Zaman teknologi
seperti saat ini, manusia sulit sekali terlepas dari gawai. Hampir setiap waktu
gawai selalu dekat dan menghiasi kehidupan manusia. Beberapa yang lain,
memutuskan untuk tidak menggunakan gawai sama sekali. Tentu ini keputusan yang
langka. Tapi saya tetap menemukan ada saja orang seperti ini.
Problem yang muncul
dalam kehidupan di sosial media adalah kita banyak sekali melihat/ membaca
postingan sahabat, teman, atau kolega kita. Postingan itu tidak jarang dianggap
oleh sebagian pamer, ingin menunjukkan eksistensinya, dan berbagai prasangka-prasangka
buruk lainnya. Yang lebih menyedihkan, sebagian kelompok menudik kelompok/
orang tertentu dengan tuduhan-tuduhan yang tidak beralasan.
Saya selalu ingat
pesan guru saya, “Kita hanya menilai seseorang dari yang tampak, tapi tidak
bisa menilai kondisi hatinya”. Dengan kata lain, jika dibahasakan ulang,
“Kita tidak bisa membaca
hati manusia, apalagi hanya dari dunia maya.”
Belum tentu orang
yang menuliskan rutinitas amalnya adalah riya’. Bisa jadi ia berniat
menyemangati kawannya.
Belum tentu orang
yang mengabarkan rezeki yang diterimanya adalah berbangga-banggaan dengan
harta. Bisa jadi, ia ingin menyiarkan syukur atas karunia-Nya.
Mereka yang
menuliskan pengalamannya di sosial media, belum tentu ingin menjadi selebritis dunia
maya. Bisa jadi ada inspirasi yang hendak dibagikannya.
Mereka yang
mengabarkan sedang mengisi kultum entah di mana, belum tentu ingin dipuji amal
dakwahnya. Bisa jadi ia ingin memberi harapan pada rekannya, bahwa di sana
dakwah masih menyala.
Mereka yang menyampaikan
secuplik ilmu yang diketahuinya, belum tentu ingin diakui banyak ilmunya. Bisa
jadi ia terpanggil untuk menyampaikan sedikit yang ia punya.
Mereka yang gemar
mengkritisi kekeliruan yang dilihatnya, belum tentu merasa dirinya paling benar
sedunia. Bisa jadi, itu karena ia sungguh mencintai saudaranya.
Mereka yang gemar
menuliskan apapun yang dipikirkannya, belum tentu ingin diakui sebagai perenung
berwibawa. Bisa jadi, ia adalah pelupa, dan mudah ingat dengan membagikannya.
Mereka yang selalu
merespon apa yang dilihatnya, belum tentu ingin eksis di dunia maya. Bisa jadi
ia memang senang berbagi yang dia punya.
Mereka yang selalu
membagikan nasehat, konten positif di grup atau medsos mereka bukan berarti
mereka sedang menganggur. Tapi, mereka ingat akan saudaranya yang harus
mendapatkan hal positif.
Mereka yang tidak
merespon kiriman-kirimanmu bukan berarti mereka tidak membaca dan tidak mau
merespon, tapi mereka sedang merenungi dan mencoba untuk mengamalkan.
Isi hati adalah
misteri, maka baik sangka lebih terpuji. Tapi baik sangka, tak berarti
membiarkan kawan-kawan melakukan sesuatu yang nampak keliru di mata kita.
Baik sangka, harus
disertai dengan saling mengingatkan agar tidak tergelincir niatnya, agar tidak
terhapus pahala amalnya.
Apa yang nampak
keliru di mata kita, disitulah tugas kita untuk meluruskannya.
Baik sangka itu
menentramkan, Saling mengingatkan juga merupakan kebutuhan.
Baik sangka itu
indah, tapi bukan berarti membiarkan saudara terlihat salah.
Baik sangka, dan
nasehat-menasehati adalah kewajiban sesama muslim
Semoga kita bisa
senantiasa belajar bersama. Selamat berbaik sangka.
Jakarta, 24
Dzulqoidah 1439 H
RSP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.