Sejak
pembunuhan terhadap Julius Caesar pada 44 Sebelum Masehi (SM) hingga naik
tahtanya Constantine pada 306 Masehi, terdapat 58 kepala negara Romawi yang
diangkat kaisar.
Dari puluhan
kaisar itu, 16 meninggal secara wajar, seorang mati di medan pertempuran, enam
orang bunuh diri untuk menghindari hukuman mati, dan 35 orang dibunuh.
Dari
pemerintahan Nigerius pada 193 Masehi sampai pemerintahan Diocletain, terdapat
28 kaisar. Dua orang bunuh diri, seorang mati dalam tawanan Persia, seorang
mati karena penyakit pes, dan sebanyak 24 orang dibunuh secara berturut-turut
antara 194 M dan 284 M.
Pembunuhan
menjadi pola pergantian kaisar yang lazim di ujung keruntuhan kekaisaran Romawi
pada abad ketiga.
Guru besar
Jurusan Kajian Melayu Universitas Nasional Singapura, Syed Hussein Alatas,
dalam bukunya "Korupsi, sifat, sebab, dan fungsi", menyebutkan satu
faktor yang menyebabkan pola pergantian kekuasaan yang keji itu, korupsi.
Untuk
menjadi kaisar, seseorang hanya harus bermodalkan uang banyak untuk menyuap
para tentara dan senat. Tanpa malu-malu, jabatan yang seharusnya terhormat itu
diperjualbelikan kepada mereka yang mampu membelinya dengan penawaran tertinggi
sehingga seorang kaisar diangkat atau diturunkan demi uang atau perasaan hati
yang berubah seketika.
Pada
akhirnya, tentara membunuh para kaisar yang terlalu keras memegang displin,
atau hanya karena perasaan hati yang berubah secara mendadak seperti bosan.
Alatas dalam
bukunya menyebutkan, penyuapan tidak hanya melanda kalangan atas, namun telah
merasuk ke lapisan rakyat Romawi.
Untuk
memikat kalangan rakyat, para kaisar memberi padi-padian, minyak, uang, jamuan
makan dan daging kepada rakyatnya tanpa kecuali.
Mereka juga
menyelenggarakan berbagai tontonan, pertarungan gladiator, sandiwara, pacuan,
sirkus, pertandingan atletik dan pertunjukan pertempuran laut. Rakyat akhirnya
terbiasa menerima suap untuk kesetiaan mereka dalam bentuk makanan dan hiburan.
Hiburan yang
semula diselenggarakan demi keuntungan pihak yang memerintah, sedikit demi
sedikit berubah menjadi kebutuhan. Maka, berbondong-bondonglah rakyat yang
sebagian besar pengangguran ke ibu kota, yang lebih korup, lebih liar, dan
lebih keras.
Untuk
memelihara mereka, pemerintah menyediakan padi-padian dalam jumlah besar, dan
sesudah memberi makan, harus menyediakan hiburan yang mereka butuhkan.
Tontonan
pertandingan dapat berlangsung sehari suntuk. Kadang-kadang makan siang dan
anggur dihidangkan kepada penonton. Kadang-kadang dibagikan hadiah-hadiah.
Cara
menguasai rakyat adalah dengan menyajikan tontonan. Tontonan pertandingan
mengalihkan perhatian orang dari kutak-kutik pikiran politik yang berbahaya.
Sehingga dikisahkan saat itu rakyat Romawi menghabiskan hidup mereka di gedung
pertunjukan, arena pertandingan, dan sirkus.
Amianus
Macellinus yang menulis sejarah Romawi pada 390 Masehi mencatat, "Sisa
waktu hidup mereka hanya untuk mengingat-ingat festival terakhir yang mereka
hadiri atau menunggu-nunggu festival yang akan datang."
Alatas
menaruh perhatian terhadap korupsi sistemik yang melanda Kekaisaran Romawi
hingga mendatangkan ajal bagi salah satu peradaban besar umat manusia itu.
Menurut dia,
pengalaman zaman Romawi itu memberikan pola yang pasti. Korupsi menjadi pusat
perhatian dalam sejarah sebagai akibat dari suatu pertentangan kelompok dalam
suatu sistem yang mengandung unsur-unsur demokrasi.
Korupsi
banyak menarik perhatian karena semakin besarnya pengaruh kecenderungan
demokrasi akibat dukungan publisitas untuk menjatuhkan martabat lawan politik.
Perlawanan terhadap korupsi kemudian dimunculkan apabila suasana politik
menganggapnya perlu.
Alatas dalam
bukunya menyajikan segudang contoh masa kelam Kekaisaran Romawi. Dekrit demi
dekrit dikeluarkan para kaisar atas alasan memberantas korupsi yang sebenarnya
untuk menjatuhkan lawan politiknya, pengadilan terhadap mereka yang tidak
bersalah, sehingga pada akhirnya struktur kerajaan dan lingkungan masyarakat
Romawi dimanipulasi oleh mereka yang melestarikan korupsi dan pengembangbiakan
orang-orang sejenis berlangsung cepat.
Bagi Alatas,
sudah jelas penyebab korupsi yang meruntuhkan Romawi pada abad ketiga Masehi
adalah kerakusan dan kegandrungan kepada kekuasaan.
Hal itu,
menurut dia, masih terjadi di negara Asia dan Afrika pada zaman sekarang yang
terbelit korupsi sistemik. Di negara-negara tersebut, rasa benci menjalar di
antara berbagai kelompok akibat penindasan dan korupsi yang terlanjur mengakar.
Dalam
bukunya, Indonesia disebut oleh Alatas sebagai negara yang memelihara korupsi seperti
kanker akut yang mengakar. Cukup sedih gambaran yang disebutkan olehnya. Ia
berpendapat bahwa level korupsi di Indonesia sudah mencapai taraf tinggi yang
memiliki efek demikian merusak.
Korupsi pada
level yang lebih tinggi telah demikian meluas dan merusak sehingga pada
akhirnya menyebabkan korupsi baru dan lebih meluas pada level kehidupan di
bawahnya. Pada kondisi demikian, masyarakat menjadi seolah tidak dapat hidup
tanpa korupsi karena korupsi yang terjadi di level yang lebih tinggi.
Tak hanya
Alatas seorang yang berpendapat buruk tentang korupsi di Indonesia. Dari tahun
ke tahun, hasil survei lembaga Transparancy International tidak pernah
mengeluarkan Indonesia dari kelompok negara paling jago korupsi sedunia.
Padahal,
sejak lahirnya Indonesia, masalah korupsi sudah menjadi perhatian pemerintah.
Indonesia tercatat pernah memiliki berbagai lembaga yang berganti-ganti
berupaya memberantas korupsi.
Sejak 1957,
sudah ada kegiatan militer yang ditugaskan menangani masalah korupsi melalui
perintah Presiden saat itu, Soekarno.
Pada 1967,
dibentuk tim pemberantas korupsi dengan kewenangan represif dan preventif.
Pada 1970,
ada Komisi Empat yang bertugas memberi nasihat dan penilaian kepada Presiden
saat itu, Soeharto, untuk menangani berbagai korupsi. Komisi Empat inilah yang
berhasil membongkar korupsi di Pertamina.
Pada 1977,
dibentuk Operasi Penertiban Pusat (Opstib) yang berhasil membongkar korupsi
pungutan liar jembatan timbang, suap hakim, hingga korupsi di sektor perkayuan.
Setelah
reformasi, dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) sebagai
tindakan preventif. Setelah itu, ada Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (TGPTK) yang hanya berusia satu tahun karena PP pembentukannya
dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah Agung (MA) setelah tim itu menyelidiki
dugaan suap kepada hakim agung.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono juga telah membentuk Timtastipikor yang telah berakhir
masa tugasnya. Kini, Indonesia memiliki KPK yang saat ini juga dirundung
masalah.
Rejim
berganti, berbagai lembaga pemberantas korupsi telah muncul ke pentas.
Namun,
Indonesia tetap Indonesia yang dipersepsi sebagai negara terkorup. Adakah yang
salah dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia?
Mantan Wakil
Ketua KPK Amien Sunaryadi, dalam suatu seminar pada 2007 pernah mengatakan,
berbagai lembaga pemberantas korupsi itu hanya bagus pada masa awal
pembentukannya, sedangkan selanjutnya justru ikut-ikutan korupsi.
Amien juga
mengakui berbagai lembaga pemberantasan korupsi yang telah dibentuk di
Indonesia sering dipersepsikan hanya digunakan untuk kepentingan tertentu. Efek
jera yang diharapkan timbul dari penghukuman koruptor justru berbelok menjadi
kepentingan politik sesaat dan alat balas dendam.
Sejarah
sudah menunjukkan, kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan demi kepentingan
sesaat golongan tertentu tidak akan mengangkat posisi Indonesia dari jajaran
negara terkorup.
Haruskah
Indonesia menunggu datangnya ajal seperti yang menimpa Romawi? (*)
Sumber :
Jakarta (ANTARA News)
Aslamualaikum Mas Rio.. moga negara kita ada generasi yang nantinya dengan Pemimpin yang berkarekter Prisnsip keimanan yang teguh tanpa Korupsi dan senantiasa berahlak mulia...maju untuk indonesia..
BalasHapusWa'alaikumussalam Warohmatullohhi Wabarokatuh.
HapusAaaamin.
Terima Kasih Mas Angga.