Sebenarnya cerita seru dalam sebuah
novel itu biasa saja. Tapi karena penulisnya seorang ilmuwan bidang strategi
kemiliteran novel Ghost Fleet ini dianggap bukan hanya fiksi.
Apalagi Peter Warren Singer ini,
penulis novel itu, meraih doktornya di Harvard. Dia juga analis di lembaga
think thank terkemuka di Amerika: Brookings Institute.
Disiplin ilmunya bidang militer dan
politik hubungan internasional. Maka novel Ghost Fleet ini dianggap karya
ilmiah.
Tentang ramalan masa depan yang
dekat yang pasti terjadi: tahun 2030 Indonesia jadi negara gagal. Akan ada
perang lagi di Timor.
Penguasa di Tiongkok akan diambil
alih satu tim aneh: gabungan antara pengusaha dan militer. disebut Direktorate.
Pengendali negara bukan lagi politbiro partai. Tapi direktorate itu.
Inilah novel tentang gambaran perang
dunia ke 3 nanti. Perang dengan menggunakan teknologi baru: penuh unsur
artificial intelligence. Kecerdasan buatan.
Robot jet tempur. Remaja
menghancurkan sistem komputer persenjataan. Dan semua itu tentang pertempuran
gaya baru. Antara Tiongkok dan Amerika.
Dan inilah sebenarnya inti karya
sastra ini: Perang Pasifik baru. Indonesia hanya disebut agak sekilas. Mungkin
karena letaknya dekat Pasifik.
Dalam perang baru itu Hawaii direbut
Tiongkok. Tidak diduduki Tiongkok tapi menjadi kawasan yang terpisah dari
Amerika.
Penulis novel tersebut, Peter Warren
Singer, 43 tahun, nemang bukan sembarang ilmuwan. Dia meraih gelar doktor dari
Harvard. Tulisan-tulisannya menyebar di semua koran besar Amerika. Mulai dari
Boston Globe, New York Times, Washington Post sampai Los Angeles Times.
Pernah juga masuk tim sukses
pencalonan Obama jadi Presiden Amerika. Dia sangat berpengaruh di lembaga think
thank Brooking Institute di Washington DC. Lembaga yang sudah berumur 100 tahun
lebih.
Dia dikenal juga sebagai anak muda
dengan karir tercepat. Dan pikirannya cemerlang.
Bisa jadi novel itu memang warning dari
seorang ilmuwan untuk negaranya. Agar waspada pada kemajuan pesat Tiongkok.
Termasuk di bidang artificial intellegence (AI). Yang berbeda dengan di
Amerika.
Di Tiongkok AI dipelopori oleh
perusahaan-perusahaan raksasa. Dengan pendekatan bisnis. Bukan oleh pemerintah.
Atau lembaga riset di bawah pemerintah.
Khusus di bidang AI ini pemerintah
Tiongkok justru menunjuk empat raksasa IT-nya: Ali Baba, Tencent, Baidu dan
iFlyTek. Untuk berada di front depan. Dengan kemampuan penyediaan dana riset
yang begitu besar.
Mungkin makalah-makalah ilmiah PW
Singer kurang dapat perhatian dari pemerintahnya. Peringatannya secara ilmiah
mungkin tidak dianggap menarik. Maka Singer mengajak wartawan terkemuka, August
Cole menuangkan pikiran ilmiahnya itu ke dalam karya fiksi. Lantas dia wujudkan
dalam bentuk novel.
Maka kalau pun ada unsur dramatisasi
menjadi sah. Dengan dalih novel toh memang fiksi.
Mungkin Singer juga tidak bermaksud
memberi warning pada Indonesia. Bahwa dia menceritakan Indonesia akan
berantakan pada tahun 2030 mungkin hanya untuk menambah dramatisasi.
Justru kita sendiri yang harusnya
menganggap novel itu sebagai warning. Agar Indonesia jangan sampai jatuh
menjadi negara gagal.
Memang di tengah menggunungnya
hutang Indonesia novel itu seperti tiba-tiba ibarat ramalan. Apalagi struktur
hutangnya berat ke pasar bebas. Bukan seperti hutang di zaman lama yang lebih
multilateral antar negara.
Bersamaan pula dengan data yang
dikeluarkan BPS bahwa jumlah orang miskin ternyata justru bertambah. Dan soal
keadilan juga lagi hangat dipersoalkan.
Padahal ketika novel itu ditulis
(2014, terbit 2015) kondisi Indonesia belum seperti itu. Maka kita harus
menganggap novel itu peringatan yang baik. Demikian juga bagi Amerika.
Gambaran tentang kekuatan baru
Tiongkok memang tidak boleh diabaikan. Bukan hanya dari serunya novel itu. Juga
sudah tergambar dari film baru yang amat laris di Tiongkok: Operation Red Sea.
Saya menontonnya minggu lalu. Di
bioskop di Beijing. Khusus untuk menangkap gejala yang digambarkan novel Ghost
Fleet.
Itu seperti gabungan antara film
Rambo dan film kemenangan Amerika di Perang Teluk.
Versi Tiongkok. Kini Tiongkok sudah
punya film macam Rambo versi mereka sendiri. Kejagoan bukan lagi seperti yang
digambarkan dalam film silat Hongkong. Zaman Bruce Lee sudah kuno. Sudah
ditinggalkan.
Kini penggambaran kekuatan baru
Tiongkok sudah lewat Rambo gaya Tiongkok. Ditambah peralatan perang modern yang
menjadi senjata pamungkas. Didukung artificial intelligence.
Gambaran kejagoan Tiongkok itu juga
terlihat dari film yang lebih laris: Wolf Warrior 2. Saya juga menontonnya
minggu lalu.
Di sini keramboannya lebih hebat
lagi. Tak heran kalau Wolf Warrior 2 menjadi film terlaris dunia tahun 2017.
Dengan pendapatan 874 juta dolar.
Wolf Warrior 2, untuk sepanjang sejarah film, hanya kalah dari Star Wars
episode The Force Awakens (936 juta dolar). Wolf Warrior 2 jauh mengalahkan
Titanic, Jurrasic World atau Avatar.
Industri film Hongkong dengan
andalan kungfunya kini sudah ditinggalkan. Tiongkok yang baru, sudah pula
merambah ke film. Yang menggambarkan era baru itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.