuntut pendekatan belajar yang tak bisa lagi sekadar satu arah, penuh hafalan, dan mengabaikan rasa ingin tahu.

Sementara OECD, melalui Learning Compass 2030, mempertegas bahwa literasi kognitif saja tak cukup. Generasi masa depan perlu punya kapasitas sosial-emosional, literasi digital, dan yang paling menyentuh saya kemampuan menciptakan nilai baru, mendamaikan dilema, dan mengambil tanggung jawab atas masa depan bersama. Di titik ini saya terdiam lama. Karena saya sadar, pendidikan bukan hanya tentang mengisi kepala, tetapi tentang membentuk hati dan komitmen moral.

Baca juga: Pembaharuan Pendidikan Sebuah Kemestian

Dan lebih dari itu, pendidikan harus memperkuat nilai-nilai kemanusiaan. Saya percaya bahwa ruang kelas harus menjadi tempat kita belajar memahami satu sama lain, belajar empati, dan peka pada penderitaan orang lain. Ketika pendidikan berhenti hanya pada keterampilan teknis, ia kehilangan jiwanya. Maka saya melihat pendidikan bukan hanya mencetak tenaga kerja, tapi membentuk peradaban. Dan saya sadar, peradaban tak akan bertahan tanpa kemanusiaan.

Dalam beberapa tahun terakhir, saya menyaksikan sendiri bagaimana wajah pendidikan Indonesia mulai berubah. Kurikulum tak lagi kaku. Guru diberi ruang lebih luas untuk berkreasi, anak-anak mulai lebih sering diajak bertanya ketimbang menjawab. Refleksi menjadi bagian dari proses belajar. Data menjadi alat bantu, bukan alat hukuman. Saya melihat bagaimana komunitas belajar tumbuh di berbagai wilayah. Teknologi masuk kelas tidak untuk menggantikan guru, tetapi memperkuat peran mereka. Dan yang paling saya rasakan sebagai kekuatan transformasi: pembelajaran berbasis proyek. Ia membawa dunia nyata masuk ke kelas, dan membawa murid keluar ke dunia nyata.

Saya tidak naif. Saya tahu perubahan itu belum merata. Tapi saya juga melihat data Asesmen Nasional yang cukup menjanjikan. Dari 2021 ke 2024, peningkatan proporsi murid yang mencapai kompetensi minimum dalam literasi dan numerasi cukup signifikan. Tapi bagi saya, angka itu hanyalah cermin dari sesuatu yang lebih penting: semangat belajar yang tumbuh, pemahaman yang lebih dalam, dan proses yang lebih memberdayakan. Di situlah harapan saya terletak. 

Baca juga: Bagaimana Cara Belajar di Abad 21

Saya terharu ketika mendengar bahwa Indonesia kini menjadi tempat belajar bagi negara-negara maju. Pada Oktober 2024, dalam Gateways Study Visit, UNESCO dan UNICEF mengundang negara-negara seperti Inggris, Finlandia, China, Perancis, dan Singapura untuk belajar langsung dari strategi pendidikan kita. Rasanya seperti mimpi, tapi ini nyata. Indonesia tak hanya berubah untuk dirinya sendiri, tetapi mulai menginspirasi dunia.

Namun saya juga tahu, setiap perubahan membawa ketidaknyamanan. Kita seringkali lebih nyaman bertahan di pola lama yang sudah familiar. Tetapi saya belajar bahwa mempertahankan yang tidak lagi relevan justru akan menunda kemajuan. Transformasi pendidikan tidak bisa instan. Ia membutuhkan waktu, keberanian, dan kepercayaan. Saya belajar untuk melihat perubahan seperti tunas yang baru tumbuh: belum sempurna, mungkin rapuh, tapi menjanjikan kehidupan baru.

Refleksi ini semakin dalam ketika saya mengingat bahwa Indonesia sedang berada di puncak bonus demografi. Usia produktif bangsa ini sedang di titik tertinggi. Tapi waktu kita tidak banyak. Bila kita gagal menyiapkan generasi muda dengan karakter dan kompetensi masa depan, maka bonus itu bisa berubah menjadi beban. Maka pertanyaannya bukan lagi: “Siapkah kita di tahun 2045?” Tetapi: “Siapkah kita sekarang?”

Baca juga: Perubahan Pendidikan di Era Industri 4.0

Karena perubahan yang lahir dari ruang kelas, dari keberanian guru untuk mencoba pendekatan baru, dari ketulusan murid untuk bertanya dan berkarya, itulah yang harus terus dirawat dan dikuatkan.

Hari Pendidikan Nasional bukanlah seremoni. Ia adalah momen untuk merenung. Setiap tahun, ia datang membawa pertanyaan penting: Sudahkah kita berpihak pada anak-anak dalam setiap kebijakan? Sudahkah kita bergerak ke masa depan dengan keyakinan dan empati? Sudahkah kita menjadikan kemanusiaan sebagai jantung pendidikan kita?

Dan bila suatu hari keraguan menyelinap, saya akan selalu kembali pada cerita dari Sorong. Pada sekolah sederhana yang dahulu dipandang sebelah mata, tetapi kini menyinari dunia. Saya akan mengingat Pak Arby yang berdiri di panggung G20, membawa suara anak-anak Indonesia. Di sana, di hadapan dunia, ia tidak hanya menunjukkan bahwa perubahan mungkin terjadi. Ia menunjukkan bahwa perubahan sudah dimulai.

Dari ujung timur Indonesia, cahaya dinyalakan. Dan saya percaya, dari sana pula harapan Indonesia Emas 2045 mulai menyala bukan hanya sebagai mimpi, tapi sebagai kenyataan yang sedang kita bangun, bersama.

Baca juga: Revolusi Pendidikan 

Sumber Gambar: Layanan SPK

Malang, 5 Dzulqaidah 1446 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung. Semoga langkah Anda hari ini membawa semangat baru untuk terus bertumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijak. Saya menghargai setiap dedikasi dan perjalanan Anda. Sampai kita berjumpa kembali, dalam tulisan atau kehidupan nyata.